Puasa: Guidance Vs Hedon

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Lagi ramai di media sosial hingga televisi, bahkan jadi headline prime time, kita dipertontonkan dengan gaya hidup mewah para pejabat beserta istri dan anak-anaknya yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana pencucian uang hingga korupsi. Lalu yang menjadi pertanyaan kita apakah hikmah yang dapat kita ambil dari fenomena gaya hidup mewah bergaya hedon dari para pejabat dan keluarganya tersebut? Lantas bimbingan apa yang diperlukan agar hidup kita bisa terkendali dengan baik, yang sejalan dengan maqashidus syari’ah? Penulis berkeyakinan bahwa salah satu solusinya yaitu dengan melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan.
Gaya hidup mewah sedang mewabah umat Islam dibumi nusantara ini. Digemari oleh berbagai kalangan, diimpikan oleh kalangan bawah dan apalagi yang kaya. Masing-masing orang, kelompok, komunitas, saling berlomba-lomba mengeksiskan diri di Tik Tok, Instagram, Facebook, Twitter, dan aplikasi media sosial lainnya. Ada memang sebagian yang memanfaatkan platform media sosial digital tersebut sebagai sarana dakwah, tetapi lebih banyak digunakan sebagai ajang pertunjukan kemewahan dan kehidupan yang hedon bak selebritis barat, bersenang-senang berujung riya’ yang membuat orang lain jadi iri, dengki yang akhirnya karena ketidakmampuan ada yang bertindak melakukan kejahatan demi untuk hidup bergaya kaya dengan pakaian branded nan mewah.
Hiruk pikuk kemewahan dunia, yang disatu sisi manusia seakan kehilangan kendali namun disisi lain kita adalah manusia beragama yang ada kendalinya, dalam hal ini adalah ajaran agama Islam. Keadaan yang demikian bagi umat Islam sudahlah ada cara untuk mengendalikan hawa nafsu yaitu momentum ibadah Puasa Ramadhan.
Bulan Ramadhan yang sangat istimewa sesungguhnya menjadi waktu umat Islam untuk bermuhasabah diri, mengevaluasi sekaligus meningkatkan amal ibadah karena dibulan ini amal ibadah akan dibalas dengan ganjaran pahala yang luar biasa istimewa. Dalam perkara ini, penting kita merenungkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ummi Hani’ binti Abi Thalib dan dicatat Imam at-Thabrani dalam kitab Mu’jamus Shagir, juz 2, h. 16.
Hadis tersebut diterjemahkan sebagaimana berikut “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya umatku tidak akan terhina, selama mereka mendirikan bulan Ramadhan.’ Sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa bentuk kehinaan mereka dalam menyia-nyiakan bulan Ramadhan?’ Rasulullah menjawab, ‘Pelanggaran terhadap hal-hal yang haram pada bulan Ramadhan, seperti zina atau minum khamar. Allah dan para malaikat melaknatnya hingga tahun berikutnya. Jika ia meninggal sebelum bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak mempunyai kebaikan apa pun di sisi Allah yang bisa menyelamatkannya dari neraka. Oleh sebab itu, berhati-hatilah terhadap bulan Ramadhan, karena pahala kebaikan demikian juga ganjaran kejelekan akan dilipat gandakan”.
Intisari dari hadis sebagaimana di atas memberikan sebuah pemahaman bagi kita tentang betapa besarnya nilai ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Sekecil apa pun pahala yang dilakukan pada bulan tersebut menjadi luar biasa pahalanya ketika dibandingkan dengan bulan selain Ramadhan. Namun, pada bulan tersebut juga Allah lipatgandakan dosa dalam setiap perbuatan buruk. Sekecil apa pun kesalahan yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan tetap mengungguli bulan yang lain perihal dosanya.
Jika kita mampu memaksimalkan ibadah Puasa Ramadhan dengan memperbanyak salat tarawih, salat malam, tadarrus Al-Qur’an, dan mengaji untuk memperdalam ilmu agama. Disemai juga dengan perbuatan ibadah sosial seperti bersedekah, menyantuni anak yatim dan para dhuafa, bersilaturrahim kepada tetangga dan karib kerabat, serta menjaga hubungan sesama umat manusia dalam bingkai moderasi beragama.
InsyaAllah, jika kita bisa melaksanakan ibabah Puasa Ramadhan dengan baik, diisi dengan amal saleh, maka Puasa Ramadhan akan mampu mengguidance yaitu membimbing dan menuntun kita terkendali dari hidup yang hedonisme, untuk menjadi umat yang berkarakter mulia berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal, menjadi manusia yang berkualitas, yang akan selamat didunia dan selamat diakhirat kelak menuju taman surgawi dipenuhi para bidadari yang kenikmatannya abadi.
*) Penulis adalah D. Darmadi JA, Sekretaris MUI Kalbar.