Konser Yudisium UIBU dan Tradisi Kampus yang Norak

Jurnalis: Nur Haliza
Kabar Baru, Opini – Fenomena yudisium yang dirayakan dengan konser musik di beberapa kampus, termasuk Universitas Insan Budi Utomo Malang (UIBU), kerap menimbulkan pro dan kontra.
Di satu sisi, konser menjadi bentuk apresiasi atas perjuangan mahasiswa menempuh perjalanan panjang hingga resmi dinyatakan lulus. Suasana meriah menghadirkan euforia kolektif, menciptakan kenangan indah, dan memperkuat kebersamaan civitas akademika.
Namun, pertanyaan kritis perlu juga diajukan, apakah kampus dengan tradisi yudisium yang identik dengan konser tidak sedang menggeser jati dirinya menjadi sekadar ruang senang-senang? Apakah perguruan tinggi yang seharusnya menjadi center of excellence justru tergelincir menjadi panggung hiburan?
Jika merujuk pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, tujuan pendidikan tinggi adalah mengembangkan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Dari rumusan ini jelas bahwa universitas tidak hanya berhenti pada ritual seremonial dan hiburan. Pertama harus tetap pada pembentukan karakter, penguasaan ilmu, dan penciptaan karya nyata.
Sementara itu, Pasal 13 UU yang sama menegaskan kewajiban perguruan tinggi untuk menjaga kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Artinya, kegiatan-kegiatan di lingkungan universitas, termasuk yudisium, seharusnya diarahkan untuk memperkuat budaya akademik dan keilmuan.
Jika konser dijadikan wajah utama yudisium, risiko yang muncul adalah tereduksinya identitas perguruan tinggi. Seperti dikemukakan oleh Tilaar (2002), universitas sejatinya merupakan pusat penciptaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, bukan sekadar arena bermain dan bersenang-senang.
Perguruan tinggi yang terlalu larut dalam euforia hiburan berpotensi kehilangan otoritas moral dan intelektual di mata masyarakat.
Darmaningtyas pernah berkata bahwa yang menyebut pendidikan tinggi di Indonesia sering tergelincir menjadi pabrik ijazah, di mana orientasi akademik melemah dan digantikan seremonial semu.
Jika yudisium hanya diingat sebagai ajang pesta, maka peringatan tersebut semakin relevan.
maka dari itu merayakan pencapaian mahasiswa tentu tidak salah. Namun, kemeriahan harus disertai makna akademik yang kuat. Konser seharusnya dipadukan dengan agenda intelektual, misalnya:
1. Orasi ilmiah dari dosen maupun lulusan terbaik.
2. Pameran karya mahasiswa lintas disiplin.
3. Launching hasil penelitian atau inovasi teknologi.
4. Penghargaan terhadap mahasiswa berprestasi di bidang akademik maupun sosial.
Dengan cara ini, yudisium tidak sekadar pesta, tetapi juga etalase capaian keilmuan kampus.
Sejatinya, bukan konsernya yang salah, tetapi bagaimana kampus menempatkannya.
UIBU dan perguruan tinggi lainnya harus mampu menjaga marwah akademiknya. Jika tidak, masyarakat akan menilai bahwa kampus lebih sibuk merayakan pesta daripada melahirkan karya ilmiah yang bermanfaat.
Lebih jauh, tradisi konser yang berlebihan bisa mengaburkan visi perguruan tinggi sebagai pusat keilmuan. Buku Putih Pendidikan Tinggi Indonesia (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010) menegaskan bahwa misi utama perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Jika aspek hiburan lebih menonjol dibandingkan akademik, maka perguruan tinggi secara tidak langsung mengingkari mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Oleh karena itu, UIBU dan kampus manapun harus berani memilih jalan yang tepat. Konser boleh tetap ada, tetapi ditempatkan hanya sebagai pelengkap.
Yang lebih penting adalah memastikan yudisium menjadi momen yang menginspirasi, mengukuhkan identitas kampus sebagai ruang intelektual, dan membuktikan capaian nyata mahasiswa.
Jika tidak, kampus akan terjebak dalam citra semu—ramai di panggung hiburan, tetapi sepi di ruang akademik. Dan itu sama saja dengan mengkhianati amanat undang-undang serta mengabaikan tanggung jawab moral terhadap bangsa.
* Penulis adalah Amrozi, Pemimpin Redaksi Harian Cendekia.