Budidaya Rumput Laut Sumenep Rusak, Petani Menjerit

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabar Baru, Sumenep – Nasib petani rumput laut di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, semakin memprihatinkan.
Komoditas andalan warga pesisir yang selama puluhan tahun menjadi penopang ekonomi perlahan ditinggalkan akibat harga anjlok, bibit menurun, dan minimnya perhatian pemerintah.
Damawiyah (49), petani asal Dusun Korbi, Desa Pagar Batu, Kecamatan Saronggi, mengaku beberapa kali gagal panen meski telah mengeluarkan modal besar.
“Saya punya sepuluh keramba bambu rumput laut. Tapi kemarin malah merugi. Modal saya Rp10 juta boncos,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Kamis (18/9).
Dalam kondisi normal, setiap keramba bisa menghasilkan keuntungan Rp2,5 juta. Jika panen penuh, ia mampu meraup hingga Rp25 juta.
“Saya kayak orang stres gitu. Sepuluh kerama boncos semua. Paling cuma satu kwintal saja, dapatnya,” tambahnya dengan nada berat.
Kesulitan semakin berat akibat harga yang terus berfluktuasi. Saat ini, rumput laut basah hanya Rp2.500 per kilogram, semi kering Rp7.000, dan kering Rp10.000.
“Padahal dulu harga basah aja bisa Rp7.000–Rp8.000 dan keringnya bisa Rp20.000–Rp25.000 per kilogram. Sekali panen bisa dapat Rp17 juta lebih. Dulu petani rumput laut bisa kaya,” kenangnya.
Bahkan, pada Juni 2025 lalu, harga jual ke pengepul sempat anjlok hingga Rp7.000.
“Kondisi sekarang itu petani seakan-akan gak bisa dihalangi lagi untuk miskin,” keluhnya.
Akibatnya, ia kini hanya mengelola dua hingga tiga keramba untuk mengurangi risiko gagal panen.
“Karena khawatir busuk,” katanya.
Masalah serupa juga dialami Handoko (35), petani asal Desa Lombang, Pulau Giliraja, Kecamatan Giligenting.
Tahun ini ia tak sekali pun berhasil menanam dengan baik.
“Sekarang cuaca dan iklim laut kurang bersahabat, makanya hasilnya buruk,” ujarnya.
Kegagalan berulang membuatnya mulai kehilangan harapan.
“Bukan hanya saya, petani lain juga banyak yang menyerah. Tapi kami tetap memaksa diri, berharap suatu saat ada keberuntungan,” katanya.
Di desanya, rumput laut yang dulu jadi pekerjaan utama kini hanya usaha sampingan.
“Mau bagaimana lagi kalau kondisinya terus begini. Harus ada usaha lain untuk menafkahi keluarga,” imbuhnya.
Nasib berbeda dialami Ismail (63), petani asal Desa Lobuk, Kecamatan Bluto. Ia memilih berhenti sejak 2014 dan memilih menekuni pekerjaan lain.
“Saya berhenti bertani rumput laut karena kondisi iklim dan harga tidak mendukung,” ujarnya.
Pemerintah Akui Keterbatasan
Sementara itu, Kepala Bidang Perikanan Budidaya Dinas Perikanan Kabupaten Sumenep, Edie Ferrydianto, mengakui ekosistem rumput laut di ujung timur Madura menghadapi tantangan besar.
Menurutnya, kualitas bibit sudah menurun karena digunakan sejak awal sekitar 1980-an tanpa peremajaan.
“Kita butuh bibit baru yang lebih berkualitas. Yang dipakai petani sekarang sudah puluhan tahun,” katanya.
Edie menambahkan, minat generasi muda juga kian menurun.
“Anak-anak muda kurang tertarik, mereka lebih memilih merantau,” ujarnya.
Ia juga menyebut keterbatasan anggaran daerah menjadi kendala.
“Tahun ini dari kabupaten tidak ada. Tahun depan juga tidak ada karena anggarannya sudah diplot. Mungkin baru bisa diperjuangkan di perubahan anggaran 2026. Bagaimanapun, rumput laut ini bagian dari program ketahanan pangan,” terangnya.
Meski begitu, pihaknya akan berupaya terus memperjuangkan porsi anggaran yang memadai bagi petani.
“Harapannya petani bisa tumbuh dan berkembang, sehingga produksi tidak turun drastis,” pungkasnya.
DPRD Desak Pemerintah Turun Tangan
Anggota Komisi II DPRD Sumenep, H. Masdawi, mendesak pemerintah daerah melalui dinas terkait tidak abai terhadap nasib petani.
“Biarpun anggaran minim, paling tidak dinas turun langsung. Perhatikan mereka. Tunjukkan pemerintah peduli,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tanpa langkah konkret, banyak petani akan beralih profesi.
“Harus ada kebijakan yang jelas dan berkesinambungan. Kalau tidak, budidaya rumput laut bisa punah,” tegasnya.
Solusi Akademisi
Peneliti Universitas Bahaudin Mudhary (UNIBA) Madura, Dr. Achmad Zuhri, menilai anjloknya harga rumput laut bukan semata akibat tengkulak.
Menurutnya, rendahnya kualitas rumput laut dipengaruhi cuaca, gelombang laut, dan teknik budidaya yang kurang tepat.
“Kualitas rumput laut kita memang rendah. Misalnya, penyusunan tali terlalu rapat sehingga saat mendekati panen banyak yang patah karena sirkulasi terhambat,” ujarnya.
Untuk mengatasi persoalan itu, pihaknya merekomendasikan inovasi di tiga tahap penting.
Pertama, pada tahap produksi, keramba bambu diganti dengan model modern berbahan spons dan jaring.
“Dengan alat modern, produksi lebih aman, pertumbuhan lebih baik, dan hasil panen tidak mudah hilang dimakan ikan kecil,” jelasnya.
Kedua, pada tahap pascapanen, petani disarankan menggunakan pengering tenaga surya.
Metode ini lebih cepat, hanya 6–8 jam dan menjaga rumput laut tetap bersih karena prosesnya tertutup.
Ketiga, pada tahap hilirisasi, petani didorong mengolah rumput laut menjadi produk bernilai tambah, seperti permen, brownies, dan olahan lain.
“Semakin banyak produk turunan, harga jual otomatis naik karena permintaan lebih tinggi. Dari sini bisa lahir industri rumput laut,” katanya.
Ketua LPPM UNIBA Madura itu menegaskan, inovasi ini perlu didukung stakeholder melalui edukasi, pendampingan, dan fasilitasi bagi petani.
“Ini harus jadi pemicu agar petani sadar pentingnya alternatif budidaya dan pascapanen,” tandasnya.
Harapan Petani
Meski terpuruk, para petani masih menyimpan asa.
“Saya ingin harga naik lagi, biar tidak terus berutang saat gagal panen. Setiap kali menanam, saya harus menggadaikan emas ke BMT NU. Kalau gagal, gali lubang lagi. Mau beralih jadi petani jagung, harganya juga murah. Jadi tetap ke rumput laut. Saya berharap pemerintah benar-benar turun tangan,” kata Damawiyah.
Handoko pun berharap kondisi segera membaik.
“Saya ingin rumput laut kembali bagus, karena ini tumpuan banyak masyarakat. Semoga bisa seperti dulu,” ujarnya.
Sebagai catatan, data Dinas Perikanan mencatat produksi rumput laut Sumenep pada 2023 mencapai 716.478,32 ton dengan nilai produksi Rp3,58 triliun.
Pada 2024 naik menjadi 735.131,50 ton senilai Rp3,67 triliun, sementara hingga triwulan II 2025 produksi sudah 167.961,80 ton.
Jumlah pembudidaya mengalami penurunan tajam, dari 4.093 orang pada 2023 (data Dinas Perikanan Jawa Timur) menjadi hanya 640 orang tahun 2025 (data Dinas Perikanan Sumenep).
Adapun sentra utama tersebar di Kecamatan Sapeken, Saronggi, Bluto, Raas, dan Giligenting.
Sumenep sendiri memiliki potensi lahan rumput laut seluas 23.000 hektare, dengan potensi dikembangkan seluas 11.750 hektare. Namun baru sekitar 5.000 hektare yang dimanfaatkan.
					
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink



		
		
		
		
		
		
		
		
					
					
					
					
			
			
			
			
			



