Menuju Mahkamah Konstitusi yang Responsif dalam Menumbuhkan Budaya Sadar Berkonstitusi

Editor: Ahmad Arsyad
KABARBARU, OPINI– Mahkamah Konstitusi di Indonesia mendapatkan legalitasnya sejak diundangkannya Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pada 9 November 2001 dan saat itu Indonesia dicatat sebagai negara ke 78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24C, Mahkamah Konstitusi memiliki empat (4) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diantara kewenangan tersebut yaitu terdiri dari:
- Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
- Memberi putusan terhadap sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh negara;
- Memutus pembubaran partai politik;
- Memutus perselisihan tentang hasil pemilu serta;
satu kewajiban yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terkait usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Dalam tinjauan hukum tata negara, lembaga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan berfungsi sebagai lembaga penafsir konstitusi (the interpreter of constitution). Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar diharapkan menciptakan budaya sadar berkonstitusi ditengah masyarakat. Mahkamah Konstitusi hanya akan melakukan kewenangannya jika ada permohonan untuk pengujian tersebut.
Mekanisme pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah merupakan bagian dari implikasi hukum yang responsif. Menurut Jerome Frank, hukum responsif adalah aturan yang melihat pada konteks dan kebutuhan sosial dimasyarakat. Ada ketersinggungan antara integritas dan keterbukaan. Ciri khas hukum responsif adalah pencarian kebenaran dengan sistem due proses yaitu hukum yang fleksibel terhadap kebutuhan dan penyesuaian dalam kaitannya dengan penerimaan dimasyarakat.
Pentingnya pengujian undang-undang sebagai suatu sistem hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang dianggap bersifat supreme. Saat ini upaya pembangunan hukum masih banyak terkonsentrasi pada substansi hukum dan struktur hukum sehingga suatu permasalahan dianggap dapat diselesaikan apabila ada aturan atau dibentuk suatu lembaga baru padahal pada prinsipnya diperlukan peran aktif masyarakat demi tercapainya cita-cita hukum nasional.
Budaya sadar berkonstitusi berperan penting dalam menjamin hak-hak konstitusional masyarakat tetap terjaga sehingga masyarakat memahami norma-norma konstitusi serta menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada aspek yang lebih penting lagi budaya sadar berkonstitusi juga berperan menumbuhkan ketaatan dalam aturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu bukti minimnya kesadaran berkonstitusi adalah dengan menggunakan berbagai cara yang inkonstitusional saat pelaksanaan demokrasi atau pemilu demi mencapai tujuannya, bentuknya menggunakan politik uang, fitnah atau perbuatan-perbuatan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai konstitusi.
N.Y. Bull mengklasifikasi beberapa tingkatan kesadaran konstitusi warga negara di dalam berbangsa dan bernegara, yaitu:
- Kesadaran anomous adalah kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi negara yang tidak jelas terkait dasar dan alasannya atau orientasinya.
- Kesadaran heteronomous adalah kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi negara berlandaskan dasar atau orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti.
- Kesadaran sosionomous adalah kesadaran atau kepatuhan terhadap konstitusi negara berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai,
- Kesadaran autonomous adalah kesadaran atau kepatuhan ketentuan berkonstitusi negara yang didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga negara.
Budaya hukum masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang harus ditumbuhkan dalam masyarakat. Budaya sadar berkonstitusi adalah bentuk nyata bagaimana konstitusi dimaknai bahwa masyarakat memandang penting konstitusinya serta menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi dari dua aspek penting.
Pertama adalah kesadaran akan hak konstitusional warga negara sebagai pribadi atau kelompok bahwa hak konstitusionalnya telah dilanggar sedangkan yang kedua adalah menumbuhkan kesadaran untuk melakukan tindakan dalam hal ini permohonan pengujian konstitusi atas ketentuan undang-undang yang merugikan hak konstitusional tersebut.
Kesadaran berkonstitusi pada hakikatnya juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan pemahaman setiap warga negara akan isi konstitusi tersebut, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan atau pembudayaan berkonstitusi kepada setiap warga negara serta yang paling penting dan memegang peranan strategis untuk menyadarkan berkonstitusi yaitu instansi pendidikan.
Oleh karena perlunya permohonan dalam pengujian konstitusi maka peran masyarakat terhadap budaya sadar berkonstitusi sangat penting. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk menciptakan budaya sadar berkonstitusi adalah pemasyarakatan dan pendidikan hukum secara luas serta bagaimana mengelola informasi hukum secara lebih efektif. Proses pemahaman konstitusi bukan hanya sekedar memahami norma dasar dalam konstitusi.
Menumbuhkan budaya sadar berkonstitusi adalah proses yang panjang sepanjang kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Budaya sadar berkonstitusi haruslah digalakkan sejak dini utamanya terhadap pelajar. Kegiatan yang mungkin dapat digalakkan kepada pelajar yaitu dengan kegiatan intra dan ekstra sekolah. Kegiatan intra dapat berupa pelajaran formal disekolah sedangkan kegiatan ekstra seperti organisasi dapat menjadi sarana pembelajaran terhadap konstitusi.
*) Penulis adalah Rodes Ober Adi Guna Pardosi, mahasiswa Hukum Universitas Indonesia
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co