Dilema Pertambangan Timah Bangka Belitung: Antara Kebutuhan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Editor: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Opini – Pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung telah menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga, namun dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas ini semakin mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan.
Meskipun kegiatan pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah, kerusakan ekosistem yang terjadi akibat penambangan ilegal dan tidak terkelola dengan baik dapat menimbulkan masalah jangka panjang yang lebih besar bagi masyarakat itu sendiri.Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup kuat untuk melindungi lingkungan hidup, terutama melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) juga mengatur tentang kewajiban melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebelum memulai kegiatan pertambangan.
Namun, meskipun terdapat regulasi ini, praktik penambangan ilegal masih marak terjadi di Bangka Belitung. Banyak penambang yang tidak mematuhi ketentuan hukum dan melakukan aktivitas penambangan tanpa izin. Hal ini tidak hanya melanggar hukum tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk pencemaran air dan penghancuran habitat.
Kegiatan pertambangan timah yang tidak terkelola dengan baik telah menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Pencemaran air akibat limbah tambang sering kali mengganggu kualitas air sungai dan laut, yang merupakan sumber kehidupan bagi nelayan lokal. Menurut penelitian, sekitar 55% sungai di wilayah tersebut tercemar akibat aktivitas penambangan yang tidak terkontrol1. Kerusakan ekosistem laut juga berdampak pada hasil tangkapan ikan, yang merupakan mata pencaharian utama bagi banyak keluarga di daerah tersebut. Selain itu, hilangnya hutan akibat pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan mengakibatkan berkurangnya biodiversitas dan meningkatnya risiko bencana alam seperti longsor dan banjir.
Penebangan hutan secara sembarangan juga mengganggu siklus hidrologi dan meningkatkan emisi karbon, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Di Bangka Belitung, terdapat konflik kepentingan antara penambang timah dan nelayan. Sementara penambang mencari rezeki dari kegiatan pertambangan, nelayan bergantung pada hasil tangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Aktivitas penambangan yang merusak lingkungan laut dapat mengurangi ketersediaan ikan, sehingga menimbulkan ketegangan antara kedua kelompok ini2. Untuk mengatasi konflik ini, diperlukan pendekatan yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas penambangan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut tidak merusak lingkungan perairan laut. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran harus dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan lingkungan. Salah satu tantangan utama dalam mengatasi masalah ini adalah rendahnya kesadaran hukum di kalangan masyarakat mengenai pentingnya perlindungan lingkungan. Banyak penambang tradisional masih melakukan praktik penambangan tanpa izin karena kurangnya pemahaman tentang dampak negatif dari kegiatan mereka terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat3.
Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi mengenai hukum lingkungan harus ditingkatkan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam melalui forum dialog antara nelayan dan penambang timah.
Dengan cara ini, kedua belah pihak dapat mendiskusikan masalah yang ada dan mencari solusi bersama untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Kegiatan pertambangan timah di Bangka Belitung menghadapi dilema antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan. Meskipun industri pertambangan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah, dampak negatif terhadap ekosistem tidak dapat diabaikan.
Oleh karena itu, penting untuk menerapkan prinsip pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dalam setiap aktivitas pertambangan. Pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menegakkan hukum dan memastikan bahwa semua kegiatan pertambangan dilakukan dengan mematuhi peraturan yang ada. Selain itu, peningkatan kesadaran hukum di kalangan masyarakat sangat penting untuk menciptakan budaya perlindungan lingkungan. Hanya dengan pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan kita dapat mencapai keseimbangan antara eksploitasi sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup di Kepulauan Bangka Belitung.
*) Penulis adalah Andryan, Universitas Bangka Belitung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co