Dampak Gerakan Boikot Trans7, Isu Kelebihan Transfer Dana Reses DPR RI Tenggelam

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini – Dua isu besar yang muncul hampir bersamaan kembali mengguncang perhatian publik. Dugaan kelebihan transfer dana reses anggota DPR RI dan kontroversi tayangan program “Xpose” Trans7 yang dianggap melecehkan kiai serta santri.
Menariknya, setelah tayangan Trans7 itu menjadi perbincangan luas, sorotan terhadap dugaan penyimpangan dana reses DPR seolah meredup dari ruang publik. Banyak kalangan menilai, fenomena ini mencerminkan bagaimana media arus utama berpotensi mengalihkan fokus publik dari persoalan yang lebih substansial.
Isu Dana Reses: Uang Publik yang Dipertanyakan
Sebelum kontroversi Trans7 muncul, publik tengah memperdebatkan dugaan kelebihan transfer anggaran kepada anggota DPR RI. Berdasarkan laporan beberapa media, total dana reses DPR mencapai Rp 2,46 triliun per tahun, dengan jatah rata-rata Rp 2,5–4 miliar untuk setiap anggota dewan. Sekretariat Jenderal DPR mengakui adanya kelebihan transfer sekitar Rp54 juta per anggota dan menyebutnya sebagai “kesalahan administratif.”
Namun, pengakuan itu justru memicu gelombang kritik baru. Banyak pihak menyoroti dan mempertanyakan bagaimana pejabat pengelola keuangan negara yang bekerja dalam sistem terintegrasi dan diaudit berlapis bisa melakukan kesalahan dengan nilai sebesar itu.
Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Antikorupsi (LEKKA) menegaskan bahwa pemerintah harus membuka audit independen dan tidak boleh bersembunyi di balik alasan administratif. Lembaga tersebut juga menuntut pemerintah menerapkan transparansi penuh dalam pengelolaan keuangan negara, karena pejabat publik mengelola uang rakyat yang harus mereka pertanggungjawabkan secara terbuka.
Namun, publik tiba-tiba mengalihkan perhatian dari isu dana reses beberapa hari kemudian, setelah Trans7 menayangkan episode “Xpose” yang memicu gelombang protes besar dari kalangan pesantren.
Kontroversi Tayangan Trans7 dan Pergeseran Fokus Publik
Media di Persimpangan Etika dan Kepentingan
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang peran media dalam membentuk opini publik. Di satu sisi, media memiliki tanggung jawab untuk memberikan hiburan dan informasi. Namun di sisi lain, media juga memegang peran moral untuk tidak memanipulasi perhatian publik terhadap isu-isu penting.
Para analis menilai Trans7 gagal menjaga sensitivitas keagamaan dan secara tidak langsung mengalihkan perhatian publik dari isu akuntabilitas legislatif. Saat pemberitaan tentang penggunaan dana publik mulai ramai, media justru mendorong isu moral yang bersifat sensasional hingga mendominasi ruang diskusi digital. Akibatnya, publik lebih sering membicarakan persoalan etika dan simbol keagamaan daripada mengkritisi dugaan penyimpangan anggaran negara.
Pengamat komunikasi politik menegaskan bahwa strategi seperti ini bukan hal baru. Pihak tertentu sering menggunakan isu moral atau keagamaan sebagai “perisai sosial” untuk menutupi persoalan struktural yang lebih serius. Dalam ekosistem media yang mengejar rating dan klik. Redaksi media kerap memilih menonjolkan kontroversi karena lebih menarik perhatian dibanding mengupas laporan audit atau dugaan penyimpangan fiskal.
Publik Harus Kritis terhadap Pola Distraksi
Kondisi ini menunjukkan pentingnya literasi media di tengah masyarakat. Publik perlu bersikap lebih kritis dalam menanggapi arus informasi serta mengenali cara pihak tertentu menggiring isu sesuai kepentingannya.
Selain itu, masyarakat juga harus menaruh perhatian yang seimbang. Tidak hanya terhadap dugaan pelecehan santri yang merupakan isu serius, tetapi juga terhadap pengelolaan uang rakyat yang sama pentingnya.
DPR seharusnya menunjukkan transparansi keuangan, dan media seharusnya menjalankan tanggung jawabnya secara seimbang agar keduanya bisa saling menguatkan, bukan saling menutupi. Ketika media mengabaikan fokus pada isu publik, kebisingan akan menguasai ruang demokrasi dan menggantikan kebenaran yang seharusnya muncul.
Kritik terhadap Trans7 dan DPR sama-sama mencerminkan krisis kepercayaan publik. Di satu sisi, masyarakat menilai lembaga legislatif gagal menjaga transparansi dalam pengelolaan dana reses. Di sisi lain, media arus utama justru kehilangan integritas dengan menayangkan konten yang merusak nilai moral publik.
Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia berisiko kehilangan esensinya: keterbukaan, akuntabilitas, dan kejujuran. Publik berhak mendapatkan informasi yang utuh, bukan hiburan yang menutupi kebenaran. Dan ketika suara kritis berkurang, satu-satunya yang akan terus tumbuh adalah kebohongan yang tersusun rapi dalam layar kaca.