Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Melihat Ulang Madura dan Pembangunanya 

Kabarbaru.co
Penulis adalah Nurul Huda, Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur (Dokumen/Kosim).

Editor:

Kabarbaru, Madura – Menuju tahun 2025, pulau Madura dengan segala kronik pembangunannya masih berusaha membuktikan diri untuk tidak sebatas kabupaten ekor Jawa Timur.

Berdampingan dengan pusat ekonomi nasional, Surabaya, tidak lantas selalu menjadi bonus ekonomi.

Jasa Penerbitan Buku

Urbanisasi yang meningkat setiap tahun menuju kota besar bisa dibaca sebagai kritik tajam bahwa kegembiraan berekonomi masih menjadi letupan kecil di seluruh Madura.

Bayangkan saja Madura punya gas melimpah, tapi pabrik pupuk kelimpungan, bahkan beku operasi karena kesulitan gas.

Kita memiliki sumber batu bara bejibun, tetapi setrum PLN byarpet karena pasokan batu bara mampet. Ironi yang berhari-hari sempat jadi headline banyak media adalah polemik impor garam.

Sebagai negara maritim dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 95.200 kilometer, Indonesia memiliki potensi sumber daya melimpah, terutama sumber daya perikanan dan kelautan, termasuk garam.

Dengan keunggulan komparatif itu, seharusnya tak ada cerita Indonesia mengimpor garam. Ironisnya, sepuluh tahun terakhir Indonesia justru menjadi pengimpor garam terbesar di dunia.

Selain menghamburkan devisa, kebijakan itu menghancurkan usaha dan industri garam nasional.

Garam itu untuk konsumsi dan industri. Impor jadi keniscayaan karena dari tahun ke tahun produksi garam tidak meningkat. Ini terjadi karena sejumlah hal (Suhana, 2010).

Walau Jembatan Suramadu telah menjadi ikon pembangunan di Jatim, banyak warga di Pulau Madura hidup dalam keadaan kurang beruntung. Setidaknya mereka tinggal di desa-desa di empat kabupaten yang masih menjadi kantong kemiskinan di Jatim.

Memang UUD 1945 meletakkan heterogenitas daerah sebagai sebuah keniscayaan.

Pemikiran untuk memperluas dan mempercepat kesejahteraan Pulau Garam ini ditopang oleh kenyataan sosiologis masyarakat Madura lebih banyak memilih bekerja di luar Madura dengan menyerbu kawasan tapal kuda Jatim.

Selain itu, secara geografis, dengan mempercepat pembangunan Madura dan mengarahkan pusat pembangunan ke utara, setidaknya dalam waktu sepuluh tahun ke depan kepadatan Kota Surabaya akan bisa diurai.

Pembangunan rumah sakit tingkat provinsi, universitas negeri dan swasta, kantor-kantor strategis pemerintahan, serta penentuan kawasan perdagangan dan industri besar, misalnya, bisa lebih diarahkan dan ditata di luar Surabaya yang sudah penuh sesak.

Khusus rumah sakit rujukan, Pemprov Jatim berkepentingan untuk segera membangun karena minimnya fasilitas pengobatan bagi masyarakat Madura, kecuali dua rumah sakit yang ada sekarang di Sumenep dan Pamekasan.

Percepatan dan perluasan pembangunan Pulau Madura secara khusus memang masih rencana. Namun, apabila pemerintah nanti menyetujui usul tersebut, bisa dikatakan itu adalah pengembangan pola baru sebagai otonomi daerah asimetris.

Kata asimetris merujuk kepada keadaan yang tidak seragam, tidak uniform, atau tidak mengikuti pola biasanya. Asimetris adalah lawan linieritas. Dia tidak mengikuti pola umum.

Kebijakan Bagi Madura

Sebenarnya DPRD dan partai politik pun sigap menyampaikan permasalahan yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dan menjadi problem kehidupan bagi konstituen mereka di Madura.

Sebenarnya, saat ini kinerja pemerintahan daerah mendapat pengawasan dari banyak pihak. Sejumlah institusi pengawasan internal dan eksternal juga bertebaran.

Pemerintah pusat atau kepala daerah tingkat I, seperti gubernur, juga melakukan pembinaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan di wilayah masing-masing.

Meski demikian, masih saja banyak daerah gagal memberikan bukti bahwa pembangunan di daerahnya secara substansial memberikan keberartian bagi rakyat.

Kondisi itu terjadi karena ada kesalahan manajemen dalam pembangunan daerah di setiap Kabupaten Madura. Kita bisa memberikan analisis seperti berikut ini.

Pertama; salah manajemen secara mendasar terjadi berupa kesalahan persepsi pada kebanyakan pimpinan daerah mengenai konsep pembangunan yang seharusnya diterapkan di daerahnya.

Umumnya, hal ini terjadi karena pimpinan daerah gagal mengidentifikasi problem daerahnya. Alih-alih menganalisis dengan cermat kondisi daerahnya, kebanyakan justru memaksakan visi misi yang hanya bahasa indah yang tidak membumi dengan realitas.

Kedua; dalam perspektif konseptual, pemaknaan pembangunan juga sering disalah pahami hanya sebagai aktivitas pembangunan oleh pemerintah saja.

Padahal pembangunan daerah merupakan usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku, baik umum, pemerintah, swasta, maupun kelompok masyarakat lain pada tingkatan berbeda untuk mengoordinasikan langkah-langkah secara sinergis, saling ketergantungan, dan saling terkait.

Sinergi dimaksud harus mencakup semua hal, termasuk aspek fisik, sosial ekonomi, moral budaya, dan aspek lingkungan lain sehingga program pembangunan dapat lebih efektif.

Pembangunan juga harus dapat menciptakan peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah itu yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat secara berkelanjutan.

Ketiga; secara lebih khusus, kesalahan banyak terjadi dalam berbagai aspek manajemen APBD. Pimpinan daerah sering gagal menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian APBD secara baik.

Hal ini umumnya disebabkan rendahnya kompetensi kepala daerah dalam bidang ekonomi dan pembangunan, minimnya komitmen sosial dan akuntabilitas publik, serta kurangnya keterampilan komunikasi politik dalam mengintegrasikan seluruh proses penganggaran.

Di banyak daerah, penyusunan APBD saja membutuhkan proses lama dengan terutama disebabkan oleh alotnya negosiasi kepentingan sehingga kualitasnya dalam mengarahkan pembangunan, menjadi kurang optimal.

Untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut, tentu saja tidak sederhana. Mengutip istilah yang dilontarkan oleh Sunil Bastian dan Robin Luckham (2003).

Kondisi demikian layak disebut sebagai defisit demokrasi, yaitu kondisi di mana demokrasi hanya memberikan sedikit manfaat bagi publik, rendahnya akuntabilitas elite parpol dan pemimpin politik, dan kemelemahan kepemimpinan publik yang cenderung korup.

Hak Istimewa atau Provinsi?

Perlukah Daerah Istimewa Madura? Masalah ini tidak sederhana sehingga segala pembiayaan khusus yang tidak mengikuti sistem yang telah ditentukan akan membebani keuangan negara. Oleh karena itu, hal tersebut sebisa-bisanya harus dicegah.

Dengan menjadikan sebuah daerah sebagai kawasan khusus, itu memang harus ada skema pembiayaan tersendiri pula. Otonomi daerah asimetris tersebut tidak mengandung makna bahwa daerah lainnya tidak dipentingkan.

Skema pembiayaan dana alokasi khusus (DAK) pada dasarnya adalah semua daerah memiliki kekhususan. Otonomi asimetris tidak boleh merongrong keseimbangan keuangan APBN.

Dalam konteks pembiayaannya, sesungguhnya asimetris bukan prioritas pembangunan nasional. Demikian juga, kebutuhan pembangunan kawasan khusus juga sebagian dibiayai melalui dana dana APBN dan sebagian lainnya dari APBD provinsi yang bersangkutan atau bahkan melibatkan swasta.

Sebelum Madura jadi provinsi. Kalau kita ambil Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai contoh yang terbaru, kita bisa meniru pembangunan DIJ juga dibiayai dana APBN sebagaimana provinsi lainnya.

APBD juga menganggarkan biaya rutin dan biaya pembangunan seperti biasa. Pemerintahan juga berjalan sebagaimana biasa plus keistimewaan yang dijamin undang-undang.

Implikasi dari keistimewaan itu adalah terdapatnya dana keistimewaan yang tidak terlalu mengganggu neraca APBN.

Sesungguhnya selalu ada keunikan dalam setiap provinsi. Namun, tidak semua keistimewaan provinsi harus diatur. Itulah esensi desentralisasi asimetris itu, memberikan ruang kekhusus, tapi tidak perlu otonomi khusus seperti Papua dan Aceh dan DIJ.

Demikian juga, Madura dan daerah daerah lainnya yang memiliki karakeristik tertentu, skema yang diusulkan pastilah bukan Daerah Istimewa Madura karena itu akan menjadi bumerang bagi Jatim dan Indonesia.

Penulis adalah Nurul Huda, Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur XI Komisi D Fraksi PPP.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store