Daulah Santri Bersinergi Membangun Negeri
Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI- Secara harfiyah artinya, daulah itu negara dan santri adalah representatif nabi dan auliya’, ini sebuah pengakuan bahwa sesungguhnya peran ulama dan tokoh agama itu sangat vital dalam perjalanan bangsa ini. Dan di Indonesia lahir ulama-ulama bijak seperti Gus Baha, ada juga UAS (Ustadz Abdul Somad) hari ini. Namun sebelumnya kita tahu ada Nama Aa Gym, Ada Zainudin MZ. Dan ada nama besar seperti Buya Hamka. Di dalam konsep santri bernegara misal menggunakan silogisme almadínatul fadhįlah. Sehingga entitas ulama tidak hanya di tempatkan di medan politik manakala dibutuhkan pada setiap ada momentum pilkada atau pilpres. Tetapi ulama juga dibutuhkan sebagai ruh pada nilai kebangsaan negeri ini.
Siapa saja yang menjadi pemimpin, maka para ulama akan melihat kinerja apakah dia berpegang pada konstitusi atau sebaliknya, sebab apabila spirit kitab suci kita genggam menjadi ruh lalu berbuah bangsa, maka sungguh akan tampak seorang pemimpin yang menjalankan konstitusi atau tidak? Karena pada hakikatnya, ada dua poin penting dalam kitab konstitusi itu, pertama adalah penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) yang kedua adalah memberikan kesejahteraan.
Andai kita flashback pada fenomena ijtima’ ulama pada pilpres 2019 kemarin, harus kita akui jenius ketika para politisi ulung mengunci suara tokoh-tokoh publik seperti UAS (Ustadz Abdul Somad) dan KH. Ma’ruf Amin, lalu kita mengapresiasi ketika para ulama dilibatkan. Dan fenomena “ulama dilibatkan dalam pusaran politik” adalah sebuah hal yang menarik, karena politik punya medan yang disebut dengan wilayah buram, di barisan itulah santri sekaligus politisi hebat yang tidak hanya mampu berbicara kitab kuning soal moral, kitab putih tentang analisa sosial, tetapi juga kitab buram.
Karenanya saya ingin menggunakan analisa Al-Jabiri misalnya, dalam kritik nalar arab. Bila kita ingin melihat bagaimana secara epistemologi keagamaan dalam masyarakat kita, maka Al-Jabiri menyebut ada tiga faktor pemicu dalam negara tersebut :
Pertama, Teologi. Yakni, Keyakinan dan Aliran Sebagai fondasi kebangsaan.
Ini merupakan bentuk dari nalar kolektif yang tidak di dasarkan pada analogi pengetahuan, tetapi lebih didasarkan pada semiotika imajinatif sebagai dasar keyakinan. Misal dalam konteks kebangsaan kita, kita telah setuju bahwa NKRI dan Pancasila adalah fondasi kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kedua, Ialah ghanimah. Yakni akses ekonomi sebuah negara. Prinsip ini secara spesifik merupakan jenis pendapatan yang diinisiasi oleh negara, cara menggunakannya dan logika yang dapat menyertainya. Kita bisa melihat ragam produk lokal yang mengglobal dimobilisasi oleh tangan dingin pemerintah seperti : indomie, batik tulis, kopiah hitam dll sebagai manivetasi percepatan ekonomi sebuah negara.
Ketiga, qabilah. Yakni solidaritas kesukuan, ketokohan dan kedekatan. Qabilah sendiri mengilustrasikan praktik atau pelaksanaan pemerintahan yang bertumpu pada sentimen nepotisme (kekeluargaan ataupun ketokohan dalam pengertian yang lebih luas). Dan lawannya adalah masyarakat sebagai teknokrat yang mendapatkan kepercayaan publik melalui tatanan prosedur yang demokratis. Di dalam sistem qabilah, maka masyarakat di dalam mengambil sikap akan melalui fase-fase berikut, seperti : mengadopsi budayanya, meniru ekonominya dan bahkan prinsip fanatisme berpolitiknya dipatronasi oleh pengaruh kesukuan yang menunjukkan ketokohan. Seperti fanatisme nenek moyang kita melihat tokoh kharismatik pada sosok soekarno di dalam partai tertentu, yang memicu haluan hidupnya di dalam berbudaya, bermasyarakat dan berpolitik.
- Penulis adalah Nurul Hidayat Al-fathari, Staf Ahli di Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jawa Timur (DPMD JATIM) Sekretaris PT. PAN (PESONA ANUGERAH NUSANTARA) Kab. Sidoarjo, Jawa Timur.
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co