Mengenal Gendola: Warisan Alam yang Terlupakan untuk Penderita Diabetes

Jurnalis: Bahiyyah Azzahra
Penulis: Muhammad Syahrus Sya’bani (12410021050115) Farmasi
Kabar Baru, Opini – Tanaman gendola (Basella alba) yang secara turun-temurun dimanfaatkan masyarakat sebagai sayur sekaligus tanaman herbal, kini mulai mendapat perhatian kembali karena potensi manfaatnya bagi penderita diabetes.
Lupa pada Warisan Alam di Tengah Kemajuan Medis Modern
Dalam hiruk-pikuk kemajuan pengobatan modern, masyarakat sering kali melupakan warisan alam yang sesungguhnya tumbuh dengan mudah dan melimpah di sekitar lingkungan kita. Obat-obatan kimia, terapi mutakhir, hingga suplemen mahal menjadi primadona dalam diskursus kesehatan saat ini. Namun, di tengah arus globalisasi yang menggiring masyarakat untuk mengadopsi pendekatan medis berbiaya tinggi, terdapat potensi besar yang belum tergarap secara optimal: tanaman lokal yang memiliki khasiat kesehatan, salah satunya adalah gendola (Basella alba). Tanaman ini bukan sekadar penghias pagar pekarangan atau sayuran pelengkap dalam masakan rumah, tetapi menyimpan kandungan bioaktif yang berpotensi besar dalam pengelolaan penyakit kronis seperti diabetes melitus (Kumar & Singh, 2019; Rahman et al., 2017; Sani et al., 2016).
Tergeser oleh Tren Impor dan Obat Kimia
Ironisnya, keberadaan gendola justru semakin tersisih oleh maraknya tren tanaman hias impor dan dominasi obat-obatan farmasi yang bersifat kuratif dan instan. Masyarakat, tanpa disadari, telah mengalami perubahan paradigma yang cenderung meninggalkan kearifan lokal dalam menjaga kesehatan. Gendola, yang dahulu dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan, kini tidak lagi dikenal luas, terutama oleh generasi muda di perkotaan. Situasi ini menjadi refleksi dari lemahnya upaya konservasi dan pemanfaatan kekayaan hayati lokal (Widodo & Astuti, 2016) yang dimiliki bangsa Indonesia.
Mudah Dibudidayakan dan Tahan Hama
Di banyak desa di Nusantara, gendola telah lama dikenal sebagai tanaman sayur yang mudah dibudidayakan. Ia tumbuh merambat dengan tenang di pagar bambu, tiang kayu, atau bahkan tembok pekarangan rumah. Tanaman ini memiliki ketahanan tinggi terhadap hama dan tidak memerlukan pupuk kimia untuk berkembang dengan subur. Dari sisi agronomi, gendola termasuk tanaman yang sangat adaptif dan efisien, cocok ditanam dalam konteks pertanian pekarangan atau urban farming (Suryani & Prasetyo, 2021). Namun yang tidak kalah penting adalah nilai manfaatnya dalam bidang kesehatan. Selain kaya akan vitamin A, C, dan zat besi, penelitian ilmiah juga menunjukkan bahwa gendola mengandung berbagai senyawa bioaktif seperti flavonoid, saponin, alkaloid, dan polifenol, yang memiliki aktivitas farmakologis termasuk sebagai antioksidan dan antidiabetik (Sani, Umar, & Muhammad, 2016, pp. 2-3).
Efek Antidiabetik pada Hewan Uji
Beberapa studi farmasi dan biomedis yang dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa ekstrak daun gendola mampu menurunkan kadar glukosa darah pada hewan uji yang diinduksi diabetes (Sari et al., 2022; Dewi & Sari, 2020; Afolabi et al., 2018, p. 3). Senyawa flavonoid berperan dalam memperbaiki fungsi insulin dan meningkatkan sensitivitas sel tubuh terhadap glukosa. Selain itu, senyawa saponin dan polifenol membantu menghambat kerja enzim yang mengubah karbohidrat menjadi gula sederhana (Rahman et al., 2017, p. 3), sehingga menekan lonjakan kadar gula darah setelah makan. Temuan ini tentu sangat relevan, mengingat saat ini Indonesia menghadapi lonjakan jumlah penderita diabetes mellitus (International Diabetes Federation, 2021) yang signifikan dari tahun ke tahun.
Lonjakan Penderita Diabetes di Indonesia
Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2021, Indonesia menempati posisi kelima dunia dengan penderita diabetes terbanyak, yakni lebih dari 19 juta jiwa. Angka tersebut diperkirakan terus meningkat mengingat gaya hidup masyarakat yang semakin tidak sehat, ditandai oleh konsumsi gula berlebih, aktivitas fisik yang minim, serta tingginya stres akibat tekanan sosial ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, sistem kesehatan nasional menghadapi tantangan besar, karena biaya pengobatan diabetes sangat tinggi, terutama pada tahap komplikasi seperti gagal ginjal, penyakit jantung, atau kebutaan. Oleh karena itu, penguatan pendekatan preventif dan promotif melalui sumber daya lokal seperti gendola menjadi sangat penting dan strategis.
Minimnya Perhatian untuk Gendola
Tanaman-tanaman herbal lokal seperti gendola, seharusnya mendapat tempat dalam kebijakan Tanaman Obat Keluarga (TOGA) yang sejak lama digaungkan pemerintah. Namun pada praktiknya, daftar tanaman yang dimasukkan ke dalam program TOGA sangat terbatas, dan lebih berfokus pada tanaman yang sudah populer seperti jahe, kunyit, temulawak, dan daun sirih. Gendola hampir tidak pernah disebut, padahal ia tumbuh lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan beberapa tanaman TOGA lainnya (Suryani & Prasetyo, 2021). Dengan memasukkan gendola ke dalam daftar resmi TOGA nasional, pemerintah bisa mendorong masyarakat untuk menanam dan memanfaatkannya sebagai bagian dari upaya promotif kesehatan.
Tantangan Edukasi dan Sosialisasi
Namun, pemanfaatan gendola tidak akan berhasil tanpa adanya perubahan paradigma dalam masyarakat itu sendiri. Selama ini, tanaman lokal sering dianggap sebagai “obat kampung” yang tidak ilmiah dan tidak modern (Kementerian Kesehatan RI, 2017, p. 7). Persepsi ini muncul karena kurangnya edukasi dan minimnya sosialisasi dari pihak otoritas kesehatan. Oleh karena itu, kampanye literasi kesehatan berbasis tanaman lokal harus diperkuat melalui berbagai media, baik digital maupun konvensional. Sekolah, pesantren, lembaga pendidikan tinggi, hingga puskesmas harus dilibatkan untuk menyebarluaskan informasi ilmiah tentang manfaat gendola dan tanaman herbal lain yang telah terbukti efektif.
Pelestarian dan Inovasi Produk
Selain itu, penting untuk mendorong keterlibatan generasi muda dalam pelestarian dan inovasi pemanfaatan tanaman lokal. Dunia pendidikan dapat mengintegrasikan materi tentang keanekaragaman hayati dan pengobatan tradisional ke dalam kurikulum (Widodo & Astuti, 2016, pp. 7-8), sehingga muncul kesadaran ekologis dan etnobotani sejak dini. Program Kampus Merdeka, misalnya, dapat diarahkan untuk mendukung kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat berbasis tanaman herhal seperti gendola. Di sisi lain, pengusaha muda dan pelaku UMKM dapat didorong untuk mengembangkan produk olahan berbasis gendola dengan nilai tambah seperti minuman kesehatan, makanan fungsional, atau kosmetik herbal (Kumar & Singh, 2019).
SDGs dan Pembangunan Berkelanjutan
Dalam konteks global, pengembangan potensi herbal lokal seperti gendola juga sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan ke-3 (kesehatan yang baik dan kesejahteraan), tujuan ke-12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), serta tujuan ke-15 (melindungi ekosistem darat). Dengan demikian, upaya ini tidak hanya bersifat lokal atau nasional, tetapi juga bagian dari konstribusi Indonesia dalam upaya pembangunan berkelanjutan di tingkat dunia.
Strategi Kolaboratif untuk Kesehatan Berkelanjutan
Dengan strategi yang terarah dan kolaboratif, gendola dapat menjadi simbol dari pendekatan kesehatan yang berbasis pada kekayaan alam dan kearifan lokal. Potensi tanaman ini tidak hanya terbatas pada manfaat farmakologisnya, tetapi juga mencerminkan pentingnya kedaulatan hayati dan keberlanjutan lingkungan. Gendola layak diangkat sebagai solusi sederhana dan ilmiah dalam sistem kesehatan nasional yang lebih adil dan berkelanjutan.