Potret Kupi – Upaya Pemberdayaan Ulama Perempuan Indonesia
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Kongres Ulama’ Perempuan Indonesia (KUPI) menyelenggarakan kongres yang Ke-2 bertempat di Semarang – Jepara. Kaum perempuan merasa sedang tak berdaya, karena itulah Kaum perempuan merasa ada gagasan-gagasan tentang pemberdayaan kaum perempuan.
Tetapi apakah kaum lelaki juga sedang berdaya? Kaum lelaki juga agaknya kurang atau sedang tak berdaya, bukan ketika melawan kaum perempuan, tapi ketika menghadapi pekerjaan-pekerjaan seperti keamanan, sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Polisi misalnya, yang umumnya adalah kaum lelaki dengan senjata dan moncong bayonetnya, pun tidak berdaya, bukan saja terhadap kejahatan terorganisir atau sindikat kejahatan nasional dan internasional, terkadang mereka juga tak berdaya menangani copet dan perampok dijalan-jalan, yang juga menjadi tugas pokoknya.
Akibatnya rakyat atau massa turun ke jalan-jalan membakar atau menganiaya para penjahat yang sebenarnya itu menjadi kewajiban polisi dan tentara.
Kaum lelaki, yang bergerak di bidang penegakan hukum, sejak dari badan kepolisian sebagai penyidik awal, atau lembaga kejaksaan sebagai penuntut dan hakim yang bertugas memberikan keadilan, juga sekarang ini sedang tak berdaya.
Menghadapi kaum spekulan, yang mempermainkan rupiah akibat adanya konflik-konflik politik. Kaum lelaki di manapun mereka berada, sedang berada dalam keadaan krisis keberdayaan.
Bangkitnya “ Ulama’ Perempuan ”
Dalam ketidakberdayaan kaum lelaki itu, seyogyanya kaum menggantikan perempuan bangkit untuk peran kaum lelaki. Tetapi kaum perempuanpun bukan saja sedang tak berdaya dalam tugas-tugasnya seperti kebanyakan kaum lelaki, namun karena kaum perempuan, bahkan sejak dari dahulunya memang sudah tak berdaya, karena dominasi kaum lelaki.
Subordinasi kaum perempuan ini berurat dari akar kepercayaan bahwa kaum perempuan memang tempatnya hanya di dapur menyediakan makanan dan minuman bagi anak-anak dan suami mereka. Bila malam hari tiba mereka pun punya kewajiban untuk membahagiakan suaminya lahir dan batin.
Wanita sibuk dan disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan rutin siang dan malam hari bagi kepentingan kaum lelaki, baik untuk anak-anaknya ataupun para suaminya. Pekerjaan ini dinikmati kaum perempuan sebagai dharma bakti mereka kepada lelaki yang menjadi suaminya ataupun anak-anaknya.
Apakah dengan kesungguhan dan keperkasaan kaum perempuan mengelola rumah tangga, telah menempatkan mereka sebagai kaum yang tak berdaya? Bukankah di tempat itu (di rumah) kaum perempuan itu merasa bukan saja puas berdaya dan berjaya. Tengok saja fenomena tapi juga biarpun suami itu pangkatnya tinggi.
Dengan demikian terbentuknya organisasi ikatan suami-suami takut isteri, ketidakberdayaan kaum perempuan masih perlu dipertanyakan kembali.
Secara umum ketidakberdayaan ini Tidak saja menjadi milik kaum perempuan, tapi juga kaum lelaki, terutama dalam pengertian menghadapi bangkrutnya system tidak saja menjadi milik kaum perempuan, tapi juga kaum lelaki, kenegaraan kita. Dalam suatu sistem dimana kaum lelakinya pun tak berdaya, mungkinkah kaum perempuan berdaya?
Ulama’ Perempuan “ Sistem Demokrasi ”
Perempuan bisa berdaya dalam pengertian mempunyai peran puncak dalam politik, baik sebagai ratu dalam sistem monarki maupun sebagai perdana menteri dalam sistem demokratis.
Tapi belum pernah kaum perempuan berdaya dalam puncak politik dalam sebuah negeri yang otoriter dan militeristik dan diktatorial, mungkin sistem kekerasan tak sesuai dengan sifat-sifat dasar halus kaum perempuan.
Karena itu awal dari keberdayaan kaum perempuan bisa dimulai dari system kenegaraan yang tidak militeristik, otoriter dan diktatorial, walaupun dalam sistem itu tadi, para isteri para pejabat-pejabat yang totaliter itu bisa melebihi kewibawaan perempuan didalam rumah.
Tetapi, keberdayaan perempuan harus dilihat dari perannya di tengah-tengah masyarakat apakah di lembaga-lembaga ekonomi-korporasi, politik, kepartaian, profesional, birokrasi, pendidikan dan lain sebagainya.
Menurut saya, walaupun dalam sistem tradisional dan sistem keagamaan, kaum perempuan boleh jadi mempunyai aneka daya, namun secara umum, vertikal dan horisontal, kaum perempuan lebih berdaya dalam sistem yang demokratis, itu pun belum tentu optimal.
Namun secara umum hanya dalam sistem politik yang demokratislah kaum perempuan akan lebih leluasa mengembangkan jati-dirinya agar ia mempunyai peran yang seimbang dengan kaum lelaki.
KUPI “ Siapkah Memberdayakan?
Seperti orang kaya patut menolong orang miskin, atau orang lebih pintar patut mengajar orang kurang pintar (bodoh), maka berdaya.
Bila kaum lelaki yang lebih berdaya tak membantu perempuan secara umum yang kurang berdaya itu harus diberdayakan oleh kaum lelaki yang secara umum lebih kaum perempuan yang kurang berdaya, sama saja dengan keberdayaan kaum kaya yang tak membantu kaum dhuafa atau sama saja dengan keberadaan orang pintar yang mempedulikan orang-orang yang bodoh.
Masyarakat yang demikian itu lambat laun akan mengalami kehancuran, sebab bodoh akan menjadi beban orang pintar, begitu juga dhuafa, lama kelamaan selain menjadi beban, mereka bisa melakukan revolusi dan menghancurkan kaum kaya.
Secara alami masyarakat akan semakin sehat dan semakin kuat dan sejahtera, bila yang lebih pandai mengajari yang bodoh dan yang kaya membantu yang miskin. Namun sebaliknya bila kebodohan dan kemiskinan dibiarkan dan semakin lama semakin melebar, cepat atau lambat masyarakat tersebut akan hancur.
Hubungan perempuan-lelaki jauh lebih sakral dibanding dengan hubungan kaya dan miskin atau bodoh dan pintar, sebab kaum miskin itu tidak dilahirkan atau dihasilkan oleh kaum kaya dan juga kaum bodoh bukan dilahirkan oleh kaum pintar.
Kejadian orang atau kaum menjadi miskin dan bodoh, bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa harus diakibatkan oleh keberadaan kaum yang lebih berada. Tetapi dalam hal kaum lelaki, seluruh lelaki tidak ada yang dihasilkan atau dilahirkan oleh kaum lelaki.
Semua lelaki dilahirkan oleh perempuan. Karena itu tanpa keberadaan kaum perempuan tak ada yang disebut makhluk yang bernama lelaki. Tanpa perempuan tak ada lelaki, walaupun lelaki itu ada terlebih dahulu. Bila di dunia hanya ada lelaki saja, maka kehidupan akan terputus dan terhenti.
Perempuan merupakan ibu dari kehidupan. Seperti anak-anak dilahirkan oleh ibunya, maka sebagai anak mereka mempunyai kewajiban kepada yang melahirkannya. Secara alami, insting setiap anak pastilah ingin berbakti kepada ibunya, sebab ibulah yang menyebabkan ia hadir di muka bumi.
Kewajiban primordial (sejak azalinya) ini bila tak dilaksanakan, maka anak itu menjadi anak durhaka. Begitu juga kaum lelaki bukan saja mereka berada pada posisi yang lebih kuat, karena itu secara etis seperti yang pintar harus memberitahu yang bodoh dan yang kaya harus membantu yang miskin, maka secara etispun kaum lelaki harus membantu kaum perempuan yang posisinya lebih lemah.
Kewajiban laki-laki terhadap perempuan, selain secara etis, secara azalinya mereka akan menjadi durhaka, mereka mustahil tanpa adanya kaum perempuan. Selain itu kalau tidak membantu kaum perempuan, sebab keberadaan kaum perempuan yang lemah akan melahirkan anak yang juga lemah.
Perempuan yang bodoh akan melahirkan anak lelaki yang juga bodoh. Oleh karena itu, bagi kepentingan kaum lelaki itu sendiri, mereka memerlukan kaum perempuan yang berdaya. Mengapa pria Minang unggul, dalam ilmu, politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Jawabnya memang karena masyarakat dan adat-istiadat Minang, menempatkan kaum wanita pada peran unggul. Berdayakahlah kaum perempuan, pastilah darinya kaum lelaki menjadi unggul. Oleh karena itu, benar adanya ketika seorang kiai mensitir sebuah hadist, surga ada di telapak kaki ibu.
Atau hadist lain yang berkata, bila kaum perempuannya buruk, buruklah masyarakat itu. Kemudian saya ingin membuat adagium, bila kaum perempuan tak berdaya, maka kaum lelakinyapun tak berdaya.
Sebaliknya, bila kaum perempuan berdaya, maka berdaya pulalah kaum lelakinya. Dengan demikian, memberdayakan perempuan merupakan kewajiban moral, fungsional dan primordial kaum lelaki.
Kalau tidak, masyarakat akan tak berdaya, baik karena perempuannya ataupun kaum lelakinya, menghadapi tugas-tugas kenegaraan dan kemasyarakatan bangsa tersebut.
Penulis adalah: Irwan Hidayat, penulis Buku “ Potret Kemandirian Desa ”