Pembagian Harta Bersama dalam Budaya Egaliter Jawa
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Tulisan ini akan membahas tentang nilai budaya egaliter Jawa dalam pembagian harta bersama, khususnya di Pengadilan Agama (PA) Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pembahasan mengenai implementasi nilai-nilai kesalingan dan keadilan dalam memutus sengketa harta bersama serta pertimbangan kemaslahatan pembagian harta bersama dalam interpretasi Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Praktik-praktik persengketaan harta bersama di PA Bantul yang menerapkan nilai-nilai kuat terkait harta bersama dalam masyarakat Jawa memiliki banyak makna dari berbagai pandangan.
Aturan mengenai harta bersama dalam KHI terkait pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian, di mana janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan. Sedang dalam hukum adat, baik suami maupun istri memiliki hak untuk menguasai harta bersama. Pembagian harta bersama dalam hukum adat dipengaruhi oleh susunan masyarakat adatnya. Beberapa kriteria untuk menetukan apakah harta tersebut termasuk harta bersama atau bukan, diantaranya adalah: harta yang dibeli selama perkawinan, harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, harta yang dibuktikan dan diperoleh selama perkawinan, penghasilan harta bersama dan harta bawan, serta segala penghasilan pribadi suami istri.
Harta bersama adalah segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya, seperti harta yang dibeli selama perkawinan, harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, harta yang dapat dibuktikan dan diperoleh selama perkawinan, pengasilan harta bersama dan harta bawaan, dan segala penghasilan pribadi suami. Sementara hukum positif Indonesia sudah mengaturnya dengan baik, hukum Islam tidak mengaturnya secara eksplisit. Di mana hal-hal yang sifatnya kekeluargaan, termasuk harta bersama condong kepada adat setempat yang cenderung patriartki dan tidak ramah pada perempuan.
Namun jika ditelaah lebih dalam, budaya Jawa juga sarat dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama pentingnya. Empat hal yang membuktikan bahwa sebagian budaya Jawa menjunjung tinggi nilai-nilai kesalingan, yaitu; “garwo” atau sigaraning nyowo (separuh nyawa) yang secara filosofis membawa konsekuensi bahwa tanggung jawab perempuan pada keluarga relatif sama dengan laki-laki; Jawa menganut budaya bilateral kinship di mana nama anak tidak dihubungkan dengan ayah atau ibunya, namun memiliki namanya sendiri; tidak mengenal jenis kelamin atau genderless (hal ini dianggap berkontribusi terhadap flexibilitas peran gender di masyarakat Indonesia); banyak sejarah keberadaan para leluhur yang membuktikan bahwa Indonesia memiliki toleransi pada masalah gender.
Hal tersebut mempengaruhi bagaimana susunan masyarakat dalam pembagian harta bersama, begitu juga dengan budaya Jawa. Bentuk kekerabatan yang sama terkadang memiliki sistem pembagian yang berbeda. Harta bersama di Jawa tidak ada pembeda antara harta bawaan dengan harta yang diperoleh ketika perkawinan, karena sistem yang dianut adalah sistem patrilinear. Sehingga harta bersama, harta bawaan dan harta pusaka dijadikan satu kesatuan. Pengaturan semua harta diatur oleh suami dan dibantu oleh istri sebagai pendampingya.
Salah satu bentuk perlindungan Mahkamah Agung terhadap perempuan dalam konteks pembagian harta bersama ini adalah pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum dan salah satunya mengeluarkan SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Hasil Kamar Mahkamah Agung, huruf c angka (1) bahwa dalam rangka memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madiyah, dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat, “dibayar sebelum pengucapan ikrar talak.” Terhadap perkara perceraian yang dikumulasikan dengan harta bersama, maka pihak suami hanya dapat menjatuhkan ikrar talaknya setelah memenuhi atau membayar kewajibannya baik berupa nafkah dan pembagian harta bersama.
Persoalan pembagian harta bersama di Indonesia seringkali sulit untuk didamaikan, dan ketika diputuskan melalui putusan hakim seringkali salah satu pihak tidak melaksanakan. Salah satu contoh dalam perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Bantul seringkali dikumulasikan dengan perkara perceraian. Di samping di dalamnya juga ada gugatan hak asuh anak dan nafkah istri pasca perceraian yakni mengenai tuntutan nafkah madiyah, nafkah iddah, dan mut’ah. Persoalan pembagian harta bersama seolah mudah namun dalam prakteknya apabila tidak dapat diselesaikan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Hal yang sering dihadapi adalah ketika suami keberatan dalam memberikan sebagian harta yang diperoleh selama pernikahan kepada sang istri karena ia menganggap bahwa istri hanya di rumah dan tidak bekerja sehingga tidak memiliki kontribusi terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan.
Selain itu, apabila harta bersama berupa rumah berdiri di atas tanah milik orang tua salah satu pihak ataupun merupakan harta bawaan dari salah satu pihak baik istri maupun suami, akan sulit dibagi jika tidak ada niat baik dari salah satu pihak untuk membagi secara natural. Karena tidak jarang suami atau istri yang merasa bekerja dan menghasilkan uang merasa lebih memiliki hak dalam harta bersama tersebut. Sedangkan dalam budaya Jawa cenderung patriarki yang menganut sistem kekeluargaan yang mengutamakan garis keturunan dari laki-laki, sehingga memunculkan ideologi bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan dan menjadikan perempuan terdiskriminasi. Akibatnya, perempuan seringkali dianggap tidak perlu mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, termasuk pada pembagian harta gono-gini.
Hal ini tentu memerlukan kajian mendalam guna menyamakan perspektif atas struktur fungsional keluarga yang saat ini sudah bergeser dan memberikan perlindungan hukum pada istri yang seringnya tidak memperoleh kesetaraan substantive. Di mana peran serta kontribusi laki-laki dan perempuan adalah sama dalam keluarga, sehingga suami tidak merasa berhak lebih banyak atas harta bersama dalam pembagiannya, karena istri memiliki peran ganda dalam praktek secara umum seperti bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan, sekaligus melakukan pekerjaan domestik rumah.
Dalam tulisan ini diambil dua contoh kasus penyelesaian harta bersama yakni di luar persidangan dan di dalam persidangan. Dua contoh ini menunjukkan bahwa perspektif kesetaraan hakim yang dilandasi dengan budaya kesalingan dan keadilan serta hukum positif yang ada dapat mempengaruhi hasil putusan. Dalam kasus pertama, terjadi kesepakatan bersama bahwa masalah harta bersama ini diselesaikan secara kekeluargaan dengan pertimbangan kesadaran untuk mewujudkan kemaslahatan dan keadilan bagi kedua belah pihak, sebagaimana adat dan budaya atas pengarahan Majelis Hakim. Sedang dalam kasus kedua Majelis Hakim juga merintahkan untuk menyelesaikan masalah harta bersama secara kekeluargaan, namun tidak berhasil. Hakim kemudian mempertimbangkan bukti-bukti dalam persidangan dan melakukan pemeriksaan sehingga memutuskan bahwa harta bersama dibagi sama rata antara suami dan istri, dan masing-masing mendapat setengah bagian.
Hal yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam dua perkara harta bersama tersebut adalah sebagai salah satu jalan keluar guna terjaminnya hak-hak perempuan pasca perceraian dan merupakan upaya yang relevan dan konkrit serta sesuai dengan maqasid syariah. Meskipun demikian, belum banyak menempatkan instrument resolusi konflik yang tepat dalam memberi edukasi dan kesadaran di antara pihak yang bersengketa terutama pada masyarakat yang memegang teguh budaya patriarki. Dimana dalam konstruksi masyarakat tertentu, patriarki seolah menjadi budaya yang mendarah daging yang tidak bisa direkonstruksi lagi. Maka perlu adanya upaya memasyaratkan perihal pembagian harta bersama secara egaliter ini sehingga menjadi dikenal, dipahami dan dihayati oleh masyarakat agar nilai kebenaran dan keadilan para pihak terlindungi secara hukum dan hak-haknya terjamin sebagaimana tujuan maqasid syariah.
Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya mempertimbangkan hukum positif, tetapi juga mempertimbangkan local wisdom yang ada. Budaya-budaya Jawa tidak semua melihat relasi laki-laki dan perempuan itu secara sub-ordinatif. Ada beberapa budaya Jawa yang kurang populer justru menekankan nilai-nilai kesalingan dan keadilan. Budaya-budaya tersebut menjadi pertimbangan hakim untuk memutus perkara-perkara yang ada. Pengadilan Agama Bantul mendasarkan hal tersebut pada tiga hal, yaitu hukum positif, nilai-nilai kemaslahatan dan nilai-nilai keadilan dalam maqasid syariah, serta local wisdom yang punya perspektif kesalingan dan keadilan dalam hidup pada budaya masyarakat setempat.
*) Penulis adalah Adji Pratama Putra, Mahasiswa Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.