Dinas Pendidikan Bangkalan Diduga Akali Proyek, Paket Dipecah Demi Komisi

Jurnalis: Masudi
Kabar Baru, Bangkalan- Proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah kalangan menilai praktik yang dijalankan dinas terkait, Dinas Pendidikan, sarat dengan persoalan maladministrasi dan penyimpangan prosedur.
Berdasarkan dokumen Anggaran Belanja Modal Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan tahun 2025, tercatat belanja gedung dan bangunan mencapai Rp 48,7 miliar lebih. Dari jumlah tersebut, alokasi anggaran konstruksi sebesar Rp 47,2 miliar. Rinciannya, Rp 22,4 miliar digunakan untuk 33 paket melalui metode E-Purchasing, sementara Rp 22,3 miliar lainnya justru dipecah menjadi 116 paket Pengadaan Langsung.
Padahal, sesuai ketentuan Perpres No. 46 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 16 Tahun 2018, penggunaan e-Katalog melalui e-Purchasing seharusnya menjadi mekanisme utama, termasuk untuk pengadaan langsung, penunjukan langsung, tender, tender cepat, maupun jasa konsultansi.
Ketua Umum LSM Garis Demokrasi, H. Muhaimin, menilai pemecahan paket konstruksi dengan metode berbeda merupakan bentuk penyimpangan yang jelas.
“Kalau semua item sudah tersedia di etalase e-Katalog, kenapa harus memakai dua metode? Aturannya tegas, wajib menggunakan e-Purchasing. Dengan cara ini justru membuka peluang pemborosan dan rawan praktik pengaturan proyek,” tegasnya
Dugaan Praktik Pengaturan Vendor
Selain persoalan metode, proses mini kompetisi di e-Katalog juga dinilai tidak berjalan fair. Data yang diperoleh menunjukkan hampir semua kontrak proyek mendekati 100 persen dari HPS (Harga Perkiraan Sendiri).
Contoh kasus, paket rehabilitasi ruang kelas senilai Rp 495 juta disepakati dengan kontrak Rp 493,3 juta. Begitu pula pembangunan ruang kelas baru Rp 1,1 miliar dikontrakkan Rp 1,087 miliar, dan revitalisasi sekolah Rp 430 juta dikontrakkan Rp 426 juta lebih.
Muhaimin menduga kondisi tersebut bukan kebetulan. “Mini kompetisi seharusnya untuk mendapatkan harga terbaik. Tapi yang terjadi, pemenang diduga sudah diatur sebelumnya. Evaluasi penawaran bukan berdasarkan harga terendah, melainkan siapa yang memberi ‘cash back’ atau komisi. Modus ini sering melibatkan pejabat di level PPK,” ujarnya.
Kasus dugaan penyimpangan ini menambah daftar panjang masalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan di daerah. Dia Menilai harus ada langkah tegas aparat pengawas maupun aparat penegak hukum untuk menelusuri potensi kerugian negara yang bisa timbul dari praktik ini.
“Tindakan ini perlu di usut oleh penegak hukum agar pengelolaan anggaran daerah digunakan secara bijak dan Sesuai aturan” Pungkasnya