Koalisi Permanen dan Ancaman Pembekuan Demokrasi Elektoral Indonesia

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini – Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengenai wacana pengaturan koalisi permanen dalam Undang Undang Pemilu, yang dikaitkan dengan rencana kodifikasi Undang Undang Partai Politik, Pemilu, dan Pilkada, perlu ditanggapi secara kritis.
Isu ini menyentuh jantung demokrasi Indonesia, yaitu mekanisme kompetisi kekuasaan, kebebasan pilihan politik warga, dan peran partai sebagai alat representasi rakyat.
Koalisi dalam sistem demokrasi multipartai secara prinsip bersifat cair. Koalisi lahir dari proses negosiasi politik yang dipengaruhi hasil pemilu, konfigurasi kekuatan di parlemen, serta tuntutan pemilih.
Ketika negara mengatur koalisi sebagai sesuatu yang permanen melalui undang undang, negara tidak lagi bertindak sebagai wasit demokrasi, tetapi masuk terlalu jauh dalam menentukan peta kekuasaan. Situasi ini menggeser demokrasi dari sistem terbuka menjadi sistem yang dikendalikan oleh kesepakatan elite.
Koalisi permanen mengubah fungsi pemilu. Pemilu seharusnya menjadi arena di mana rakyat menentukan arah pemerintahan dan konfigurasi politik.
Jika koalisi sudah dikunci sebelum pemilu dan dilegalkan oleh undang undang, pilihan politik warga menyempit. Kita datang ke bilik suara tanpa benar benar memiliki alternatif kekuasaan. Pemilu tetap berlangsung, tetapi substansinya berkurang.
Koalisi permanen melemahkan oposisi. Demokrasi membutuhkan oposisi yang kuat agar kekuasaan tetap terkendali. Koalisi permanen mendorong semua partai besar masuk dalam satu lingkaran kekuasaan yang stabil.
Akibatnya, kritik politik berubah menjadi formalitas dan fungsi pengawasan parlemen menurun. Negara berisiko menjalankan pemerintahan tanpa kontrol yang efektif.
Pola ini juga berdampak langsung pada perilaku partai politik. Ketika partai merasa aman berada dalam koalisi jangka panjang, insentif untuk membangun ideologi, memperkuat kaderisasi, dan menawarkan program yang relevan menurun.
Partai lebih fokus menjaga posisi dalam koalisi daripada memperjuangkan aspirasi pemilih. Dalam jangka panjang, partai kehilangan fungsi edukasi politik dan berubah menjadi alat distribusi kekuasaan.
Indonesia, koalisi permanen juga bermasalah karena tidak lahir dari kebutuhan sosial yang mendesak. Indonesia bukan negara dengan konflik identitas ekstrem yang menuntut stabilitas melalui pakta elite.
Demokrasi Indonesia justru tumbuh dari kompetisi yang dinamis dan partisipasi luas masyarakat. Mengunci koalisi secara hukum berarti mematikan karakter dasar tersebut.
Bahaya paling serius dari koalisi permanen terletak pada normalisasi kartelisasi politik. Negara berpotensi dikuasai oleh segelintir partai yang saling melindungi melalui aturan hukum.
Akses partai baru, tokoh alternatif, dan gagasan segar menjadi semakin sempit. Demokrasi berubah menjadi prosedur administratif lima tahunan tanpa pertarungan gagasan yang nyata.
Kodifikasi Undang Undang Partai Politik, Pemilu, dan Pilkada seharusnya memperbaiki kualitas demokrasi, bukan menyederhanakan kekuasaan elite. Jika koalisi permanen dilegalkan, negara menghadapi risiko pembekuan demokrasi elektoral.
Pemilu tetap ada, tetapi daya korektif rakyat terhadap kekuasaan semakin lemah. Ini bukan sekadar persoalan teknis kepemiluan, tetapi persoalan arah demokrasi Indonesia ke depan.
*Penulis adalah Moh. Mahshun Al Fuadi, Founder Alajer Nusantara.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







