Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Merdeka dan Setara Membangun Indonesia

Setara Membangun Indonesia
Penulis: Imayati Kalean, (Sekretaris Umum Kohati PB HMI).

Editor:

Kabar Baru, Opini- 77 tahun silam, Ir. Soekarno mewakiliki bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dalam cerita sejarah umumnya, cerita heroik ini kental mengedepankan peran tokoh laki-laki, yang kemudian dikenal sebagai tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Begitupun dalam pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Padahal perempuan di waktu proklamasi juga turut menyukseskan bahkan mengemban peran penting.

Sejauh ini, yang paling kita kenal adalah Fatmawati, yang juga Ibu Negara pertama Indonesia. Selain menjahit bendera, Fatmawati juga membuka dapur umum di rumahnya untuk meyuplai makan pagi bagi masyarakat yang hadir dalam acara proklamasi. Namun selain itu, ada beberapa tokoh perempuan lainnya yang juga hadir dan memiliki peran penting bagi kemerddekaan Indonesia yaitu seperti Oetari Soetarti.

Jasa Pembuatan Buku

Oetari adalah mahasiswi Ika Daigaku dan salah satu anggota Palang Merah Indonesia. Kemudian ada Retnosedjati, juga mahasiswi Ika Diagaku. Selain hadir untuk memproklamirkan kemerdekaan, dia adalah anggota PMI yang bertugas mengurus obat-obatan prajurit di Solo. Selanjutnya, Yuliari Markoem, salah satu tokoh mahasiswi yang bertugas dalam penaikan Bendera Pusaka dan turut andil membantu perang kemerdekaan sebagai penghubung dalam kegiatan pengiriman kebutuhan medis di daerah-daerah gerilya.

Gonowati Djaka Sutadiwiria, perempuan asal semarang yang bertugas sebagai anggota pengamanan proklamasi kemerdekaan. Gonowatia dalah majasiswa Ika Daigaku yang memiliki peran mengumpulkan obat-obatan dalam perang kemerdekaan. Zuleika Rachman Masjhur Jasin, pemimpin mahasiswi Ika Daigaku yang turut menyaksikan detik-detik proklamasi kemerdekaan.

Dan yang terakhir, S.K Trimurti, wartawan yang meliput proklamasi kemerdekaan. Selain itu, Trimurti merupakan perempuan yang dikenal kritis dan anti-kolonialisme serta aktif menyuarakan permasalahan perempuan dan percaya dengan revolusi kemerdekaan, perempuan dapat mencapai kebebasannya. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi Menteri Perburuhan Indonesia yang pertama.

Ketujuh tokoh perempuan tersebut hanya sebagian yang tersebut dalam cerita dan ingatan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Catatan penting yang perlu diingat adalah mereka bukan tokoh figuran dalam cerita sejarah tersebut. Sama strategisnya sebagaimana laki-laki yang turut andil dan hadir pada saat itu.

Kemerdekaan Bukan Hanya Milik Laki-Laki

Kemerdekaan bukan hanya miliki laki-laki. Baik dalam proses perwujudannya hingga Indonesia benar-benar telah merdeka dari kolonialisme. Juga hari ini, setelah 77 tahun kemerdekaan diproklamirkan, kemerdekaan, sekali lagi bukan hanya miliki laki-laki. Dalam mengisi kemerdekaan, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama dan harus bertanggungjawab atasnya.

Ir. Soekarno memastikan hal ini melalui tulisan-tulisannya, lebih-lebih dalam bukunya Sarinah (1947), bahwa bangsa Indonesia akan mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial ketika tidak terjadi pembedaan peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Prinsip dasar ini seharusnya menjadi kesadaran kolektif bagi seluruh entitas dan elemen bangsa ini sehingga persoalan kesetaraan tidak lagi menjadi soal sebagaimana saat ini.

Tidak ada hal baik yang dicapai jika persoalan peran masih didasarkan pada jenis kelamin. Begitupun dalam sistem sosial-masyarakat, baik patriarki dan matriarti tidak ada baik dan untungnya untuk siapapun. Keduanya akan tetap menciptakan masalah dan menyeret kita ke dalam kekacauan hidup berbangsa dan bernegara. Namun faktanya, masih terjadi ketimpangan pembangunan nasional yang sebabnya adalah jenis kelamin yang kemudian sangat merugikan perempuan.

Betul bahwa patrairki masih menjadi momok dan penghambat terbesar bagi pembangunan gender dan pemberdayaan perempuan Indonesia. Seolah bahwa pesan kemerdekaan tentang peran yang setara hanyalah angin lalu, terlewat begitu saja dan tidak serius untuk diwujudkan.

Melalui momen peringatan hari kemerdekaan kali ini, negara perlu diingatkan kembali bahwa kemerdekaan adalah hak dan milik semua bangsa dan individu didalamnya tanpa pengecualian. Bahwa perempuan bukanlah figuran, sejak dulu kemampuan dan perannya turut membantu bangsa ini merdeka dengan langsung turun ke medan perang dan peran lainnya yang strategis. Di semua lini ditemukan peran perempuan, domestik hingga publik.

Memegang senjata, mengatur strategi, menulis, mengobati, membawa pesan hingga memasak di dapur dan memastikan keamanan anak dan anggota keluarga di dalam rumah semua dilakoni perempuan. Lalu apa yang masih diragukan sehingga perempuan masih ditinggal dalam mengisi kemerdekaan bangsa ini selain daripada ego superior yang melekat pada laki-laki.

Seringkali, ego superioritas yang sudah mengendap dan mengakar pada karakter laki-laki menampik semua logika dan kenyataan bahwa perempuan memiliki kapasitas sebagaimana laki-laki untuk mengemban peran strategis kepemimpinan dan pembangunan bangsa. Superioritas kemudian menutup batin dan nurani, seolah tidak rela harus duduk setara dengan perempuan. Padahal persoalan mewujudkan tujuan kemerdekaan adalah tanggungjawab keduanya. Patriarkisme yang sudah ada kemudian dirawat untuk melanggengkan domestifikasi perempuan.

Kemudian sistem bernegara secara terstruktur mengatur peran perempuan yang dominan ke peran-peran domestik. Doktirn domestik ini menjadi keyakinan perempuan Indonesia pada umumnya, bahwa mengurus rumah, anak dan mengatur isi rumah adalah peran perempuan yang harus diutamakan sebelum pekerjaan dan karir. Bukan suatu yang salah jika itu merupakan suatu pilihan yang dilakukan secara merdeka, tetapi berbeda jika terjadi karena hasil pemahaman dan keyakinan. Ini jelas-jelas akan melanggengkan keterpinggiran dan ketertinggalam perempuan, dan semakin membuat miris bahwa hal tersebut terjadi karena pembodohan tersistem oleh negara terhadap perempuan.

Jalan Panjang Menuju Kesetaraan

Keberhasilan pembangunan nasional dinilai dari pembangunan manusianya. Kemudian pembangunan manusia dinilai dari terciptanya ruang dan kesempatan yang setara bagi perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Global Gender Gap Report 2022 oleh World Economic Forum (WEF) melaporkan bahwa skor indeks ketimpangan gender Indonesia adalah 0,697 dan berada di peringkat 92 dari 146 negara.

Skor ini masih cukup jauh untuk mencapai skor ideal 1 untuk dikatakan tercapainya kesetaraan penuh. Kajian ketimpangan gender dilakukan di empat bidang yaitu pemberdayaan politik, partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, dan kesehatan dan kelangsungan hidup. Jika mengacu pada hasil kajian WEF, skor indeks Indonesia terbebani oleh indeks pemberdayaan perempuan di bidang politik yang masih sangat rendah yakni 0,169 atau di bawah rata-rata global. Sedangkan untuk tiga lainnya sudah cukup baik dan sudah mencapai rata-rata global.

Skor indeks bidang politik tersebut menegaskan bahwa peran kepemimpinan perempuan masih harus terus dikuatkan. Kebijakan affirmasi quota keterwakilan 30% perempuan di parlemen belum cukup signifikan mendorong kepemimpinan politik perempuan. Persoalan lain kemudian muncul, fokus 30% kemudian hampir melupakan elemen kualitas yang justru lebih penting dari kuantitas itu sendiri. Sehingga pencapaian 20,8% keterwakilan perempuan pada Pemilu 2019 tidak berpengaruh siginifikan terhadap pembangunan gender dan pemberdayaan perempuan Indonesia.

Kompleksitas persoalan yang dihadapi perempuan memerlukan kesatuan visi yang tegas, sehingga tidak melonggarkan hal-hal yang kemudian dapat menghambat prosesnya. Kebijakan affirmasi 30% keterwakilan perempuan di parlemen menjadi salah satu contoh suatu kebijakan yang dibuat dengan visi yang belum kuat sehingga tujuan yang baik menjadi “boomerang” bagi perempuan itu sendiri. Sehingga angka 30% tersebut terkesan seperti dimain-mainkan.

Hal tersebut dapat dilihat melalui bagaimana partai politik menentukan calon legislatif perempuan. Kualitas menjadi syarat di nomor sekian, yang utama dilihat adalah latar belakang keluarga seperti siapa suaminya, bapaknya atau keluarga dekat lainnya hingga tampilan fisiknya. Yang semakin membuat jengah adalah, tidak jarang calon legislatif perempuan ditaro hanya untuk penarik minat masyarakat maka tidak jarang kita melihat baliho-baliho parpol bertebaran dengan gambar perempuan “cantik” dan menarik secara tampilan fisiknya.

Kondisi tersebut terjadi karena tidak ada kontrol kualitas yang tegas dan pasti sebagai bentuk pengawalan untuk mendorong keterwakilan 30% perempuan di parlemen. Padahal tujuan dasar keterwakilan tersebut adalah perempuan parlemen mampu mewakilkan suara perempuan lainnya dan menjadi garda terdepan untuk mendorong pembangunan gender Indonesia. Namun justru terbawa arus kekuasaan yang semakin melanggengkan marjinalisasi terhadap perempuan.

Maka, rasa-rasanya untuk sampai pada kesetaraan masih membutuhkan sebuah perjalanan yang panjang dengan kerikil-kerikil tajam yang menuntut kita untuk tetap fokus agar tidak mudah berdarah dan jatuh. Masalah dasarnya bukan pada pengetahuan tetapi pada kesadaran. Kesadaran akan harkat dan martabat dan hak asasi, serta membongkar budaya yang masih lekat pada sistem patriarki sehingga pengakuan terhadap kapasitas perempuan tidak terhalang oleh ego superiotas yang sesungguhnya buta.

 

*) Penulis adalah Imayati Kalean, (Sekretaris Umum Kohati PB HMI).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store