Tersenyumlah Kau Kartini dalam Kuburmu

Editor: Ahmad Arsyad
“Tapi, coba katakan, Ni, kau tak pernah ceritakan kepadaku, kau mau jadi apa kelak?” Setelah Kartini ditanyakan tentang hal tersebut, ia berpikir mengenai pentingnya bermimpi untuk menjadi “seseorang,” yang saat itu sangat tidak di miliki oleh Perempuan Jawa –Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer.
KABARBARU, OPINI- Dalam setiap bait dan kata dalam suratnya, bersamaan jua terbungkus seluruh penderitaan dan kegelisahan yang tak berujung dibalik tembok tebal atas beban Raden Ayu yang harus dipikul sejak lahir. Panggil aku Kartini saja, itulah namaku, begitu suruh nya, tanpa gelar, tanpa konde dan kebaya mewahnya, perempuan yang mendambakan perubahan atas penindasan berbau adat istiadat yang mencekik perempuan, atas narasi agama yang dilontarkan dalam rangka merendahkan citra diri perempuan, dan atas seluruh jeritan serta tangis terhadap kebodohan yang membelenggu perempuan Indonesia.
Betapa jahatnya dunia yang membuat seorang perempuan kehilangan segala-galanya; kehormatan, cita-cita, harga diri, hubungan dengan dunia luar, peradaban, kebudayaan, bahkan hakikatnya sebagai manusia. ITU SEMUA ADALAH PERAMPASAN. Perampasan yang pada saat itu tidak di sadari, di telan mentah-mentah, di terima dengan suka cita, serta di langgeng kan oleh kaum laki-laki secara riang gembira.
Habis Gelap Terbitlah Terang, surat-surat mu adalah cahaya penerang yang menghasilkan kesadaran. Api panas ditengah kegelapan. Segala penderitaan yang berkecamuk dalam otak dan benak mu, tak lagi menjadi persoalan hari ini. Meskipun kau tidak dapat menjadi saksi perubahan atas seluruh perjuangan yang kau cita-citakan, dalam bait dan tulisan ini mengandung sejuta penghormatan dan ribuan rasa terima kasih dari seluruh Perempuan ‘Bumiputra’.
Niat hati tak ingin merusak suasana hari besarmu,namun satu hal yang tentu kau harus tahu. Pendidikan tak lagi jadi persoalan, tetapi ternyata pembaharuan akan penindasan terhadap perempuan, tak habis dimakan oleh zaman. Hari ini pada prakteknya penindasan bukan lagi soal harus membungkuk seperti membawa batu besar tiap kali melewati jalan, atau bukan lagi tentang praktek ‘pingitan’ yang pernah kau alami selama 4 tahun dibalik jeruji penjara istanamu, lebih dari itu, penindasan hari ini meliputi kebiadaban yang berisi pemaksaan ataupun pelecehan disaat pendidikan sudah bisa di makan mentah – mentah. Jauh lebih hina dari zaman mu. Boleh kita katakan perbuatan keji yang lahir pada zaman mu mungkin atas dasar minimnya edukasi perihal moral dan pembentukan karakter yang belum bisa dinikmati, namun lihat hari ini, ternyata iblis tetaplah iblis.
Kartini, perjuangan perempuan hari ini telah sampai kepada gerbang baru kemerdekaan. Telah lahir kepastian hukum atas perjuangan satu dekade perempuan yang mendambakan hak-hak perempuan yang kau cita-citakan. Membumihanguskan segala bentuk penindasan. Habislah sudah masa yang suram, selesai sudah derita yang lama. Barangkali Tuhan merestui kabar ini sampai ke telinga mu, tersenyumlah kau Kartini dalam kubur mu, berbahagialah Engkau, peradaban yang kau impikan bersama seluruh tangisan mu kini pelan-pelan tercapai.
*) Penulis adalah Annisa Rahma Zein, Ia merupakan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila.