Bung Fafan dan Polemik Plagiasi Lagu Berbahasa Madura

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Pertama kali bertemu dengan Moh Iqbal Fathoni atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Fafan dalam sebuah kesempatan kebudayaan, ia langsung menampakkan kegelisahan tentang tradisi plagiasi para pembuat lagu di Madura, mereka menulis lirik kemudian mencuri lagu India, lagu Arab yang lalu diklaim sebagai ciptaannya.
Dalam konteks kebudayaan Madura yang demikian, memang rasanya menjijikkan, keadaan lebih buruk lagi karena seniman di Madura yang serius mencipta dan idealis malah tenggelam dan tidak dihargai. Kegelisahan Bung Fafan banyak kemiripan dengan kegelisahan kebudayaan yang dialami penulis.
Dalam kehidupan keagamaan misalnya, sering kali syair-syair tentang Nabi Muhammad Shallaallahu ‘Alaihi Wasallama dalam kesempatan-kesempatan upacara peringatan Maulid dibawakan dengan meminjam lagu-lagu India, lagu Arab yang sebenarnya lagu tentang kemasiatan dan kemungkaran.
Belakangan ini, Bung Fafan memberikan masukan kepada penyanyi dangdut nasional dari ujung timur pulau Madura atau Irwan Sumenep agar tidak membawakan lagu yang jelas-jelas plagiat.
Sebelumnya, Irwan membawakan lagu berbahasa Madura berjudul Kala Benyak yang dibuat Fariez Meonk dan merupakan lagu India berjudul Haare Haare.
Tidak lama setelah itu, muncul video dari Acong Latif yang dikatakan sebagai seorang pengacara, ia membuat kontra-narasi atas apa yang diinginkan Bung Fafan dan mengatakan; seharusnya Bung Fafan sebagai anggota DPRD Sampang merasa bangga, sebab anak-anak Madura mendengarkan lagu berbahasa Madura dan mengangkat kultur Madura, lantas ia menyebut Bung Fafan sedang melakukan pansos atau panjat sosial.
Tuduhan Acong Latif berlanjut dengan menganggap Bung Fafan sebagai orang yang tidak paham hukum. Ia lantas menegaskan status hukum lagu Kala Benyak yang tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa lagu tersebut hasil plagiasi. Ia meminta Bung Fafan meminta maaf kepada Irwan Sumenep, bukan Irwan Sumenep yang meminta maaf, juga, sebelum semuanya masuk ke ranah hukum karena menuduh orang lain plagiasi tanpa bukti.
Umar Fauzi Ballah seorang penyair dan pegiat literasi dan budaya di kota Sampang menyebut adanya video tanggapan atas apa yang disampaikan Bung Fafan sebagai tanda satu hal, yaitu adanya krisis literasi seni, bagaimana seni dipandang seolah-olah pokoknya kamu berkarya. Ngeri Jhon…Tutup Umar Fauzi Ballah di facebook pribadinya.
Dalam sebuah kesempatan bicara yang dilaksanakan oleh Freedom Institue beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada 24 Oktober tahun 2013 di Jakarta, Remy Sylado menyampaikan makalah berjudul: Satu Nusa Satu Bangsat Two Language$. Menurut Remy Sylado, dalam sejarah Indonesia, semangat menganti nama-nama asing (Inggris) telah dimulai sejak zaman Orde Lama, zaman Sukarno yang sangat anti Barat dengan menyebut Inggris dan Amerika sebagai imprealis-kolonialis.
Sukarno memang menginginkan para pemuda Indonesia untuk segera mengganyang kebudayaan barat dan menggali kebudayaannya sendiri.
Celaan Sukarno terhadap kebudayaan Barat terutama menyangkut music-musik dansa dari para penyanyi terkenal generasi awal rock and roll yang rata-rata dari Amerika, seperti Elvis Presley yang oleh Sukarno, musik dari mereka disebut ngak ngek ngok.
Sejarah itu yang kemudian menjadi latar lahirnya apa yang disebut dengan “lagu pop indonesia” yang ritme, melodi rima dan performanya sejatinya adalah musik pop amerika, yang membedakan kemudian hanya liriknya ditulis dengan bahasa Indonesia.
Pada generasi selanjutnya “timbangan kebudayaan nasional” istilah Remy Sylado, diwujudkan oleh para pelaku lagu pop Indonesia dengan me-pop-kan lagu rakyat dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Lilis Surjani yang me-pop-kan lagu berbahasa Sunda Cai Kopi yang banyak mendapatkan protes di tanah Sunda sebab dianggap menyolong melodi nyanyian pengajaran Islam dalam tradisi Priangan.
Lalu Kribiyantoro me-pop-kan lagu bahasa Jawa Dondong Opo Salak yang bar dan harmoninya punya lagu Paff The Magic Dragon, atau lagu tersebut merupakan hasil curian. Lebih lanjut dan jauh lagi, Remy Sylado menyinggung WR Supratman yang kita percaya sebagai komponis besar tapi hanya dua ciptaannya, dan dua-duanya merupakan plagiat, lagu Indonesia Raya plagiat dari lagu Pinda Pinda Lekka Lekka dan Ibu Kita Kartini dari Nene Kekek.
Lantas Remy Sylado menyebut, di zaman Sukarno usaha pembentukan kebudayaan nasional yang anti kebudayaan Barat hanya ada pada kulit dan bungkusnya saja tidak sampai pada rohanya, atau hanya sampai pada penggantian semua hal yang berbahasa Inggris, diganti menjadi bahasa Indonesia dan keadaan demikian berlanjut pada generasi selanjutnya.
Menurut Remy Sylado dan tambahnya, yang gila di Indonesia, beberapa orang disebut komposer padahal kalau di luar negeri, mereka hanya disebut sebagai songwriter. The Beatles yang luar biasa itu hanya disebut sebagai songwriter, sedangkan di Indonesia, Rinto Harahap yang tidak pernah menulis komposisi sudah disebut komposer.
Penulis merasa perlu menyampaikan hal tersebut karena rasanya kita sedang berada di tengah tradisi dan budaya buru-buru, atau sangat mudah menganggap orang lain telah menyipta, padahal belum.
Kembali kepada polemik lirik lagu berbahasa Madura yang menggunakan lagu India. Madura dan India memang memiliki kedekatan sejarah dan kebudayaan. Orang-orang Madura merupakan keturunan rombongan orang-orang India yang datang ke Madura pada milenium pertama, puluhan abad yang lalu.
Pengaruh bahasa Melayu terhadap bahasa Madura 40%, sedangkan pengaruh bahasa Jawa hanya 35% saja dari total 100% bahasa Madura. Seperti acan dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menyebut terasi, yang kalau dalam bahasa Melayu disebut dengan, balacan.
Ada sekitar 25% kata dalam bahasa Madura yang tidak jelas asalnya, penulis merasa bahwa semua itu berasal dari bahasa India yang autentik pengucapannya tapi banyak bergeser artinya. Seperti acha-cha dalam bahasa Madura yang artinya berbicara.
Bahasa Madura adalah bahasa dengan dominasi bunyi (e) yang sangat kuat dan kental sebagaimana bahasa India. Dalam bahasa India dijumpai teri meri, dalam bahasa Madura kemudian kita jumpai terro merre.
Banyaknya persamaan sejarah, bahasa dan kebudayaan antara India dan Madura tersebut tentu saja tidak lantas membolehkan kita sebagai orang Madura mencuri lagu India sesuka hati.
Sepertinya apa yang disampaikan Bung Fafan memang perlu dipikirkan dan dipertimbangkan, bagaimana kita harus benar-benar menyipta, bukan mencuri.
Penulis adalah: Hasani Utsman, Pemerhati tradisi dan budaya Madura.