Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Independensi OJK yang Tuai Kritikan

Penulis: Saiful Risky, Mahasiswa Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

Editor:

Kabar Baru, Opini- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi satu-satunya yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 49 ayat (5) Undang-Undang No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau yang sering kita sebut dengan UUPPSK. Yang mana hal tersebut sejatinya tidak dapat dibenarkan karena berdampak pada meningkatnya potensi tindak pidana korupsi, abuse of power, serta absolute power.

Lawrence Friedman menyatakan bahwa hukum yang baik setidaknya terdiri atas tiga komponen, yaitu structure, subtance, dan culutre. Apabila dikaitkan dengan teori tersebut, penyidikan tunggal oleh OJK dalam UUPPSK telah bertentangan. dalam struktur penyidikan OJK telah jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Substansi yang terdapat pada pasal 49 ayat (5) UUPSK tersebut juga menyebabkan adanya suatu ketidakpastian hukum. Dan juga kultur masyarakat Indonesia yang cenderung dalam suatu abuse of power.

Jasa Penerbitan Buku

Kewenangan tunggal tersebut membuat perusahaan, lembaga atau orang-orang yang berkecimpung di sektor keuangan takut kepada penyidik OJK. Yang mana hal tersebut dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena tidak ada lembaga atau institusi lain yang bisa menyidik kasus dalam sektor jasa keuangan. Dengan kewenangan sangat besar bertumpu pada satu lembaga dapat berpotensi terjadinya abuse of power dan kami tegaskan kembali bahwa hal ini tentu akan berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Korupsi yang dimaksud yaitu suap menyuap dan pemerasan hingga gratifikasi. Maka dai itu, diperlukan pembanding agar terjadi keseimbangan dan sinergi dalam penegakan hukum, sehingga sistem penegakan hukum bebas dari suatu tindak pidana korupsi.

Dari hasil studi komparatif, yang mengambil contoh dalam penegakan hukum korupsi, sebagaimana KPK tidak diberikan kewenangan sebagai penyidik tunggal, polisi dan kejaksaan juga bisa menyidik kasus korupsi. Bahkan kewenangan KPK dalam penyidikan dibatasi hanya menangani perkara terkait penegakan hukum, penyelenggara negara, dan orang lain terkait penegakan hukum dan penyelenggara negara serta yang menyangkut kerugian hingga di atas Rp1 miliar. Dengan tiga lembaga ini, sejatinya terlihat bahwa kasus-kasus besar korupsi dapat ditangani, bahkan di antara ketiga lembaga tersebut juga menjalin check and balence dalam bentuk koordinasi supervisi dan bisa terjadi pelimpahan penanganan perkara korupsi.

Perlu dicermati, dengan penegasan peran penyidikan tunggal tersebut, OJK memiliki kewenangan layaknya aparat penegak hukum lain seperti Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). OJK bisa menangkap, melakukan penyidikan termasuk penyidikan tindak pidana pencucian uang, hingga menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa. Yang mana ketentuan tersebut sebelumnya tidak diatur sama sekali dalam UU No.21/2011 tentang OJK. jelas bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila UU PPSK ditafsirkan secara letter lijk ketentuan mengenai penyidik tunggal maka tidak ada gunanya lagi badan khusus lembaga penegak hukum lain yang menangani kejahatan di sektor keuangan.

Seharusnya penyidik sektor jaksa keuangan tetap berada dalam institusi lain, seperti kepolisian dan juga kejaksaan, sebab maraknya kejahatan di sektor keuangan dewasa ini membutuhkan sinergi banyak institusi penegak hukum untuk memberantas kejahatan tersebut.

Sangat dikhawatirkan, OJK akan cenderung pilih-pilih kasus dan terkesan seperti cherry picking di mana penanganan perkara oleh penyidik OJK bergantung kepada kepentingan lembaga dan pejabatnya semata. Selain itu, potensi abuse of power akan sangat besar karena tidak tertutup kemungkinan kewenangan sebagai penyidik tunggal akan membuka ruang transaksi jual beli perkara. Apalagi jika tidak disertai dengan konsep pengawasan yang memadai, baik secara internal maupun eksternal. Wajar, jika ada kekhawatiran kewenangan superior OJK itu akan menabrak tatanan hukum yang berlaku saat ini. Implementasi pasal ini jelas sebuah pagar atau sengaja diciptakan untuk memagari industri keuangan mereka semakin eksklusif.

Pun selama ini POLRI bersama OJK sudah cepat dan dinilai profesional dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana sektor jasa keuangan secara bersamaan. Kerja sama POLRI dan OJK justru harus semakin diperkuat, bukan malah dipisahkan. Jika berbicara KUHAP, maka penyidik utama adalah POLRI. Sehingga polisi harus tetap diberi kewenangan melakukan penyidikan dalam melakukan tindak pidana jasa keuangan. Pemberian kewenangan POLRI untuk bisa menyidik tindak pidana dalam sektor keuangan justru demi kebaikan OJK itu sendiri.

Sebab OJK lebih baik fokus dalam bidang pengawasan sektor keuangan bukan dalam penyidikan. Yang mana tindak pidana dalam sektor keuangan membutuhkan pengusutan secara hati-hati dan cermat karena tindakan tersebut amatlah kompleks. Oleh karena itu, dalam hal ini OJK diragukan karena minimnya pengalaman yang dimiliki.

 

*) Penulis adalah Saiful Risky, Mahasiswa Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store