NU & Politik : Pertarungan Wacana Yang Tak Kunjung Usai

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Di antara kawasan kegiatan manusia yang sering ditandai oleh iklim panas adalah kawasan politik yang selalu berkaitan dengan masalah kekuasaan. Sistem kekuasaan yang terlepas dari bingkai moral cenderung merusak dan menghalalkan berbagai cara, sebab nafsu manusia untuk berkuasa atau mempertahankan kekuasaan nyaris tanpa batas.
Apabila perlu, seorang penguasa akan berbuat apa saja, terpuji atau tercela, demi kekuasaan. Peribahasa kuno yang berbunyi “Menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan”, merupakan sesuatu yang tidak aneh dalam dunia politik. Kekuasaan yang lepas dari kendali moral tidak punya kawan dan lawan abadi. Semuanya akan sangat tergantung pada terjamin tidaknya kepentingan.
Pengembangan nilai-nilai Islam dalam politik terasa aktual dan relevan dengan realitas masyarakat Muslim Indonesia (jika masyarakat Muslim memang ada di negeri kita). Kita sekarang sedang dihadapkan pada ketidakpastian masa depan, sementara para elite santri yang berkuasa seperti tidak mampu menggoreskan peta masa depan bagi bangsa ini. Jika demikian, dapatkah kita menawarkan nilai-nilai Islam kepada para elite agar kegalauan masa depan tidak menjadi kenyataan?
Sebuah Sintesa Sederhana
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, perlu disadari bahwa sikap sebagian kita sampai sekarang masih lebih memandang NU secara formal dan hanya pada kulitnya. Nilai-nilai dasarnya mengenai ketulusan, kejujuran, dan keadilan jarang dijadikan acuan dalam perilaku harian kita, kecuali dalam retorika politik. Dalam pada itu, sebagian orang begitu mudah terpukau oleh symbol keislaman yang tidak jarang dijadikan tameng untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang jahat. Dengan kata lain, bukan nilai-nilai NU yang lumpuh dalam menawarkan solusi, melainkan otak dan hati penganutnya yang telah diracuni oleh berbagai kepentingan duniawi yang membutakan. Oleh sebab itu, orang luar akan sulit menerima bahwa NU itu adalah solusi karena umat Islam sendiri lebih tertarik pada kulit ajaran daripada isi. Sebagian kita sekarang misalnya begitu gampang berdusta atas nama agama. Bukankah ini semua merupakan pengkhianatan terhadap nilai-nilai Islam yang paling autentik?
Bagi saya, simbol semata tidak dapat dijadikan jaminan, selama perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati dalam format kearifan, kejujuran, toleransi, kejernihan berpikir, dan tidak rakus. Memang, pada masa sekarang sulit sekali kita menemukan pribadi- pribadi Muslim yang memiliki kualifikasi ini semua. Namun pasti ada, dan kita sedang menanti kemunculannya ke panggung politik nasional. Akan tetapi, harap dicatat bahwa kualifikasi di atas tidak hanya dimonopoli umat Islam; umat lain pun pasti memilihnya pula. Apabila memang kita semua memiliki nilai-nilai luhur itu, mengapa hubungan inter dan antarumat kadang-kadang menemui jalan buntu atau bahkan terlibat dalam bentrokan horizontal?
Tidak diragukan lagi bahwa nilai-nilai NU seperti yang tercantum dalam sumber autentiknya punya banyak tawaran kepada politik dan kekuasaan, dengan catatan bahwa si pemegangnya masih punya hati nurani dan tidak rakus terhadap benda dan kekuasaan. Masa lampau umat Islam dalam kaitannya dengan politik dan kekuasaan perlu dikaji secara kritis dan objektif agar kita tidak terjebak dalam kesalahan yang sama. Dan, untuk menghadapi masa depan, nilai-nilai Islam yang segar, autentik, dan komprehensif perlu dirumuskan secara cerdas dan penuh tanggung jawab. Kemudian, unsur-unsur peradaban umat yang lepas dari nilai-nilai Islam yang autentik jangan dipertahankan sebab akan mengekang kita untuk dapat bergerak maju. Mempertahankan unsur-unsur yang sudah lapuk sama dan sebangun dengan pemberhalaan masa lampau yang memang bukan milik kita. Milik kita adalah apa yang kita ciptakan berdasarkan pemahaman autentik kita terhadap sumber-sumber ajaran serta Ideologi Jam’iyah.
Pembelajaran Sikap Konsisten Itu Susah
Apa pun pengertiannya, secara numerik, masyarakat yang merasa menjadi bagian dari NU merupakan jumlah yang amat besar di Indonesia. Inilah yang menjelaskan kenapa dari pemilu ke pemilu selama era reformasi, percakapan tentang kecenderungan elektoral warga NU begitu menarik semua kalangan. Hampir semua pengamat politik mengemukakan ”spekulasinya” masing-masing tentang partai dan calon presiden mana yang akan menjadi preferensi bagi warga NU.
Sementara itu, diskusi serupa terjadi dengan intensitas yang tinggi di kalangan warga NU sendiri, terutama dalam bulan-bulan politik seperti sekarang: partai apa dan calon presiden yang mana yang akan mendapatkan endorsement dari PBNU? Saya sendiri, sebagai salah satu Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), selalu mendapatkan pertanyaan serupa setiap kali berkunjung ke daerah. Ini adalah pertanyaan yang mirip sebuah kaset yang terus diputar.
Orang seringkali melihat AD/ART sebagai panduan dan pola bagi tindakan pelaku organisasi. Namun kenyataannya bahwa AD/ART pun sangat konstruktif-interpretatif terkait dengan penafsiran para pelakunya. Jika demikian halnya, maka semuanya tergantung pada siapa menafsirkan apa dan dalam konteks apa. Sungguh dibutuhkan satu sistem yang kredibel untuk mengatur mekanisme elit NU masuk politik mengatasi kekuatan kultur yang variatif. NU kemudian dijadikan sebagai satu-satunya referensi untuk mengusung siapa di mana dalam konteks pilihan politik apa.
Jika ini bisa dilakukan, maka elit struktural NU tidak harus mengurusi politik praktis yang memang bukan habitatnya. Yang diharapkan adalah NU dapat menyiapkan kader terbaiknya untuk jabatan-jabatan politik di suatu tempat tertentu. Dan kerja berikutnya adalah wilayah agensi yang bersangkutan untuk bermain dalan tataran politik melalui wadah yang sudah disepakati bersama. Dan yang lebih urgen adalah bagaimana menata mekanisme agar tidak terdapat dualisme dalam menyiapkan kader. Jika sudah ada kandidat NU yang maju ke medan laga politik, Sehingga tudingan bahwa NU bermain politik akan dapat tereduksi dengan sendirinya. Kekuasaan tanpa arah dan acuan moral pasti melahirkan kerusakan, kebinasaan dan kengerian. Kiranya masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh NU baik yang menyangkut urusan pengembangan SDM, ekonomi, kesehatan dan budaya. NU dengan pengikut yang besar harus dapat memainkan peranan besar dalam kehidupan masyarakat melalui amal usaha yang memang bersentuhan dengan kebutuhan umat.