Kala NU Ingin Dilemahkan Seperti Di Zaman Orba

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Orde baru (Orba) adalah era dimana tentara melebarkan sayap kekuasaan tanpa celah, memperalat birokrasi dan membentuk kekuatan sosial politik besar yang bernama Golkar (direct), PPP dan PDI (indirect). Tabiat rezim ini tidak terlalu senang apabila ada tokoh atau gerakan yang mengkritisi dan membahayakan pemerintahan, taklukan dan singkrikan. Begitulah kira-kira instruksi Ndoro Soeharto pada bawahanya pada waktu itu. Contohnya seperti gerakan islam Nahdatul Ulama yang mengkritisi pemerintahan Soeharto yang dikenal dengan delegitimasi orba.
Puncaknya ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mulai memimpin NU pada 1984-1999, dimana genderang perang antara Orba dengan NU semakin kencang. Terbukti di Muktamar ke 29 NU tahun 1994 yang bertempat di Cipasung Soeharto waktu itu dengan terang-terangan ingin mencegal Gus Dur dengan memasang calon boneka yaitu Abu Hasan. Muktamar ini dijaga ketat sekitar 1.500 personel tentara dan 100-an intel, serta panser. Gilanya lagi, ada aparat keamanan yang menyamar memakai seragam Bantuan Ansor Serbaguna (Banser).
Intervensi negara yang sangat kuat ini pada akhirnya tidak dapat membajak NU karena Gus Dur terpilih kembali menjadi ketua PBNU mengalahkan Abu Hasan pada putaran kedua. Gangguan Orba tidak selesai disitu saja bahkan parta-partai islam selain NU hampir tidak diberi posisi dalam politik. Semua dipangkas dan dilemahkan. Satu-satunya yang masih bertahan adalah partai NU. Bagi mereka, yaitu koalisi teknokrasi, birokrasi model lama dan militer menganggap bahwa Gerakan islam hanyalah pendukung saja dalam bernegara, tidak boleh berperan.
Konsepsi itulah yang ditentang Gus Dur dan para Kiai. Ketika NU kembali ke khittah dalam artian tidak menjadi partai politik lagi maka NU ditaklukan oleh Orba dengan cara water down (pelarutan), dimana warga Nahdiyyah didorong mengikuti politik akan tetapi secara instansi tidak diberikan ruang. NU hanya dimanfaatkan menjadi kekuatan politik tapi dijauhkan dari pengambil kebijakan dan tempat-tempat strategis. Akhirnya, partai islam difusi menjadi PPP. Ini adalah keberhasilan orba dalam melemahkan gerakan islam dan NU.
NU tidak akan pernah bisa dihilangkan namun sangat mungkin untuk dilemahkan. Karena sejarah sudah mencatat memori kelam tersebut. Oleh karena itu, kaum bersarung dan berpeci yang sejak lama sudah manunggaling dengan bangsa Indonesia ini bahkan sebelum kemerdekaan harus berani menjadi shakhibul qarar (penentu kebijakan). Gus Dur dan KH. Ma’ruf Amin adalah representasi dari cita-cita mulia tersebut. Sebentar lagi, NU akan berumur satu abad, tentu ini adalah modal besar untuk lebih nyaring lagi menggemakan visi misi besar Nahdatul Ulama.
NU harus menjadi playmaker dalam pengambilan kebijkan dengan menempati tempat-tempat strategis, jangan terbuai dengan retorika-retorika idealisme yang sebenarnya justru meninginginkan NU kembali lagi ke arus pinggiran. Menjauhkan NU dari pusat pemerintahan seperti di era Orde baru. Isu-isu burung tentang keteganggan PBNU dan PKB, dualisme internal PBNU dan PKB harus segera diselesaikan, karena bisa jadi ini adalah metode baru yang digunakan oleh anasir-anasir jahat untuk merontokkan kejayaan NU.
*) Penulis adalah Ahmad Safarudin, S.Hum, merupakan Aktivis NU.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co