Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Pemekaran Daerah: Solusi Pembangunan Atau Politik Kepentingan?

Laila Mauluda Tunnisa, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada.(Foto: Dok/Kabarbaru.co).

Editor:

Kabar Baru, Opini – Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mengungkapkan bahwa saat ini terdapat 341 usulan pemekaran daerah—enam di antaranya mengusulkan status daerah istimewa, dan lima lainnya mengincar status daerah otonomi khusus. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemekaran wilayah tetap menjadi isu yang mempunyai daya tarik tersendiri, terutama di tengah harapan akan pemerataan pembangunan dan peningkatan layanan publik. Secara normatif, pemekaran daerah dimaksudkan sebagai strategi desentralisasi untuk mengatasi kesenjangan antarwilayah. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa pemekaran adalah proses memisahkan satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah baru, dengan harapan pelayanan publik lebih dekat, pembangunan lebih merata, dan aspirasi lokal lebih terakomodasi. Tentunya logika ini terlihat rasional, terlebih di wilayah-wilayah yang luas, sulit dijangkau, dan memiliki keragaman kebutuhan. Namun, apakah dalam praktiknya pemekaran benar-benar menjadi solusi?

Antara Harapan dan Realita

Pada dasarnya, pemekaran dipandang sebagai jalan pintas untuk mengatasi ketimpangan antarwilayah yang telah lama menjadi persoalan struktural tanah air. Sejak era reformasi, Indonesia mengalami ledakan pemekaran daerah. Dari tahun 1999 hingga 2009 saja, terbentuk lebih dari 200 daerah otonom baru (DOB), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang mencerminkan tingginya antusiasme terhadap kebijakan ini. Dari sisi pembangunan, argumen utama yang diajukan oleh pendukung pemekaran adalah bahwa daerah yang terlalu luas dan penduduk yang terlalu banyak akan sulit dilayani secara merata oleh pemerintah. Pemekaran akan mendekatkan layanan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur, serta membuka lapangan kerja baru.

Jasa Pembuatan Buku

Namun, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2014–2024), arah dan efektivitas kebijakan pemekaran mulai dipertanyakan. Pemerintah pusat bahkan memberlakukan moratorium terhadap pemekaran wilayah karena banyak DOB yang dinilai gagal menunjukkan kinerja memadai. Berbagai evaluasi menunjukkan bahwa sebagian besar daerah hasil pemekaran masih bergantung secara ekstrem pada dana transfer dari pusat, belum mampu menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mencukupi, dan menghadapi kendala serius dalam pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Hal ini diperkuat oleh Anggota Komisi II DPR RI, Heri Gunawan, menekankan bahwa wacana pemekaran daerah tidak bisa hanya dilihat dari sisi geografis atau sumber daya manusia semata. Menurutnya, pemekaran wilayah harus melalui kajian komprehensif, terutama menyangkut potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang akan dimiliki oleh Daerah Otonom Baru (DOB).

“Alasan utama pemekaran sebuah daerah pastinya yang utama terkait permasalahan pemerataan, dan keadilan yang tidak merata. Bahkan tadi sempat disebutkan bahwa geografis yang luas, dan sumber daya manusia yang banyak, serta tidak efektifnya pelayanan pemerintah terhadap suatu masyarakat di daerah. Namun kita tidak bisa mengesampingkan adanya daerah pemekaran hasilnya belum sukses, belum bisa berkembang,” ujar Heri gunawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Dirjen OTDA (otonomi daerah) Kementerian Dalam Negeri di ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Ia mengungkapkan dari hasil evaluasi Kemendagri terdiri dari 70 persen DOB yang terbentuk selama kurun waktu tahun 1999- 2009 itu gagal mencapai tujuan pemekaran. Evaluasi Bappenas tahun 2007 juga menyatakan mayoritas DOB gagal. Tidak hanya itu, bahkan pemekaran juga terbukti menambah beban anggaran pemerintah pusat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total dana alokasi umum (DAU) transfer ke daerah yang awalnya Rp54,31 Triliun dari tahun 1999, sepuluh tahun berselang pasca terbentuknya 205 DOB melonjak tiga kali lipat, yaitu menjadi Rp167 triliun. dan kini mencapai Rp446 triliun pada tahun 2025.

Pemekaran dalam Cengkeraman Politik

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menyatakan, wacana pemekaran wilayah ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, selama ini, proses pengusulan pemekaran wilayah lebih kental dengan nuansa politik daripada pertimbangan teknokratis atau berdasarkan cara berpikir teknis dan kebutuhan masyarakat.

”Kalau dilihat dalam wacana pemekaran wilayah, selalu yang muncul di publik itu adalah meningkatkan kesejahteraan. Tetapi dari catatan kami, sering kali dalam proses pemekaran ini, nuansa politiknya lebih besar ketimbang nuansa teknokratis,” kata Herman saat dihubungi di Jakarta, Jumat (25/4/2025).

Kepentingan politik ini, lanjut Herman, bisa dilihat dari peluang posisi jabatan yang hadir dalam pemekaran wilayah. Oleh karena itu, persyaratan terkait administrasi dan kewilayahan bisa diatur sedemikian rupa sehingga pemekaran bisa berjalan mulus.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pemekaran kerap kali tidak dilandasi oleh kebutuhan riil masyarakat, seperti akses pelayanan publik atau ketimpangan pembangunan. Sebaliknya, pemekaran sering dijadikan alat transaksi politik, baik untuk kepentingan elektoral, penguasaan sumber daya, maupun penciptaan kekuasaan baru oleh elit lokal. orientasinya untuk mengejar keuntungan politik dan ekonomi. Keuntungan politik dengan menguasai pemerintahan dan keuntungan ekonomi dengan menguasai proyek-proyek pembangunan di daerah.

Menata ulang Paradigma Pemekaran

Dari fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah merupakan kebijakan yang kompleks dan multidimensional. Ia bisa menjadi solusi pembangunan jika didasarkan pada kebutuhan objektif, kajian mendalam, dan kemampuan daerah untuk mandiri secara fiskal. Namun jika didorong oleh ambisi elite, justru berpotensi menjadi jebakan baru yang membebani negara dan menelantarkan rakyat Pemerintah pusat perlu lebih selektif dalam menyetujui pemekaran dengan memperkuat mekanisme evaluasi berbasis data, bukan hanya lobi politik. Selain itu, transparansi dan partisipasi publik dalam proses pengajuan pemekaran harus ditingkatkan. Perlu juga dibentuk sistem insentif dan disinsentif untuk mendorong kemandirian daerah hasil pemekaran agar tidak selamanya bergantung pada dana pusat.

Peran Kritis Masyarakat

Sebagai pemilik kedaulatan, rakyat harus lebih kritis dalam menanggapi isu pemekaran. Jangan sampai euforia pembentukan daerah baru hanya menghasilkan simbol tanpa substansi. Masyarakat harus menuntut akuntabilitas dari para pengusung pemekaran agar tidak berhenti pada janji, tapi benar-benar membawa manfaat.

Pemekaran daerah, sejatinya, adalah kebijakan strategis yang dapat mendorong pemerataan pembangunan dan memperkuat demokrasi lokal. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini kerap diselewengkan menjadi alat pemenuhan ambisi politik. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan kembali pemekaran dalam konteks pembangunan jangka panjang, bukan semata urusan jangka pendek atau kepentingan sesaat. Indonesia membutuhkan daerah otonom yang kuat secara fiskal, efisien secara administratif, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat — bukan sekadar peta baru dalam atlas politik nasional.

 

*) Penulis adalah Laila Mauluda Tunnisa, Mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store