Dibandingkan Kambing Hitam, Masyarakat Lebih Butuh Kambing Goreng dan Harga Migor Yang Stabil
Jurnalis: Wafil M
KABARBARRU, OPINI- Kurang lebih sudah sejak empat bulan lamanya sengkarut persoalan minyak goreng (Migor) terjadi di negeri ini. Mahalnya harga migor di Indonesia menjadi sebuah ironi, mengingat negara ini merupakan produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di Dunia. Hal ini semakin menjadi miris dengan kondisi harga dalam negeri yang dipermainkan harganya dengan acuan pasar CPO internasional.
Kenaikan harga minyak goreng sebenarnya sudah mulai terjadi semenjak akhir tahun 2021, namun kenaikan yang sangat signifikan mulai terasa oleh masyarakat akhir-akhir ini. Jika kita mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, sejak 1 Juni 2021 hingga 8 November 2021 harga migor secara nasional naik 15,36%. Salah satu alasan kenaikan harga minyak ternyata disebabkan oleh naiknya harga CPO global. Dari data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tercatat volume ekspor minyak sawit Indonesia menyentuh angka 34 juta ton dengan nilai US$22,97 miliar. Artinya bahwa pangsa pasar untuk ekspor sawit Indonesia telah mencapai 55%.
Melihat kondisi seperti ini, sudah menjadi barang tentu bahwa pemerintah melalui kementerian perdagangan harus bisa melakukan intervensi pasar terkait CPO dan harga migor. Langkah awal yang tepat adalah dengan memastikan ketersediaan CPO untuk kebutuhan dalam negeri. Jika tidak, maka pengusaha akan memprioritaskan penjualan CPO untuk ekspor sehingga pemberlakuan harga secara keseluruhan mengacu pada pasar global yang tentunya akan berimbas pada pasokan minyak dalam negeri.
Harga Murah Namun Langka Atau Pasokan Melimpah Namun Mahal harganya
Sebelumnya, pada pertengahan Januari menteri perdagangan menetapkan kebijakan satu harga migor di angka Rp. 14.000 per liter. Melalui kebijakan ini, minyak goreng dalam kemasan premium maupun kemasan sederhana diberlakukan Rp. 14.000 per liter yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta para pelaku sektor UMKM. Kebijakan ini tentu mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan jumlah Rp. 7,6 triliun.
Sayang seribu sayang, kebijakan ini malah menimbulkan masalah baru yakni kelangkaan minyak goreng. Kebijakan yang diterapkan mendag malah membuat masyarakat berbondong-bondong antri panjang di supermarket maupun minimarket untuk mendapatkan minyak. Namun kebanyakan dari mereka tak mendapatkan minyak walaupun dalam pelaksanaan teknisnya diberlakukan syarat 1 orang hanya dapat membeli 1 liter minyak goreng. Banyak dugaan bermunculan yang mewarnai kelangkaan minyak goreng. Mulai dari punic buying masyarakat, dugaan kartel hingga mendag menduga ibu-ibu rumah tangga menimbun minyak goreng dalam skala besar.
Karena kebijakan satu harga di anggap tidak efektif, pada awal Februari pemerintah menerapkan skema Domestic Market Obligation (DMO) bagi ekportir bahan baku minyak goreng. Dengan diberlakukannya skema ini, semua pengusaha yang memproduksi CPO ataupun eksportir minyak goreng wajib memprioritaskan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.
Selain itu, pemerintah juga menerapkan mekanisme Harga Eceran Tertinggi dengan tujuan untuk mengontrol kestabilan harga minyak goreng dipasaran. Namun upaya pemerintah tidak menemukan hasil, kelangkaan minyak masih tetap terjadi. Dalam beberapa keterangan, mendag menduga kelangkaan minyak terjadi dikarenakan terganggunya rantai distribusi. Pertama, minyak dalam jumlah besar terjual ke sektor industri dan yang kedua, terjual secara ilegal keluar negeri. Hal itu mungkin saja terjadi dikarenakan terdapat selisih harga yang sangat jauh antara harga penjualan di dalam negeri dan diluar negeri. Mengingat pemerintah telah menerapkan kebijakan HET sehingga penjualan minyak goreng dibanderol dengan harga murah.
Hingga pada pertengahan Maret, pemerintah memutuskan untuk mencabut kebijakan HET dan memberi subsidi untuk minyak goreng curah, sehingga harga yang diberlakukan sebesar Rp. 14.000. Namun harga minyak goreng kemasan diterapkan sesuai harga keekonomiannya atau harga pasar.
Dengan ditetapkannya harga harga minyak goreng menyesuaikan dengan harga yang berlaku di pasaran maka angkanya menyentuh Rp.50.000 per dua liter. Bersamaan dengan naiknya harga minyak goreng, pasokannya pun mulai membanjiri rak minimarket, supermarket hingga pasar tradisional. Hal ini menyebabkan banyak protes yang terjadi sehingga kita sama-sama ketahui bahwa persoalan utamanya adalah distribusi pasokan minyak goreng.
Antisipasi Menjelang Ramadhan
Entah untuk menutupi rasa malu atau kebingungan pemerintah, negara kemudian sibuk untuk mengarahkan telunjuk kemana-mana untuk mencari kambing hitam agar bisa disalahkan dari sengkarut kelangkaan minyak goreng. Dari dugaan emak-emak melakukan penimbunan, produsen hingga distributor pun tak terhindarkan untuk disalahkan oleh mendag. Bahkan dalam agenda dengar pendapat bersama Anggota DPR RI dengan lantang mendag memastikan terdapat 3 tersangka penimbunan minyak goreng yang beliau sebut sebagai “Mafia minyak goreng” akan ditangkap dan akan diumumkan nama-namanya di hari Senin 21 Maret 2022 kemarin.
Namun janji itu tak kunjung ditunaikan dan persoalan harga minyak goreng tak juga diselesaikan.
Menghitung hari, kita akan memasuki bulan ramadhan yang mana kita ketahui bahwa permintaan akan mengalami lonjakan pada momen tersebut. Kondisi ini tentunya membuat masyarakat tidak mau tahu tentang carut marutnya pengelolaan rantai distribusi yang dianggap telah dikuasai oleh “mafia minyak goreng”. Sehingga sudah menjadi barang tentu pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin untuk menciptakan kestabilan harga minyak goreng.
Terdapat beberapa poin dari penulis sebagai masukan untuk mengatasi persoalan minyak goreng. Pertama, pemerintah dianggap perlu untuk menegakkan harga acuan minyak goreng apa pun instrumennya berdasarkan acuan Kementerian Perdagangan yakni harga minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp. 11.000/liter. Adapun harga rata-rata minyak sawit dunia saat ini menyentuh angka 1.300 dolar AS per metrik ton. Kondisi ini menguji komitmen pemerintah dalam ketegasan terhadap penetapan harga acuan minyak goreng. Kedua, pemerintah harus mampu melakukan intervensi serta menguasai jalur distribusi. Hal ini berfungsi untuk memastikan kebijakan yang dibuat dapat diaplikasikan dengan baik saat di lapangan.
Jika persoalan kebijakan dan proses pelaksanaanya sudah dikawal dengan baik, maka masyarakat dengan suka cita menyambut bulan ramadhan. Namun apakah pemerintah sudah selesai menentukan kambing hitam?
*) Penulis adalah Setiawan AJ Ketua Bidang UMKM dan Ekonomi Kreatif Badko HMI Jawa Timur.