May Day 2025: Arah Gerak PMII dan Advokasi Buruh

Jurnalis: Rifan Anshory
Kabarbaru, Opini – Historis lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tak bisa dipisah dari tanggung jawab teologis membela kaum terindas (mustad’afin).
Berpedoman pada Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, PMII memaknai Islam bukan sekadar keyakinan spiritual, namun sebagai instrumen pembebasan yang berlandaskan keadilan sosial (al-’adl) dan persaudaraan universal (ukhuwah basyariyah).
Di sisi lain, PMII juga menerjemahkan gagasan Tauhid Asghar Ali Engineer, sebagai penolakan terhadap segala bentuk penindasan, baik oleh rezim otoriter, korporasi global, maupun feodalisme struktural.
Terlebih, di era disrupsi dengan neolib, hak 67% buruh kontrak Indonesia terancam tanpa jaminan sosial (BPS, 2023), badai otomatisasi berpotensi hapus 2,3 juta lapangan kerja pada 2025.
Ditambah UU Omnibus Law, yang justru melemahkan posisi buruh, bahkan mengukuhkan ketimpangan sistemik. Terbaru, kasus viral di Surabaya, perusahaan UD Sentoso Seal menahan ijazah pekerja dengan meminta tebusan Rp2 juta.
PMII dengan Manhajul Harokah-nya, wajib menjadi agent organik yang mendobrak status quo melalui advokasi progresif. Islam sebagai alat pembebasan ala cendekiawan muslim perlu digencarkan, agar tidak kehilangan ruhnya, dan PMII tak hanya menjadi penonton di tengah derap ketidakadilan.
PMII dan Komitmen Teologis untuk Kaum Mustad’afin
Dalam tradisi Islam, konsep mustad’afin tidak sekadar merujuk pada kelompok lemah secara ekonomi, tetapi juga mereka yang terpinggirkan oleh struktur sosial-politik yang timpang.
Sebagai ormek yang berpedoman pada Manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, PMII memaknai mustad’afin sebagai subjek utama perjuangan. Asghar Ali Engineer dalam Islam and Liberation Theology (1990) menegaskan bahwa agama harus menjadi instrumen pembebasan yang mengutamakan social justice, universal brotherhood, dan equality.
Pelbagai nilai ini selaras dengan semangat profetik Rasulullah, yang tak sekedar membangun komunitas muslim homogen, tetapi memberantas diskriminasi dan kedzaliman.
PMII mengambil posisi tegas bahwa advokasi buruh bagian dari shaleh sosial. Buruh, sebagai mustad’afin modern, menghadapi penindasan sistemik di era disrupsi.
Posisi teologi tidak boleh statis, apalagi sampai menjadi alat legitimasi penguasa, melainkan harus dinamis, sebagaimana disampaikan Engineer, “iman harus dibuktikan dengan amal saleh”.
Ayat Al-Qur’an أَلَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ menunjukkan bahwa keimanan tanpa aksi nyata, hanya omong kosong. PMII memaknai tauhid tidak hanya sebagai keesaan Tuhan, tetapi juga kesatuan manusia (unity of mankind) yang menolak segala bentuk diskriminasi kelas, ras, bahkan agama.
Buruh Indonesia, Realitas dan Ancamannya
Kini, buruh Indonesia terjepit dalam dua paradoks: kemajuan teknologi yang menjanjikan efisiensi, sekaligus ancaman penggusuran oleh mesin dan kecerdasan buatan (AI).
Data International Labour Organization (ILO) menyebut, 23% pekerjaan manufaktur berisiko hilang akibat otomatisasi. Di Jawa Barat, robot telah menggantikan 40% tenaga manusia di sektor otomotif.
Buruh pun dipaksa tunduk pada sistem kerja kontrak tanpa jaminan kesehatan atau pensiun, adalah sebuah bentuk perbudakan modern.
Hak-hak buruh masih sering diabaikan. Di kawasan industri Batam, upah buruh migran hanya Rp2,5 juta per bulan, jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp3,8 juta. Sementara itu, 65% buruh perempuan di sektor garmen mengalami pelecehan verbal dan upah diskriminatif.
Ironisnya, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang seharusnya melindungi, justru kerap dimanipulasi perusahaan. Contohnya, pasal tentang outsourcing digunakan untuk melemahkan posisi tawar buruh melalui sistem kerja alih daya.
Reformasi 1998 memang membawa angin segar dengan ratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat. Namun, di lapangan, intimidasi terhadap aktivis buruh masih terjadi.
Di Tangerang, 3 pegiat serikat pekerja di-PHK sepihak setelah menuntut tunjangan hari raya (THR). Padahal, menurut UU No. 21 Tahun 2000, buruh berhak membentuk serikat tanpa intervensi. Sayangnya, banyak serikat buruh terjebak dalam politisasi elit dan kehilangan akar grassroots.
Strategi Advokasi PMII: Islam sebagai Gerakan Pembebasan
Ali Syariati, dalam Syahadat Pembebasannya mengajarkan bahwa syahadat bukan hanya sekedar diucapkan, tetapi aksi nyata melawan penindasan.
PMII memaknai syahadah sebagai gerakan intelektual-organik yang menggabungkan refleksi teologis dengan aksi kolektif.
Pertama, PMII menggunakan pendekatan intelektual organik untuk membangun kesadaran kritis buruh. Melalui berbagai pelatihan dan Pendidikan advokasi, kader PMII mengajarkan penyuluhan hukum, manajemen serikat, bahkan menejemen aksi.
Dalam konteks PMII Jatim, advokasi ini diupayakan melahirkan buruh yang mandiri dan kritis dalam memperjuangkan hak mereka.
Kedua, PMII memperkuat aliansi strategis dengan serikat buruh, NGO, dan akademisi. Misalnya, kolaborasi dengan berbagai elemen masyarakat dalam aksi #TolakOmnibusLaw di seluruh daerah se Indonesia pada 2020.
Ketiga, PMII mengadvokasi kebijakan progresif di Pemerintahan. Dalam momentum Hari Buruh dunia 2015, PMII mengeluarkan rilis terhadap pemerintah untuk merevisi UU 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri, UU dinilai lebih banyak mengatur teknis penempatan TKI dari pada perlindungan TKI.
Di tingkat lokal, PC PMII Jember terlibat aktif mengadvokasi kebijakan Raperda RTRW melalui berbagai aksi demonstrasi.
Keempat, PMII memanfaatkan teknologi sebagai alat perjuangan. PMII memanfaatkan platform media seperti Instagram, Tiktok, website dan sebagainya untuk menyebarluaskan aksi merka digelar di kabupaten kota.
Media sosial juga menjadi senjata untuk menyebarluaskan topik advokasi PMII agar pemerintah merespons tuntutan yang dilakukan PMII.
Pada peringatan May Day 2025 ini, PMII harus merefleksikan ulang syahadaht pembebasan Ali Syariati, “Barang siapa ingin menindas orang lain, berarti ia ingin menjadi tuhan, padahal tiada tuhan selain Allah.”
Di tengah gempuran neoliberalisme yang mengubah buruh menjadi sekadar angka statistik, PMII konsisten berdiri di garda depan advokasi mustad’afin. Keadilan sosial tidak akan terwujud selama buruh masih dirantai oleh sistem yang tidak manusiawi.
PMII percaya, dengan spirit Islam sebagai alat pembebasan dan gerakan kolektif, Indonesia mampu menjadi mercusuar pembebasan bagi kaum mustad’afin.
Selamat Hari Buruh, saatnya berdampak, bukan diam!
Denganmu PMII, Ilmu dan Bakti Kuberikan, Adil dan Makmur Kuperjuangkan!!!