Gelagat Ekspresif: Analisis Objektif atas Ekspresi Wajah Pejabat Publik

Jurnalis: Pengki Djoha
KABAR BARU,OPINI— Polemik mengenai ekspresi mimik wajah seorang anggota DPRD Kabupaten Gorontalo Utara perempuan saat menghadiri aksi demonstrasi telah memicu perdebatan luas di ruang publik, khususnya di media sosial. Banyak pihak menilai ekspresi tersebut sebagai bentuk cibiran atau sikap merendahkan terhadap aspirasi massa. Namun, penting untuk mengedepankan pendekatan ilmiah dan analisis objektif guna menghindari bias interpretatif yang merugikan.
Dalam kajian psikologi komunikasi non-verbal, ekspresi wajah merupakan respons kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, termasuk tekanan situasional, kelelahan mental, hingga respons otonom tubuh yang tidak selalu terkendali secara sadar. “Interpretasi terhadap ekspresi wajah seseorang harus mempertimbangkan konteks menyeluruh, termasuk intensitas situasi, tekanan psikologis, serta kemungkinan adanya ambiguitas dalam penyampaian sinyal emosional
Rahayu Mengungkapkan Pendapatnya Sejumlah analis politik menilai reaksi berlebihan terhadap ekspresi wajah pejabat publik, khususnya perempuan, mencerminkan adanya standar ganda dalam penilaian terhadap pemimpin perempuan di ruang politik. Fenomena ini dikenal sebagai gendered scrutiny, yaitu kecenderungan masyarakat mengevaluasi perilaku perempuan dalam posisi otoritas secara lebih keras dibandingkan rekan pria mereka. “Ketika perempuan menunjukkan ketegasan atau ekspresi yang tidak sesuai dengan stereotip keperempuanan, publik kerap memberikan respons negatif, yang seharusnya ditinjau ulang dari kacamata keadilan gender,” ujar Rahayu.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, kritik terhadap pejabat publik merupakan hak warga negara. Namun, kritik sebaiknya diarahkan pada substansi tindakan dan kebijakan, bukan semata-mata pada tafsir subjektif terhadap ekspresi fisik yang belum tentu mewakili niat internal.
“Saya sangat menyayangkan dalam hal ini lebih banyak menyerang kaum laki-laki ketimbang perempuan, ini dengan jelas melalui mutilasi psikologi laki-laki dengan sengaja membunuh bagian emosional dan empati mereka,” tambahnya.
Dengan demikian, masyarakat dan anak muda Gorontalo perlu pendekatan yang lebih proporsional, berbasis data dan ilmu pengetahuan dalam menilai perilaku pejabat publik, terutama perempuan. Masyarakat diharapkan membangun budaya diskursus yang tidak hanya kritis, tetapi juga adil dan bebas dari prasangka, serta berkesesuaian dengan fakta, bukan penggalan saja