Praktisi Hukum Kritik Sikap Wabup Sumenep Tolak Kebiri Oknum Kiai Cabul

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Sumenep — Penolakan Wakil Bupati (Wabup) Sumenep, KH Imam Hasyim, atas hukuman kebiri kimia oknum kiai cabul di Kangean mendapat sorotan serius.
Praktisi hukum, Diyaul Hakki menilai, sebagai pejabat eksekutif, Wabup tidak patut mengomentari substansi putusan pengadilan yang telah diputus majelis hakim.
“Sebagai pejabat pemerintah, Kyai Hasyim seharusnya tidak banyak memberikan statement terkait putusan hakim. Pertama, itu bukan domain beliau sebagai pejabat eksekutif. Kedua, dalam dunia hukum dikenal asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti putusan hakim harus dianggap benar kecuali dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih tinggi,” ujar Diyaul, Rabu (17/12).
Managing Director Lexora Law Chambers itu menambahkan, hukuman kebiri bukan keputusan tanpa dasar hukum, melainkan instrumen untuk menangani kejahatan seksual tertentu yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
“Saya memang belum membaca secara detail pertimbangan majelis hakim, tetapi dari petikan amar putusan terlihat adanya perbedaan dengan tuntutan jaksa, termasuk penerapan ultra petita. Namun dalam perkara pidana, hal itu tidak menjadi persoalan hukum,” jelasnya.
Diyaul menekankan, hukuman kebiri kimia dirancang untuk mencegah pelaku mengulangi tindak pidana setelah kembali ke masyarakat.
Karenanya, penolakan Wabup terkesan prematur, mengingat pelaksanaan hukuman kebiri baru dilakukan setelah pelaku dikurung selama 20 tahun.
“Selain itu, terdakwa masih memiliki hak menempuh upaya hukum banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali. Jadi terlalu dini jika Wakil Bupati langsung merespons dengan penolakan atas putusan pengadilan,” tutur pria asal Saobi Kangean.
Lebih lanjut, Diyaul menegaskan, hukuman berat tidak bertentangan dengan prinsip pertobatan.
“Justru dengan dijatuhkannya hukuman berat, jika memang terbukti bersalah, itu menjadi kesempatan bagi terdakwa untuk memperbaiki diri sebelum dikembalikan ke masyarakat. Negara harus menjamin bahwa ketika narapidana kembali, dia tidak lagi menjadi ancaman dan tidak mengulangi perbuatannya,” ujarnya.
Menurutnya, dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak, perlindungan korban dan pencegahan residivisme harus menjadi prioritas.
“Penjahat tetaplah penjahat. Negara harus bisa menjamin saat narapidana dikembalikan ke masyarakat dia sudah dalam keadaan tobat dan tidak akan melakukan pengulangan tindak pidana (resividis). Kebiri kimia adalah salah satu cara negara untuk menjamin bahwa narapidana kekerasan seksual sudah bisa diintegrasikan kembali ke masyarakat,,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wabup Sumenep KH Imam Hasyim menyatakan keberatan terhadap hukuman kebiri kimia bagi pelaku.
“Sebaiknya tidak dilaksanakan hukuman kebiri. Beri kesempatan untuk bertobat dengan hukuman yang berat, seperti divonis sekian tahun penjara,” ujar Imam Hasyim, melansir laman bangsapedia.
Ketua PKB Sumenep itu beralasan, hukuman kebiri dapat memutus kemungkinan pelaku memiliki keturunan, serta menekankan aspek pertobatan dan kemanusiaan.
“Kalau sampai dikebiri, berarti memutus mata rantai untuk memiliki keturunan. Siapa tahu dia bertobat, karena kita tidak tahu isi hati seseorang. Allah Maha Penyayang,” katanya.
Sebagai informasi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sumenep menjatuhkan vonis 20 tahun penjara kepada oknum pengasuh pesantren pelaku kekerasan seksual terhadap santriwatinya, Selasa (9/12).
PN Sumenep juga menjatuhkan pidana denda Rp5 miliar, kebiri kimia, pengumuman identitas terdakwa di media, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik selama dua tahun.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







