Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Memadurakan Al-Qur’an

al-Qur'an
Penulis: Nasrullah Ainul Yaqin.

Editor:

KABARBARU, OPINI- Secara teologis tidak dapat dipungkiri lagi bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Ia hadir sebagai petunjuk untuk umat manusia secara umum dalam menjalani roda kehidupan dunia, termasuk masyarakat Arab pada waktu itu (al-Baqarah [2]: 185 & asy-Syûrâ [42]: 7).

Jasa Penerbitan Buku

Sebagai mukjizat terbesar, maka sudah barang tentu al-Qur’an memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat-mukjizat lainnya, baik yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. sendiri maupun para nabi sebelumnya, seperti: tongkat Nabi Musa as. yang bisa berubah menjadi ular dan memecah lautan (asy-Syu‘arâ’ [26]: 45 & 63); mukjizat Nabi Isa as. yang bisa membuat seekor burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit sopak, dan menghidupkan orang mati (Âli ‘Imrân [3]: 49); dan mukjizat nabi-nabi lain.

Al-Qur’an selain memiliki keistimewaan yang berkaitan dengan struktur bahasa, susunan kalimat, dan pengungkapannya, juga memiliki keistimewaan lain yang sangat hebat, yaitu kandungan isi(makna)nya yang universal. Sehingga bisa mencakup seluruh persoalan hidup umat manusia dari segala zaman dan aspeknya hingga yawm al-qiyâmah nanti. Dalam artian, meskipun secara redaksional al-Qur’an telah final (berhenti) beberapa abad yang lalu ketika dibukukan dan dibakukan pada pemerintahan khalifah Utsman ibn Affan ra., tetapi makna atau nilai-nilai yang dikandungnya akan senantiasa ṣâlih (cocok) dalam sepanjang zaman karena sifatnya yang universal.

Nilai-nilai itu akan terus mewarnai perjalanan hidup umat manusia, khususnya umat Islam dalam setiap situasi dan kondisi yang terus berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Sehingga al-Qur’an tetap bisa diterapkan dan dijadikan pedoman oleh manusia (terutama umat Islam) dari lintas zaman dan generasi.

Kenyataan ini setidaknya dapat dibuktikan dengan adanya penafsiran yang terus berkembang dan adanya perbedaan penafsiran di kalangan umat Islam dari waktu ke waktu. Perbedaan penafsiran ini selain karena perbedaan dalam cara menafsirkan al-Qur’an, tentu juga karena perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing mufasir.

Sehingga tidak heran apabila produk tafsir mazhab klasik cenderung berbeda dengan produk tafsir mazhab modern. Begitu pula sebaliknya, tafsir yang dilahirkan berdasarkan setting sosial dan kultur Timur Tengah akan berbeda dengan tafsir yang dilahirkan berdasarkan setting sosial dan kultur Asia seperti Indonesia. Bahkan dalam konteks Indonesia sendiri masih terdapat perbedaan karakter sosial dan budaya antara satu pulau dengan pulau lainnya seperti Madura.

Memahami al-Qur’an Berdasarkan Setting Sosial Masyarakat Madura

Istilah “memadurakan al-Qur’an” di sini dimaksudkan kepada usaha masyarakat Muslim Madura dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan setting atau kondisi sosial dan kultur-budaya masyarakat yang berkembang di pulau Madura. Hal ini dilakukan dalam rangka merespon sejuta persoalan hidup yang kian hari kian memprihatinkan di Madura, seperti masalah perekonomian, kemiskinan, dan lingkungan.

Sehingga nilai-nilai al-Qur’an bisa diterapkan dan diinteraksikan dengan kehidupan masyarakat Madura tanpa harus merusak nilai-nilai baik yang telah berkembang di sana. Berkaca kepada al-Qur’an yang melakukan akulturasi dengan budaya Arab dahulu kala, yaitu al-Qur’an tetap melestarikan konsep perekonomian bangsa Arab dengan menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba yang memang sangat menyiksa kaum lemah saat itu (al-Baqarah (2): 275).

Oleh karena itu, dalam pembahasan ini penulis menyodorkan sebuah ayat untuk didiskusikan secara bersama-sama sesuai dengan konteks kemaduraan. Hal ini dilakukan, sekali lagi, untuk merespon dan mencari sulosi terbaik atas persoalan perekonomian masyarakat Madura yang dirasa sangat lemah, terutama sekali di desa-desa. Ayat tersebut adalah surat Âli ‘Imrân (3): 103, yaitu: “dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. Menurut penulis, ayat ini secara sederhana menekankan pentingnya persatuan yang kuat. Dalam hal ini, persatuan antara sesama umat Islam.

Pentingnya persatuan ini juga disebutkan dalam beberapa hadis, seperti: “persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah siksa (al-jamâ‘ah raḥmah wa al-furqah ‘azâbun)” dan “kekuasaan Allah bersama jamaah (yadullâh ma‘a al-jamâ‘ah). Bahkan Imam Ali al-Murtaḍâ as. pernah berkata: “ḥaqqun bi gair niẓâmin yaglibuh al-bâṭil bi niẓâmin” (kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir).

Dalam konteks Madura, persatuan ini harus dilaksanakan dan digalang oleh ulama se-Madura. Mengingat mereka merupakan salah satu bagian besar yang tidak bisa dipisahkan dari kemaduraan. Sebab, mereka memiliki kedudukan yang luar biasa besar di Madura, yaitu sebagai salah satu pemegang otoritas dalam menentukan kehidupan masyarakat di Pulau Seribu Pesantren ini. Persatuan ini diharapkan memberikan sebuah diskusi panjang tentang masa depan Madura dan melahirkan ijmak yang wajib dilakukan oleh mereka secara bersama-sama, seperti:

Pertama, mencari dan menemukan cara (solusi ataupun alternatif) untuk membangun dan mengembangkan perekonomian masyarakat Madura sesuai Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Sehingga masyarakat Madura dapat mengelola sendiri SDA yang dimiliki dan dapat menikmati manisnya semua itu. Hal ini pada gilirannya akan mengurangi jumlah pengangguran di Madura, dan juga mengurangi masyarakat Madura hijrah ke luar kota dan luar negeri untuk mencari nafkah―karena sulitnya mencari pekerjaan di Madura.

Kedua, melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah yang ada di Madura, terutama dalam hal pembangunan, pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah tersebut meliputi eksekutif (bupati, camat, dan kepala desa), legislatif (DPRD dan DPD), maupun yudikatif (pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian). Dalam hal ini, para ulama Madura bisa saja bekerja sama dengan badan pengawasan milik negara di tingkat pusat. Hal ini menandakan bahwa para ulama Madura tidak abai terhadap persoalan pemerintahan di Madura. Sehingga pengawasan para ulama ini menjadi perhatian serius bagi para pemerintah daerah Madura agar tidak berlaku korup dan sewenang-wenang.

Ketiga, persatuan ulama Madura ini melahirkan satu kesepakatan untuk melindungi Madura dari kaum kapitalis, baik lokal maupun asing, yang memang tidak menguntungkan masyarakat setempat. Keempat, memberikan perlindungan terhadap lingkungan dan alam sekitar. Sehingga perusakan terhadap lingkungan hidup seperti hutan, bukit, dan lautan dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan.

Joki Tugas

Adapun mengenai pembangunan dan penguatan akidah, ibadah, dan akhlak sebenarnnya sudah seringkali dilakukan oleh para ulama Madura kepada masyarakat sekitar, baik melalui ceramah (seperti pengajian mingguan, temu alumni, dan pengajian umum) maupun pendidikan secara langsung kepada generasi muda sebagaimana biasa diajarkan di pesantren-pesantren.

Mengimbangi Riwayat dengan Dirâyah

Semarak taḥfîẓ al-Qur’an yang banyak digalakkan di pesantren-pesantren seharusnya diimbangi dengan kesemangatan dalam memahami al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan sosial yang sedang berkembang di Madura. Sehingga sesuai dengan kehadirannya, al-Qur’an benar-benar menjadi obat, petunjuk, dan solusi (rahmat) konkret (Yûnus (10): 57) terhadap peliknya persoalan hidup yang membelit kehidupan masyarakat Madura. Dengan kata lain, keberadaan al-Qur’an benar-benar membumi dan mendunia, bukan melangit dan mengakhirat sebagaimana kerap terjadi akhir-akhir ini.

Oleh karena itu, kalau para rasul as. (yang tidak jarang dilakukan seorang diri) dapat  mengangkat derajat manusia dan membebaskan mereka dari segala bentuk kezaliman, kejumudan, keterbelakangan, perbudakan dan lain sebagainya, lalu bagaimana dengan para ulama yang dikenal sebagai pewaris para nabi (al-‘ulamâ’ warâśah al-anbiyâ’)? Penulis yakin apabila para ulama Madura bersatu, yang memang memiliki kuantitas dan kualitas cukup tinggi, dapat mengangkat derajat masyarakat Madura dalam segala aspeknya, termasuk perekonomian.

Apalagi dalam sejarahnya para ulama Nusantara terdahulu telah memberikan teladan yang sangat agung. Dalam hal ini, mereka tidak hanya sukses memukul-mundur dan mengusir para penjajah dari bumi Nusantara, tetapi juga sukses mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan menurut Ahmad Baso dalam Pesantren Studies, para ulama―melalui pesantren―juga bergerak di bidang-bidang strategis dan vital dalam kehidupan masyarakat, seperti pendidikan, budaya, etika, ekonomi, dan politik. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…

 

*) Penulis adalah Nasrullah Ainul Yaqin, Sekretaris Lakpesdam Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Pasean tahun 2020-2025.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store