Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Di Balik Bencana Sumatera: Siapa yang Bertanggung Jawab?

Penulis adalah Ayu Kusumasari, S.M., ME, Aktivis Sosial
Penulis adalah Ayu Kusumasari, S.M., ME, Aktivis Sosial.

Jurnalis:

Kabar Baru, Opini – Kabar bencana banjir bandang kini datang lagi di arah barat Indonesia, dari pulau Sumatera. Bencana itu melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dengan puluhan kabupaten di dalamnya.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Terdapat 631 korban meninggal dan 472 orang lainnya masih dinyatakan hilang berdasarkan catatan per tanggal 2 Desember.

Jasa Penerbitan Buku

Selain korban meninggal dan hilang, masih banyak angka lain yang meremukkan hati. Ada rumah yang hancur, UMKM yang terhenti, pekerjaan yang lenyap, warga yang kelaparan, anak-anak yang kehilangan orang tua, pasangan yang terpisah oleh maut, hingga bayi yang membutuhkan perawatan. Namun semua itu bukan sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada duka, cita, dan nyawa yang ikut tersapu banjir bandang.

Tragedi itu, oleh para pewarta dan pejabat begitu serampangan menyebutnya fenomena “bencana alam”. Suatu kata yang menyesatkan dan perlu dicurigai. Sebab kata itu seakan menuduh alam bersalah dan seakan alam begitu jahat pada manusia.

Paul Rucoeur, setidaknya menekankan pada kita untuk perlu kurang percaya terhadap suatu teks, dalam hemeneutic of suspicionnya. Suatu konsep hermeneutika kecurigaan bahwa teks mesti dipandang perlu tinjau kritis. Dengan itu, kita mesti mencurigai apa yang disebut sebagai “bencana alam”. Apakah ia kata yang netral atau ada yang ingin dihilangkan dari akar bencana sesungguhnya.

Bencana Sumatera Karena Alam atau Ulah Kuasa Manusia?

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sumatera Utara, Jaka Kelana Damanik menyatakan bahwa penyebab banjir dan tanah longsor itu disebabkan oleh campur tangan manusia melalui keputusan politik dan pemerintah atau pengambil kebijakan berperan besar atas terjadinya bencana itu.

Pernyataan itu menjadi bahan kontemplasi, sebab deforestasi di pulau Sumatera akibat penggundulan hutan secara masif terus berlanjut karena pemberian izin konsensi pertambangan dan perkebunan kepala Sawit oleh pemerintah.

Di tahun 2024, Laporan kementerian kehutanan menyatakan luas deforestasi Sumatera seluas 78.030,6 hektare. Angka itu sebanyak 44,48 persen dari total deforestasi netto nasional yang sebesar 175.437,7 haktare.

Di tahun yang sama menurut catatan Rizkina Aulia pada Desember 2024, terdapat 6 perkebunan sawit terluas di indonesia ada di Sumatera. Riau berada di posisi pertama dengan luas 3,49 juta hektare. Dan secara keseluruhan, Sumatera mempunyai total luas 10,165 juta hektar perkebunan kelapa sawit.

Sementara, sejak dulu UNESCO pernah mengakui hutan Sumatera sebagai Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS), sejak 2004. Namun di tahun 2011, UNESCO mencantumkan Hutan Sumatera dalam bahaya karena perambahan lahan perkebunan dan lainnya.

Dengan penjelasan tersebut, sudah benar untuk curiga pada kata “bencana alam”, sebab di balik kejadian alam itu, ada hutan yang kian menyempit, pertambangan makin melebar, perkebunan skala besar yang meluas, dan pembalakan yang tak wajar atasnama ekonomi pembangunan yang tidak ekologis.

Adakah Motif Kuasa di Balik Kata “Bencana Alam”?

Akibat dari kata bencana alam yang di sematkan, wacana publik justru ramai dengan narasi bencana di Sumatera perlu di tetapkan sebagai Bencana Nasional karena daya rusaknya begitu luas. Di tempat lain lembaga-lembaga negara, pejabat publik dan para dermawan kini ramai memberikan bantuan sosial pada yang terdampak. Tentu hal itu tak salah, karena warga yang jadi korban butuh perhatian serius sejak dini.

Namun kata “bencana alam”, di sisi lain justru menghilangkan diskursus akar masalah sesungguhnya, ialah pembangunan ekonomi yang salah kaprah karena hanya mengandalkan ekstrasi dan perkebunan skala besar tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan bahaya bencana ekologis.

Dari penyematan kata “bencana alam” atas tragedi itu, begitu jarang pembahasan tentang reorientasi pembangunan ekonomi ke pembukaan lapangan kerja hijau. Pemangku kebijakan kurang tersorot untuk harus mengubah arah dan orientasi pembangunannya.

Apakah kata “bencana alam” itu punya motif untuk menghilangkan jejak politik tangan kuasa di balik tragedi bencana, atau sekedar salah pilihan kata yang tak di sengaja dan karena sudah terlanjur populer? Entahlah

Tapi yang terpenting dari tragedi itu, pemegang kuasa harus berani mengambil keputusan bijak, bukan sekedar memikirkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional atau tidak, dan upaya-upaya pemulihan lain yang tidak menyentuh akar persoalan. Lebih dari itu, perlu mengubah secara radikal orientasi pembangunan ke yang lebih adil dan berkelanjutan.

Jika orientasi pembangunan tak berubah, bencana ekologis akan terus berulang, bahkan dengan skala yang lebih menghancurkan. Karena itu, yang di butuhkan bukan sekadar penetapan status bencana atau program pemulihan jangka pendek. Melainkan keberanian politik untuk menghentikan pola pembangunan yang merusak. Hanya dengan cara itu, kita bisa memastikan bahwa tragedi serupa tidak lagi di tutup-tutupi oleh istilah “bencana alam”. Tetapi di hadapi dari akarnya. Dari keputusan politik, dari manusia, bukan karena kesalahan alam.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store