Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

NU Sumenep, Asyik Seremoni atau Terjebak Elitisme Personal

Kantor PCNU Sumenep (Dok. Ist).

Editor:

Kabar Baru, Opini – Di Sumenep, kita tidak bisa menutup mata bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi dengan pengikut paling banyak, baik di tingkat warga maupun di kalangan pesantren.

Tidak hanya itu, banyak kader NU juga masuk dalam lingkaran pemerintahan, baik sebagai birokrat maupun politisi.

Modal sosial ini sesungguhnya bisa menjadi daya dorong besar untuk membangun tatanan sosial masyarakat yang lebih adil, beradab, dan menyejahterakan.

Namun, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. NU Sumenep sering kali lebih tampak sibuk dalam berbagai acara seremonial yang gemerlap, tetapi miskin arah strategis.

Kegiatan-kegiatan itu kadang hanya berhenti pada tepuk tangan, doa bersama, atau foto bersama, tanpa terhubung dengan program nyata yang menyentuh problem sosial warga.

Di sisi lain, para tokoh NU Sumenep masih terjebak dalam pola elitisme personal. Mereka berjalan dengan agenda masing-masing, lebih menonjolkan reputasi individu dibanding mengedepankan kepentingan kolektif-kolegial. Akibatnya, konsolidasi kelembagaan di tubuh NU menjadi rapuh.

Kader-kader NU yang berhasil menempati posisi strategis di pemerintahan pun sering kehilangan ikatan dengan NU sebagai jam’iyah.

Jasa Penerbitan Buku

Mereka lebih sibuk mengelola kekuasaan secara pribadi atau partai, bukan sebagai representasi nilai-nilai perjuangan NU.

Padahal, kehadiran kader NU di ruang-ruang pengambilan keputusan publik semestinya menjadi kanal untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil, petani, nelayan, dan kaum mustadh’afin.

Persoalan lain yang tak kalah serius adalah cara komunikasi pengurus NU dengan kader NU di pemerintahan atau politisi.

Alih-alih dirangkul, mereka sering diposisikan sebagai “musuh” hanya karena dianggap tidak membela kepentingan warga.

Padahal, seharusnya pengurus NU mengajak mereka duduk bersama, berdiskusi, lalu membangun kesepakatan tentang kondisi masyarakat, arah politik, dan dinamika pemerintahan.

Dari sana bisa dirumuskan strategi bersama dan pembagian peran yang jelas: pengurus menjaga marwah organisasi, politisi memperjuangkan kebijakan, birokrat mengawal implementasi, sementara kader NU di sektor lain bergerak di bidang sosial, ekonomi, maupun kebudayaan.

NU Sumenep juga menghadapi persoalan ketidakmandirian organisasi. Banyak aktivitas masih bergantung pada dukungan eksternal atau momentum politik sesaat.

Kemandirian ekonomi, yang seharusnya menjadi pondasi gerakan, belum menjadi prioritas nyata. Tanpa kemandirian, NU akan selalu rawan ditarik ke dalam orbit kepentingan pihak lain.

Jalan Keluar: Dari Kritik Menuju Gerakan

Agar NU Sumenep tidak terjebak dalam rutinitas seremonial, ada beberapa langkah yang bisa dijadikan agenda transformasi:

1. Membangun Konsolidasi Kolektif dengan Komunikasi Sehat. NU Sumenep perlu menghidupkan tradisi musyawarah kolektif yang sungguh-sungguh.

Tokoh pesantren, pengurus, kader politisi, dan birokrat harus dikumpulkan dalam satu barisan gerakan. Mereka tidak boleh diposisikan sebagai lawan, melainkan sebagai mitra strategis untuk memperjuangkan agenda rakyat.

2. Membentuk Forum Konsultatif NU–Kader Pemerintahan. NU Sumenep bisa membuat wadah khusus yang mempertemukan pengurus, politisi, dan birokrat dari kalangan NU.

Forum ini menjadi ruang untuk menyamakan visi, menegosiasikan kepentingan, dan memastikan kader NU tidak tercerabut dari akar jam’iyah-nya.

3. Menguatkan Kemandirian Ekonomi Organisasi. NU Sumenep harus mulai membangun unit-unit usaha kolektif—koperasi pesantren, usaha produktif warga, atau ekonomi kreatif berbasis lokal.

Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak agar NU bisa berdiri tegak tanpa bergantung pada sponsor politik.

4. Menggeser Fokus dari Seremonial ke Program Sosial. Acara seremonial sebaiknya dijadikan pintu masuk untuk program nyata.

Misalnya, haul kiai besar disambungkan dengan gerakan literasi pesantren, peringatan hari besar Islam dirangkaikan dengan advokasi petani yang lahannya terancam alih fungsi, atau penguatan nelayan yang menghadapi mahalnya harga solar.

Dengan begitu, energi warga NU tidak habis di panggung, tapi menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat.

Penutup: Panggilan Zaman

Kritik ini bukan dimaksudkan untuk melemahkan NU, justru sebaliknya: ini panggilan agar NU Sumenep bangkit dari tidur panjangnya.

Modal sosial yang luar biasa besar itu hanya akan menjadi angka statistik jika tidak dikonsolidasikan dalam kerja praksis.

Sumenep membutuhkan NU yang tidak hanya sibuk dengan tenda dan panggung, tetapi NU yang menyatu dengan denyut sawah, laut, dan pasar.

NU yang mendengar keluhan nelayan tentang harga solar, yang berdiri bersama petani yang terancam kehilangan sawahnya, yang membela buruh migran ketika menghadapi diskriminasi.

NU Sumenep hanya akan bermakna jika keberadaannya menghadirkan keadilan bagi rakyatnya.

Itulah amanat sejarah yang diwariskan para muassis, dan itulah tantangan besar yang tidak bisa lagi ditunda.

*Penulis adalah Ahbab Syarkoni, pemerhati NU garis bawah

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store