Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Agama

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Pengetahuan berfungsi sebagai fondasi di mana agama Islam dibangun. Dia memerintahkan orang-orang yang mengikutinya untuk tidak beriman atau beramal saleh dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama, melainkan dengan ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan, yang memiliki landasan dan landasan yang benar, dan yang dapat dipastikan dengan wahyu. Postulat adalah nama lain untuk argumen dan penjelasan filosofis dan teologis ini.
Wahyu Alquran dan Sunnah Nabi (perkataan, perbuatan, dan pengakuannya) menjadi dasar dalil dalam Islam. Alquran telah mengukuhkan sunnah sebagai dasar agama yang sepadan dan sejalan dengannya, dan sama sekali tidak bertentangan dengannya. Ada alasan lebih lanjut yang termasuk dalam kategori ini, yang semuanya divalidasi oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun sebagian besar legitimasinya dipertanyakan oleh para ahli, ada satu bidang yang dapat mereka sepakati bersama, seperti halnya ijma.
Ijma’ biasanya dijelaskan oleh para akademisi dengan menggunakan berbagai perumpamaan. Di sisi lain, secara singkat kita dapat meringkasnya sebagai berikut: “Konsensus semua ulama mujtahid tentang masalah agama tertentu pada suatu waktu setelah masa Nabi.” Dan ijma yang dapat dijelaskan adalah yang terjadi pada masa para sahabat, pada masa para sahabat mengikuti, dan pada masa setelah itu (setelah tabiin). Karena setelah masanya para akademisi bubar dan jumlah mereka banyak sekali, dan karena konflik semakin banyak, tidak mungkin bisa dipastikan bahwa semua ahli sudah sepakat.
Ada banyak perbedaan pemikiran di kalangan ulama ushul fiqh dalam mendefinisikan definisi ijma’, baik dari segi etimologi maupun terminologinya. Namun lebih khusus lagi, dalam kaitannya dengan definisi terminologis yang dibuat setelah berbagai pendapat dipertimbangkan, yang dimaksud adalah kesepakatan semua mujtahid pada satu waktu tentang hukum suatu subjek yang membutuhkan penyelesaian hukum. Setelah itu para mujtahid menjadikan ijma sebagai landasan hukum qath’i sebagai kerangka hukum mereka. Hal ini karena baik Alquran maupun hadits termasuk bahasa yang menghujat. Ijma terdiri dari ijma sharih dan ijma sukuti. Ada tiga mazhab yang dianut para akademisi yang secara khusus menyikapi ijma’ sukuti sebagai hujjah. Pertama, Ijma Sukuti yang diajukan menjadi dalil, tetapi tidak diterima sebagai Ijma. Karena itu, ijma mensyaratkan adanya kesepakatan terbuka. Kedua, berganti nama menjadi hujjah dan selanjutnya disebut ijma’. Ketiga, tidak mungkin dijadikan dalil, sehingga tidak bisa dianggap ijma. Pada hakikatnya telah terjadi ijma’ yang merupakan fakta yang tidak dapat dibantah.
Ijma’ Merupakan Pendapat Bulat dari Masyarakat
Fungsi Ijma’ adalah menghentikan perselisihan dan memastikan bahwa setiap orang akan memiliki pemahaman yang sama tentang situasi tersebut. Terkadang ketidaksepakatan masih muncul dalam masalah pembuktian, dan ini mungkin karena perbedaan dalam cara orang memahami argumen atau keadaan lain.
Seseorang perlu mengenal sejarah Islam untuk memahami gagasan Ijma. Muslim awal menjadi sasaran penganiayaan dan akhirnya terpaksa meninggalkan tanah air mereka. Umat Islam awal terkenal dengan keberaniannya karena sering terlibat dalam pertempuran untuk mempertahankan keyakinannya. Selama dakwah Islam dijaga, mereka tidak peduli dengan risiko terhadap nyawa mereka sendiri. Ayat-ayat yang membentuk Al-Qur’an diturunkan pada saat itu untuk memberikan solusi atas tantangan unik yang dihadapi umat Islam pertama. Begitulah gagasan Islam tentang ijma, yang diterjemahkan menjadi “konsensus,” muncul. Itu adalah langkah awal dalam proses pengembangan hukum agama, dan dasarnya adalah umat Islam mencapai konsensus tentang masalah tertentu. Istilah “ijma” mengacu pada konsensus ini.
Dalam suatu budaya, ide dapat tumbuh dalam berbagai cara yang berbeda, terutama ketika individu berbagi pengalaman dan pendapat yang sama. Di sinilah umat Islam awal memperoleh pengetahuan yang membimbing mereka dalam praktik yang benar dari agama mereka. Mereka dianiaya karena pandangan mereka, jadi mereka menggunakan akal sehat untuk menentukan apa yang berhasil dan tidak berhasil bagi mereka. Ini disebut sebagai ijma, yang dapat diterjemahkan sebagai konsensus atau kesepakatan. Ijma’ adalah landasan di mana hukum agama dibangun. Pembentukan konsep menjadi hukum terjadi melalui metode yang dijelaskan di bawah ini. Mengikuti ambang literasi dan konvensi yang telah ditentukan sebelumnya, hukum mencapai status ilahi.
*) Penulis adalah Faiz Nur Faiqoh, Mahasiswa Jurusan Kajian Timur Tengah dan Islam (KTTI) Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co