Transformasi Paradigma Pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Kolom – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif pada tanggal 2 Januari 2026 mencerminkan pergeseran fundamental dalam orientasi sistem pemidanaan. Perubahan ini beranjak dari pola pikir lama yang berorientasi pada pembalasan (retribusi) menuju paradigma yang lebih menekankan pemulihan (restorasi) dan kemanfaatan sosial.
Transformasi ini tidak hanya bersifat redaksional dalam perumusan pasal, tetapi juga bersifat konseptual dan filosofis, mengubah secara mendalam perspektif sistem hukum pidana mengenai makna, tujuan, dan peran pemidanaan di tengah masyarakat.
I. Perubahan Filosofi: Dari Balasan ke Pemulihan
Dalam paradigma retributif yang pernah mendominasi KUHP yang di buat khusus oleh Belanda untuk masyarakat Indonesia dahulu yaitu (Wetboek van Strafrecht) pemidanaan dipandang sebagai alat untuk memberikan balasan atas kesalahan pelaku. Sanksi dijatuhkan sebagai konsekuensi logis dari tindakan yang salah. Dengan fokus utama pada peristiwa masa lalu yakni pada “perbuatan apa yang sudah dilakukan.” Pendekatan ini menempatkan pelaku sebagai objek yang harus menerima penderitaan setimpal dengan tingkat kesalahannya. Tujuannya adalah menegakkan keadilan formal dan menciptakan efek jera.
Sebaliknya, KUHP Nasional membangun fondasi filosofi yang lebih maju dan progresif. Pada Pasal 51 dengan tegas menyatakan bahwa pemidanaan bukan lagi semata-mata alat pembalasan. Melainkan instrumen yang memiliki banyak fungsi meliputi pencegahan kejahatan, rehabilitasi terpidana, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan sosial, dan penumbuhan penyesalan.
Hal ini membuat orientasi pemidanaan menjadi berwawasan ke depan (forward-looking) daripada sekadar berfokus pada kesalahan masa lalu (backward-looking). Pendekatan baru ini sangat selaras dengan teori Keadilan Restoratif seperti yang dikemukakan oleh Howard Zehr dan John Braithwaite, yang menegaskan bahwa tindak pidana merupakan pelanggaran terhadap relasi sosial dan keseimbangan moral masyarakat, bukan hanya pelanggaran terhadap hukum negara.
Oleh karena itu, tujuan utama sistem pidana bergeser bukan untuk memperberat penderitaan pelaku, melainkan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keadilan di sini dipahami sebagai pemulihan (reparation), bukan sekadar pembalasan (retribution). KUHP Nasional berupaya menyatukan tiga nilai utama moral (keadilan), sosial (kemanfaatan), dan legal (kepastian hukum) melalui konsep kebijakan pidana terpadu (integrated penal policy). Meskipun condong pada pendekatan restoratif, KUHP tidak meniadakan unsur pertanggungjawaban (accountability), pemidanaan tetap bertujuan menegakkan norma hukum, namun cara memahami pertanggungjawaban tersebut telah direformasi.
II. Diversifikasi Jenis Pidana dan Sanksi Alternatif
Reformasi ini juga tercermin dalam diversifikasi jenis pidana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yaitu:
1. Pidana penjara
2. Pidana tutupan
3. Pidana pengawasan
4. Pidana denda
5. Pidana kerja sosial
Penjelasan Pasal 65 ayat (1) menguraikan bahwa KUHP Nasional tidak lagi hanya berfokus pada pidana penjara dan denda. Adanya pidana alternatif seperti pidana tutupan, pengawasan, dan kerja sosial adalah hasil penerimaan suatu sistem hukum pidana yang mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara perbuatan dan kondisi pelaku kejahatan. Tujuan utamanya adalah mengembangkan opsi-opsi pemidanaan yang dapat menggantikan pidana penjara.
III. Penerapan Pidana Kerja Sosial sebagai Sanksi Pokok
Dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan upaya mengatasi overkapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), sanksi Pidana Kerja Sosial diterapkan sebagai Pidana Pokok terhadap Tindak Pidana Ringan.
Sanksi kerja sosial tidak lagi mengutamakan pemberian rasa nestapa, tetapi berfungsi sebagai upaya memperbaiki diri narapidana agar dapat diterima kembali di masyarakat. Dengan mengedepankan aspek rehabilitasi, sanksi ini dinilai menjadi mekanisme efektif untuk mengurangi kepadatan di Lapas sekaligus memfasilitasi reintegrasi sosial. Pengenaan sanksi kerja sosial diberikan dengan ketentuan khusus, yaitu: hanya untuk pidana ringan dan dapat diberikan sebagai upaya sanksi pengganti dari sanksi denda kategori I.
Selain itu, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia mengalami pergeseran paradigma, dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Walaupun jenis sanksinya sama, sistem pemasyarakatan mengedepankan pembinaan narapidana (lazim disebut resosialisasi dan/atau rehabilitasi), menjadikan peran aktif individu narapidana dan masyarakat sebagai dasar penting keberhasilan reintegrasi sosial dan pemulihan ketertiban.
*) Penulis adalah Fachrul Rozi Harfi, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







