Reaktif Selalu, Preventif Belakangan: Ironi Bangsa yang Nyaman Hidup dalam Bencana

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini — Setiap kali bencana atau wabah datang, kita selalu tampak luar biasa sigap. Pemerintah menggelar konferensi pers yang megah, pejabat turun ke lokasi dengan rompi khusus yang mencolok, dan bantuan logistik mengalir deras dari banyak arah. Tetapi di balik kesigapan yang sering diagung-agungkan itu, ada ironi yang sulit kita bantah: sebenarnya, kita selalu terlambat. Kita baru berteriak bergerak ketika korban sudah berjatuhan, ketika rumah sudah hanyut rata dengan tanah, ketika penyakit sudah menyebar luas.
Sebagai seseorang yang belajar Kesehatan Masyarakat dan berada dalam lingkar aktivisme PMII, saya makin yakin bahwa bangsa ini sesungguhnya terlalu nyaman hidup dalam pola pikir reaktif-kuratif, baik dalam kesehatan maupun kebencanaan. Kita membanggakan kecepatan penanganan, tapi mengabaikan pencegahan yang seharusnya menjadi fondasi utama kita.
Kuratif Masih Jadi Primadona, Preventif Hanya Figuran
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebenarnya membuka peluang besar untuk menggeser orientasi kita. Undang-undang itu berbicara banyak tentang “paradigma sehat”, tentang bagaimana negara harus memprioritaskan promotif dan preventif. Namun ketika kita menengok praktik di lapangan, semangat perubahan itu belum betul-betul menggema.
Faktanya, berdasarkan laporan Kemenkes 2024, sungguh miris, hampir tiga perempat anggaran kesehatan nasional tepatnya 74% masih tersedot ke layanan kuratif. Program promotif dan preventif hanya menerima seperempatnya. Padahal kita tahu, determinan kesehatan justru banyak ditentukan oleh hal-hal yang ada di luar ruang pelayanan medis: lingkungan, perilaku, sanitasi, akses informasi. Dalam bahasa Kesehatan Masyarakat, hulu masalah kesehatan justru ada di luar, bukan di dalam rumah sakit.
Kita pun melihat beban penyakit yang terus berulang, seolah tak ada habisnya. WHO pada 2023 mencatat bahwa 70% kematian di Indonesia disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) yang sebagian besar sebetulnya dapat dicegah. Demam berdarah meningkat 16 persen dalam dua tahun, TBC tetap menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Semua ini menunjukkan bahwa kita selalu tiba terlambat, karena kita terlanjur sibuk mengobati daripada mencegah.
Cerita yang Sama dalam Kebencanaan: Kita Sibuk Menolong, tapi Jarang Mencegah
Paradigma reaktif ini juga terlihat nyata pada kebencanaan. Indonesia rata-rata menghadapi lebih dari 3.000 bencana setiap tahun, seperti dilaporkan BNPB. Banjir, longsor, dan angin kencang mendominasi. Kerugian ekonominya mencapai Rp 22 triliun per tahun! Namun yang lebih ironis lagi, alokasi anggaran untuk mitigasi hanya 8 – 12%. Sisanya habis untuk penanganan darurat dan rehabilitasi.
Pertanyaannya sederhana, dan ini yang selalu mengganjal: Mengapa kita mau menghabiskan uang yang jauh lebih besar untuk memperbaiki kerusakan, tetapi begitu pelit mengeluarkan sebagian kecil untuk mencegah kerusakan itu terjadi sejak awal?
Sebagai kader PMII, saya sering merenung: apakah kita ini bangsa yang gemar melakukan aksi heroik yang besar, tapi malas melakukan hal-hal kecil yang sebetulnya justru menyelamatkan nyawa?
Bencana di Sumatera: Bukti Terbaru Bahwa Pencegahan Belum Jadi Prioritas
Bencana yang terjadi di Pulau Sumatera beberapa hari terakhir benar-benar membuka mata kita semua. Ratusan rumah rusak, puluhan desa terisolasi, dan lebih dari 2.000 warga terpaksa mengungsi. Curah hujan ekstrem mencapai 150–200 mm per hari, angka yang secara meteorologis tergolong sangat tinggi. Tetapi curah hujan saja jelas tidak cukup untuk membuat bencana sebesar itu. Ada faktor lain yang sengaja atau tidak sengaja memperburuk keadaan.
Data KLHK menunjukkan bahwa beberapa kabupaten di Sumatera mengalami peningkatan deforestasi hingga 23% dalam lima tahun terakhir. Drainase di banyak daerah tidak memadai. Bahkan sekitar 47% permukiman berada di zona rawan. Bencana, dalam konteks ini, bukan sekadar “musibah alam yang takdir”, tetapi akumulasi dari pilihan-pilihan pembangunan yang secara sadar mengabaikan risiko.
Ketika banjir datang, kita semua sibuk mengevakuasi warga, mengirim logistik, membuka dapur umum. Tapi celakanya, tak banyak yang mau menyinggung persoalan hulu: tata ruang yang lemah, pengawasan lingkungan yang setengah hati dan mudah disuap, dan prioritas pembangunan yang lebih sering mengikuti “selera proyek” daripada keselamatan warga.
Mengapa Kita Harus Beralih ke Paradigma Preventif?
Berbagai studi sebenarnya sudah bicara terang-terangan. Bappenas menyebut bahwa setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam mitigasi dapat menghemat empat hingga tujuh rupiah biaya pemulihan. WHO menegaskan bahwa bila Indonesia benar-benar memperkuat promotif dan preventif, beban biaya kesehatan nasional bisa turun 30–40%. Puskesmas dan posyandu yang kuat dapat menurunkan angka kesakitan hingga separuhnya dalam jangka panjang.
Angka-angka ini sebenarnya cukup untuk membuat kita merasa malu karena selama ini lebih memilih jalan yang jauh lebih mahal, lambat, dan penuh penderitaan.
Apa yang Perlu Kita Lakukan?
Kalau kita ingin benar-benar menjalankan amanat UU Kesehatan No 17 Tahun 2023 dan menata ulang sistem kebencanaan, maka beberapa hal tidak bisa ditawar lagi. Anggaran kesehatan harus diarahkan secara serius ke program promotif dan preventif, minimal 40–50%. Pemerintah harus berani menegakkan tata ruang yang ada, bukan hanya menggunakannya sebagai dokumen administratif yang mandul. Sistem peringatan dini harus dibangun sampai ke tingkat dusun, bukan berhenti di portal resmi pemerintah. Dan yang terpenting, pendidikan tentang kesehatan dan kebencanaan harus menjadi bagian dari budaya kolektif, bukan sekadar proyek tahunan.
Dengan kata lain, kita harus berhenti memandang pencegahan sebagai “kegiatan kecil yang tidak tampak hasilnya”. Pencegahan adalah investasi jangka panjang yang mutlak menyelamatkan hidup manusia.
Duka untuk Sumatera dan Ajakan untuk Mengubah Pola Pikir
Bencana di Sumatera hari ini menyisakan duka mendalam. Kepada keluarga yang kehilangan anggota keluarga, kepada warga yang rumahnya hanyut, dan kepada para pengungsi yang terpaksa meninggalkan segala yang mereka miliki, saya menyampaikan belasungkawa yang tulus. Semoga Allah SWT memberikan ketabahan dan perlindungan kepada mereka.
Tragedi ini seharusnya tidak hanya membuat kita bersimpati, tetapi juga segera bercermin. Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa hanya bergerak ketika bencana sudah datang. Ini saatnya kita mengubah pola pikir! Ini saatnya mengutamakan pencegahan. Dan tentu saja, ini saatnya kita bergandengan tangan membantu saudara-saudara kita di Sumatera yang sedang menghadapi masa sulit.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang paling cepat mengevakuasi warganya, tetapi bangsa yang mampu memastikan warganya tidak menjadi korban sejak awal.
Penulis adalah Muhammad Anwarul ‘Izzat, Wasekjend PB PMII Bidang Kaderisasi Nasional
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







