Menuju Putusan Tentang Sistem Pemilu : MK Juga Harus Memperhatikan Aspirasi Masyarakat
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) tengah melakukan proses persidangan judicial review/uji materi tentang sistem pemilihan umum legislatif. Uji materi tersebut diajukan oleh 4 (empat) Pemohon yakni Demas Brian Wicaksono yang merupakan Kader PDI-Perjuangan Probolinggo, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Pada pokoknya pemohon meminta agar sistem pemilihan legislatif kembali digelar dengan menerapkan sistem proporsional tertutup (coblos partai) tidak lagi menggunakan sistem proposional terbuka (coblos caleg) yang nantinya anggota legislatif yang duduk dalam kursi dewan perwakilan rakyat akan ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.
Salah satu argumentasi yang disampaikan oleh para pemohon adalah sistem proporsional tertutup memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan partai politik. Partai politik memiliki kedaulatan menentukan kadernya duduk di lembaga perwakilan melalui serangkaian proses pendidikan dan rekrutmen politik yang dilakukan secara demokratis sebagai amanat UU Partai Politik. Sehingga ada jaminan calon yang dipilih partai politik memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat. Saat ini persidangan uji materi telah sampai pada tahap akhir dengan agenda terakhir menyerahkan kesimpulan dari para pihak kepada majelis hakim konstitusi. Setelah penyerahan kesimpulan, maka agenda sidang selanjutnya adalah putusan dari majelis hakim konstitusi.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Perdebatan mengenai sistem pemilihan umum secara proporsional terbuka atau secara proporsional tertutup bukan hanya berada dalam ruang sidang konstitusi, melainkan perdebatan juga sampai pada ruang – ruang publik. Baru – baru ini 8 Fraksi Partai Politik di DPR RI minus PDI Perjuangan telah menyatakan sikap untuk menolak sistem pemilihan umum secara proporsional tertutup. Sedangkan PDI Perjuangan mengambil sikap untuk menerima apapun putusan MK, namun dalam beberapa diskusi di media sikap PDI Perjuangan nampaknya lebih cenderung mendukung sistem proporsional tertutup, begitu pun dengan sikap dari Partai Bulan Bintang yang juga lebih mendukung sistem pemilihan umum secara proporsional tertutup.
Pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka sebagaimana yang selama 3 (tiga) kali pemilu ini telah berjalan memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Diantara kelebihanya adalah sistem proporsional terbuka lebih mendorong adanya partisipasi masyarakat yang lebih luas dikarenakan masyarakat bisa memilih secara langsung wakilnya yang akan duduk sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, dengan demikian anggota dewan yang terpilih benar – benar merupakan representasi perwakilan rakyat. Namun sistem proporsional terbuka juga tidak lepas dari adanya kekurangan, salah satunya adalah dengan adanya pertarungan antar caleg yang sangat terbuka, maka antar caleg bisa saling menciderai satu sama lain sekalipun caleg yang berada dalam partai politik yang sama. Melihat realitas pemilu di Indonesia masih sering diwarnai dengan adanya money politic, sehingga anggota dewan yang terpilih bisa juga karena faktor banyaknya uang bukan karena kapasitasnya sebagai seorang wakil rakyat.
Sementara, pemilihan umum legislatif dengan sistem proporsional tertutup pada dasarnya pernah dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955, 1999 dan 2004 dimana masyarakat hanya memilih logo partai dan yang menentukan anggota dewanya adalah kewenangan dari partai politik. Sistem proporsional tertutup pun tak lepas dari kelebihan dan kekurangan, diantara kelebihanya adalah sistem proporsional tertutup bisa memperkuat eksistensi partai politik, sehingga partai politik bisa lebih terorganisir secara institusional. Dalam hal ini, nantinya partai politik akan menentukan anggota dewan yang duduk diparlemen berdasarkan kapasitas dan kemampuanya dalam memperjuangkan ideologi partai. Kekurangan dari sistem proporsional tertutup pun juga tak lepas dari perhatian, salah satu kekuranganya adalah kurang adanya partisipati masyarakat yang lebih luas. Sistem ini cenderung mempertahankan partai politk yang sudah mapan dan membatasi peluang bagi partai kecil atau partai baru untuk mendapatkan perwakilan yang signifikan. Perdebatan antara sistem pemilu proporsional terbuka atau sistem pemilu proporsional tertutup telah terjadi dalam ruang sidang konstitusi dengan menghadirkan para pakar. Hingga pada akhirnya majelis hakim konstitusilah yang akan menentukan apakah pemilu akan dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka atau dengan sistem proporsional tertutup.
MK dalam Memutuskan juga Harus Memperhatikan Aspirasi Masyarakat
Mahkamah Konstitusi adalah satu – satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materi Undang – Undang terhadap Undang – Undang Dasar. Uji materi yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi dalam hal ini menilai apakah materi muatan yang ada dalam Undang – Undang bertentangan atau tidak dengan Undang – Undang Dasar, jika bertentangan, maka materi muatan yang diuji dalam Undang – Undang tersebut harus dinyatakan tidak berlaku atau inkonstitusional. Dalam konteks uji materi sistem pemilu ini yang dilakukan pengujian salah satunya adalah Pasal 168 ayat (2) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Pasal 22 E Undang – Undang Dasar 1945.
MK sebagai lembaga yang lahir dari sistem demokrasi, sudah seharusnya dalam memutuskan uji materi Undang – Undang juga harus mendengar aspirasi masyarakat. Karena materi muatan Undang – Undang yang nantinya akan diputus oleh MK adalah peraturan yang secara langsung akan berdampak pada masyarakat secara luas. Sejak awal dalam proses pembuatan Undang – Undang mewajibkan adanya keterlibatan masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik. Partisipati publik dalam perspektif yang lebih luas pada dasarnya bukan hanya berlaku untuk pembuat Undang – Undang saja, namun semestinya juga berlaku untuk Mahkamah Konstitusi, sehingga materi muatan Undang – Undang yang diputus oleh MK benar – benar mencerminkan kehendak masyarakat. Pastisipasi publik dalam putusan MK memiliki nilai penting untuk menjaga transparansi, akuntabilitas dan legitimasi dalam masyarakat. Dalam hal transparansi diharapkan putusan MK dapat dipahami secara lebih luas. Hal ini juga turut menjaga akuntabilitas dan memastikan bahwa putusan MK didasarkan pada hukum dan kepentingan masyarakat luas, bukan didasarkan atas kepentingan penguasa. Dengan mendengar aspirasi masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik, maka putusan MK memiliki legitimasi yang lebih kuat. Hal ini juga penting untuk dilakukan demi mempertahankan kepercayaan publik terhadap MK.
Sikap kenegarawanan hakim konstitusi sangat dibutuhkan untuk memutuskan suatu perkara. Hakim konstitusi dalam hal ini harus benar – benar bisa berfikir secara holistik baik dan buruknya untuk bangsa Indonesia. Jika putusan MK justru akan membuat kegaduhan dan kekacuan dalam masyarakat akibat tidak memperhatikan aspirasi masyarakat luas, maka sudah selayaknya sematan negarawan yang melekat pada hakim konstitusi untuk dicabut.
*) Penulis adalah Muhammad Hanif Mahsabihul Ardhi / Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.