Refleksi Penerapan Kebijakan Pemerintah Pusat saat Keadaan Darurat Kesehatan (Pandemi Covid-19)

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI– Konstitusi menjadi dasar seluruh ruang gerak dari suatu negara. Baik negara tersebut dalam kondisi normal maupun tidak normal. Hal ini didasarkan pada paham bahwa konstitusi sebagai norma dasar yang menjadi pedoman tertinggi dari suatu negara. Pada konsep hukum tata negara saat keadaan darurat, terdapat teori yang menyatakan bahwa seorang pemimpin boleh menjadi seorang diktator, manakala negaranya dalam keadaan terancam, yang melahirkan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan kedaulatan sebuah negara. Namun, yang perlu diperhatikan ialah dalam keadaan tersebut seluruh kebijakan yang diterapkan haruslah bersifat sementara dan memiliki fungsi untuk mengembalikan hak asasi seperti semula saat keadaan kembali normal seperti sedia kala. Pada situasi darurat negara selalu dihadapkan dengan suatu pilihan yang sangat dilematis. Disisi lain harus menyelamatkan warga negaranya namun disisi lain terdapat kebijakan pembekuan hak asasi.
Pada dewasa ini, seluruh negara di dunia masih berjibaku melawan kerasnya pandemi covid-19 yang semakin memunculkan banyak varian, hingga membuat hampir seluruh negara di dunia mengalami kewalahan. Pun di Indonesia, berdasarkan data yang diperoleh dari Satgas Covid-19 peduli lindungi, secara keseluruhan kasus terkonfirmasi positif sekitar 4 juta lebih kasus/hari. juga ditambah dengan akumulasi data per 3 bulan tren kasus nasional covid-19 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kasus pada triwulan sebelumnya. Meskipun pada saat ini kasus terkonfirmasi positif covid-19 telah mengalami penururnan yang sangat signifikan, sebagai masyarakat selalu waspada dari virus-virus yang dapat bermutasi lagi seperti yang terdahulu. Pemerintah sebagai penyelenggara negara dan mengutamakan kesejahteraan masyarakatnya haruslah melakukan inovasi untuk pencegahan dalam menghadapi mutasi virus yang telah diprediksi oleh sekian pakar epidimolog.
Jika ditelisik dari fakta sejarah sejak kemunculan virus covid-19 ini, Pemerintah Indonesia pada saat itu cenderung tidak tanggap dalam mempersiapkan pencegahan masuknya virus tersebut ke Indonesia, bahkan pemerintah pada saat itu terkesan meremehkan virus yang telah di tetapkan sebagai pandemi oleh WHO tersebut. Tanggal 2 maret 2020 Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus covid-19 pertama yang ditemukan pada warga Indonesia, hal tersebut sontak mengagetkan seluruh lapisan masyarakat. Pandemi tersebut seketika langsung melumpuhkan hampir segala sektor seperti sektor ekonomi dan pendidikan. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melalui presiden mengeluarkan kebijakan yang berupa Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang digunakan sebagai dasar untuk pemulihan ekonomi yang diakibatkan oleh kerasnya hantaman pandemi covid-19 hingga merontokan sektor ekonomi.
Selain Perppu Nomor 1 tahun 2020, pemerintah juga mengeluarkan suatu kebijakan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka penanganan covid-19. Selanjutnya, pemerintah juga menerapkan suatu pembatasan sosial berskala lokal dan PSBB transisi hingga pada puncaknya pemerintah melalui Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat untuk pengendalian coronavirus disease (covid-19) Pada regulasi selanjutnya pemerintah melalui Instruksi Mendagri Nomor 15 Tahun 2021 yang mengkhususkan PPKM dilakukan di wilayah Jawa dan Bali. PSBB dan PPKM merupakan dua kebijakan yang sangat diharapkan untuk menekan laju kasus positif.
Apabila diperhatikan lebih teliti dalam kebijakan PPKM yang diterapkan oleh pemerintah, dapat dikatakan bahwa PPKM lebih mendetail mengenai pembatasan-pembatasan kegiatan masyarakat, hal ini dibuktikan oleh ditutupnya seluruh tempat umum dan pemberlakuan jam malam bahkan pembatasan pada rumah makan dalam melayani pembeli. Sedangkan Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan yang berdasarkan peraturan pemerintah, namun dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah juga memiliki andil dalam penerapannya. Pada penerapan PSBB ini dilakukan atas usul pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan pada akhirnya melalui pertimbangannya pemerintah pusat menetapkan daerah yang diajukan oleh pemda terkait untuk melaksanakan pembatasan. Berbeda halnya dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), pemerintah pusatlah yang memiliki wewenang mutlak dalam pelaksanaannya. hal ini terjadi pada dewasa ini, tentang penerapan PPKM khusus jawa dan bali. untuk menekan kasus covid-19.
Dirujuk pada fakta hari ini penerapan kebijakan PPKM dengan kewenangan mutlak yang dimiliki oleh pemerintah pusat, kasus covid-19 telah mengalami penururnan daripada saat pemberlakuan PSBB. Dibuktikan dengan data dari Satgas Covid-19 tanggal 28 Oktober 2021 dengan 671 orang yang positif covid-19. Sedangkan pada saat PSBB yakni bulan April 2021 sebanyak 11.457 orang. Artinya, terbukti bahwa ketika penanggulangan pandemi dikoordinir oleh pemerintah pusat dengan kebijakan yang seragam, lebih efektif daripada disesuaikan dengan kehendak setiap daerah. Meskipun, pada penerapan PPKM pemerintah pusat memiliki kewenangan mutlak untuk menerapkannya. pada faktanya kebijakan tersebut baik PPKM ataupun PSBB belum berhasil menyadarkan dan menekan angka kematian dan kasus positif covid-19.
Disisi lain, pada saat keadaan darurat kesehatan akibat dari pandemi tersebut, terdapat upaya tarik-menarik kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dibuktikan dari kebijakan lockdown lokal yang diambil Bupati Tegal sejak 23 Maret 2020 dengan cara menutup akses masuk kota dengan beton movable concrete barrier (MBC). Kebijakan Gubernur Papua yang melakukan penutupan akses keluar-masuk dari pelabuhan, bandara, darat, termasuk Pos Lintas Batas Negara sejak 26 Maret 2020. Padahal pada saat kondisi darurat harus terdapat garis komando khusus yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. Walaupun asas desentralisasi dijadikan dasar oleh pemerintah daerah dalam penerapan kebijakan pencegahan. Namun, pada dasarnya asas tersebut tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat. Akibat dari adanya upaya Tarik menarik dan saling klaim hak mengenai penerapan kebijakan berimbas pada gagalnya penangananan pandemi yang menurut penulis bisa disebut sebagai penanganan priode I, jika dibandingkan pada dewasa ini dalam penerapan PPKM yang disentralkan pada pemerintah pusat pengendalian pandemi lebih bisa dikendalikan dan dapat menekan angka kasus terkonfirmasi positif.
Dari pemaparan tersebut penulis berkesimpulan bahwasannya dalam hal penetapan suatu kebijakan pada masa darurat sifatnya hanya sementara untuk pemulihan suatu kondisi menjadi normal Kembali. Selain itu Pada Penerapan kebijakan yang disentralkan kepada pemerintah pusat terbukti lebih ampuh dan berhasil dalam menekan kasus aktif covid-19, Sehingga pada nantinya dalam penerapan kebijakan pada saat masa darurat, pemerintah pusat memegang kendali utama dalam hal penetapannya akan lebih efektif untuk pengendalian suatu masalah tertentu yang dianggap darurat, hal ini disebabkan karena pada kebijakan yang disentralkan akan bersifat satu komando. Walaupun Pemda memiliki asas desentralisasi, seharusnya dalam menerapkan kebijakan tidaklah mendahului ketentuan pemerintah pusat, apalagi kebijakan yang berkaitan dengan keuangan dan ancaman stabilitas ekonomi, sosial dan politik masyarakat. Secara sederhana penulis merefleksikan seluruh kebijakan yang telah diterapkan sehingga dapat dijadikan pedoman kedepannya.
- Penulis adalah Deny Noer Wahid, mwrupakan mahasiswa aktif Fakultas Hukum UMM)
- Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co