Go-Meaningful: Kunci Sukses Digitalisasi UMKM Kerajinan Berbasis Model ACSI

Editor: Bahiyyah Azzahra
Kabar Baru, Opini – Terjun ke dunia digital sering kali dianggap solusi pamungkas. Namun, benarkah gelombang digitalisasi telah menyelamatkan UMKM kerajinan, atau justru menjebaknya dalam “kehadiran semu”? Data Badan Pusat Statistik (2023) mengungkap, dari pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah menggunakan internet, hanya sekitar 29% yang benar-benar memanfaatkannya untuk berjualan. Angka ini menunjukkan bahwa sekadar “ada di internet” ternyata tidak otomatis mendongkrak omzet. Situasi ini menggambarkan keluhan umum: “Sudah membuat akun, sudah mengunggah produk, tapi kok sepi dan sulit berkembang?”
Masalahnya bukan pada kurangnya platform atau alat digital. Akar persoalannya terletak pada strategi yang masih dangkal dan terlalu teknis. Banyak UMKM kerajinan terjebak dalam “digitalisasi kosmetik”, hanya memindahkan katalog produk ke dunia maya tanpa membangun narasi dan nilai yang berbeda. Padahal, transformasi digital yang sesungguhnya adalah perubahan struktur dan proses untuk menciptakan nilai baru dengan teknologi, bukan hanya mengadopsi alat bantu (Vial, 2019). Tanpa strategi yang mendalam, kehadiran online hanyalah “etalase kosong” di tengah hiruk-pikuk pasar.
Kunci sukses sebenarnya terletak pada pendekatan yang lebih menyeluruh, yaitu dengan mengadopsi Model Adaptive Socio-Cultural Digital Innovation (ASCI). Model ini menawarkan kerangka strategis yang mengintegrasikan adaptasi sosial dan budaya ke dalam jantung inovasi digital, sebagai jawaban atas pendekatan digital yang selama ini dangkal.
Lebih dari sekadar teori, ASCI adalah sebuah panduan yang telah terbukti secara empiris. Penelitian Yulianto et al. (2025) dalam ‘Adaptive Socio-Cultural Digital Innovation: Transformasi Bisnis Digital Berbasis Lokalitas pada UMKM Kerajinan Tradisional di Makassar’ mengonfirmasi bahwa model ini mampu membedakan UMKM yang sekadar go-online dengan yang benar-benar berhasil mengubah nilai unik kerajinan tradisional menjadi keunggulan kompetitif di era digital. Singkatnya, ASCI menjawab “bagaimana” memanfaatkan teknologi untuk memperkuat jati diri, bukan sekadar “ikut arus”.
Digitalisasi yang Bermakna vs. “Digitalisasi Kosmetik”
Perbedaan mendasar terletak pada tujuan dan kedalaman integrasi. “Digitalisasi kosmetik” hanya bersifat administratif, seperti membuat akun media sosial dan mengunggah foto produk, tanpa mengubah model bisnis atau cara berinteraksi dengan pelanggan. Sebaliknya, digitalisasi yang bermakna menjadikan teknologi sebagai inti strategi untuk menciptakan, menyampaikan, dan menangkap nilai baru, sebagaimana dikemukakan Coreynen et al. (2017). Pendekatan ini bukan soal “ada di internet”, tetapi bagaimana teknologi memperkuat proposisi nilai utama bisnis hingga ke tingkat operasional dan pengalaman pelanggan.
Bagi UMKM kerajinan tradisional, nilai intinya justru bukan pada fisik barang, melainkan pada keunikan budaya, cerita di balik motif, dan kearifan lokal yang melekat. Data Badan Ekonomi Kreatif (2018) mencatat bahwa 73,1% konsumen lebih tertarik membeli produk kreatif jika memahami makna budaya dan proses pembuatannya. Digitalisasi yang bermakna harus berfungsi sebagai jembatan yang menghidupkan dan mengomunikasikan narasi-narasi tersebut, mengubah keunikan budaya dari sekadar latar belakang, menjadi daya tarik utama yang “dijual”.
Di sinilah Model ASCI hadir sebagai panduan sistematis untuk bertransformasi dari sekadar tampil menjadi bermakna. Model yang dikembangkan Yulianto et al. (2025) dirancang khusus untuk menjawab tantangan unik pelaku kreatif dengan menjadikan adaptasi sosial dan budaya sebagai motor inovasi digital. Dengan mengikuti kerangka ASCI, UMKM kerajinan memiliki roadmap yang jelas untuk mengintegrasikan nilai budaya dan interaksi sosial secara autentik ke dalam setiap aspek kehadiran digitalnya, sehingga teknologi benar-benar mempercepat keunikan mereka, bukan hanya mendokumentasikannya.
Lompatan Nilai: Dari Etalase Digital ke Ruang Interaksi Sosial
Komponen pertama Model ASCI adalah Social Adaptive Innovation, yang berfokus pada kemampuan bisnis untuk aktif merespons dan beradaptasi dengan dinamika ekosistem sosial para pemangku kepentingan melalui saluran digital. Pada konteks UMKM, konsep ini sejalan dengan teori Social Capital (Putnam, 1995) yang menekankan pentingnya jaringan, kepercayaan, dan norma bersama untuk menciptakan nilai. Inovasi ini menuntut pelaku usaha untuk tidak lagi melihat pelanggan hanya sebagai target transaksi, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang hidup dan terus berkembang. Proses adaptasi sosial ini menjadi fondasi bagi terciptanya kepercayaan dan keterikatan yang berkelanjutan.
Secara praktis, Social Adaptive Innovation berarti mengubah fungsi platform digital dari sekadar “etalase pasif” menjadi ruang sosial interaktif. Kemampuan ini tercermin ketika UMKM secara proaktif menggunakan media sosial atau aplikasi pesan untuk membangun dialog dua arah, merespons umpan balik dengan cepat, serta menciptakan ruang kolaborasi. Laporan We Are Social (2023) menunjukkan pengguna internet Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari 8 jam per hari di dunia maya, dengan media sosial menyerap lebih dari 3 jam di antaranya. Fakta ini membuka peluang besar bagi UMKM untuk bertemu dan terhubung dengan calon pelanggan di habitat digital mereka, membangun hubungan yang lebih personal dibandingkan sekadar hubungan jual-beli.
Implementasinya dapat beragam, seperti pengrajin tenun yang membangun grup loyal pelanggan di WhatsApp sebagai ruang eksklusif untuk akses koleksi baru dan diskusi kebutuhan spesifik. Keterlibatan audiens juga dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan fitur interaktif seperti polling di Instagram Stories, yang memungkinkan pengikut berpartisipasi langsung dalam proses kreatif, misalnya memilih warna atau motif untuk produk mendatang. Kolaborasi dengan influencer atau content creator yang peduli terhadap pelestarian budaya juga efektif untuk memperluas jangkauan cerita kerajinan. Praktik tersebut, sebagaimana diobservasi Yulianto et al. (2025), terbukti signifikan meningkatkan loyalitas pelanggan dan memperkuat posisi merek.
Kontekstualisasi Digital: Menjemput Nilai Budaya ke Platform Modern
Komponen kedua Model ASCI adalah Cultural Adaptive Innovation, yaitu kapasitas strategis bisnis yang mengintegrasikan, mengekspresikan, dan mengomunikasikan nilai-nilai kulturalnya ke dalam format dan strategi digital. Konsep ini berakar dari teori Cultural Heritage Entrepreneurship (Svensson et al., 2018) yang menekankan bahwa warisan budaya menjadi sumber inovasi dan diferensiasi vital bagi keunggulan kompetitif masa kini. Inovasi ini memungkinkan nilai simbolis, filosofi, dan kearifan lokal yang abstrak dikemas kembali menjadi proposisi nilai yang konkret dan relevan bagi pasar kontemporer.
Secara praktis, Cultural Adaptive Innovation adalah kemampuan “bercerita” secara visual dan verbal di ruang digital. Ini adalah proses mengubah kekayaan budaya (seperti filosofi motif batik atau sejarah suatu ukiran) menjadi rangkaian konten yang menarik, edukatif, dan emosional. Studi Napoli et al. (2014) menunjukkan bahwa konsumen mengalami peningkatan nilai persepsi terhadap suatu produk ketika mereka memahami narasi budaya di baliknya. Konten bukan lagi pelengkap, melainkan “jiwa” yang menghidupkan produk kerajinan di mata konsumen digital.
Implementasinya bisa berupa video pendek di TikTok atau Reels yang membedah proses pembuatan dengan narasi tentang makna simbolis setiap langkah. Pendekatan lain dengan menulis artikel blog yang mengangkat histori dan filosofi teknik kerajinan langka, atau menyertakan QR code pada kemasan yang mengantarkan pelanggan ke profil dan cerita autentik sang pengrajin. Pendekatan ini bergerak dari sekadar storytelling menuju storydoing (Fog et al., 2010), di mana merek memungkinkan konsumen mengalami dan berpartisipasi dalam narasi budaya. Dengan cara ini, produk kerajinan berubah dari benda mati menjadi perantara pengalaman budaya yang autentik dan bernilai tinggi.
Konvergensi Arus Disrupsi: ACSI sebagai Fondasi Keunggulan Kompetitif yang Manusiawi
Pada gelombang disrupsi digital yang serba cepat dan kompetitif, UMKM kerajinan tradisional menghadapi tantangan paradoks: di satu sisi terdorong mengadopsi platform digital, namun di sisi lain tekanan untuk mengejar algoritma yang justru berisiko mengaburkan identitas kultural mereka. Arus disrupsi ini, jika dihadapi dengan strategi yang hanya reaktif dan teknokratis, dapat menyamarkan keunikan mereka ke dalam samudera konten digital yang homogen.
Kekuatan hakiki model ASCI terletak pada konvergensi sinergis antara adaptasi sosial dan budaya di atas panggung teknologi. Teknologi digital hanyalah panggung yang tersedia untuk semua, sedangkan pertunjukan yang memukau (interaksi sosial yang hidup dan narasi budaya yang mendalam) adalah yang benar-benar menarik dan mempertahankan penonton. Sinergi ini sejalan dengan Resource Orchestration Theory (Sirmon et al., 2011) yang menyatakan bahwa keunggulan kompetitif lahir dari kemampuan mengombinasikan sumber daya secara harmonis untuk menciptakan nilai.
Penelitian empiris Yulianto et al. (2025) membuktikan bahwa hubungan integratif antara Social Adaptive Innovation dan Cultural Adaptive Innovation berpengaruh positif dan sangat signifikan terhadap kinerja digital serta keberlanjutan UMKM kerajinan. Temuan ini mengonfirmasi bahwa ASCI bukan hanya wacana, melainkan kerangka kerja teruji yang menawarkan peta jalan berbasis bukti ilmiah menuju digitalisasi yang berdampak nyata.
Konvergensi ini menghasilkan tiga keuntungan konkret: pertama, membangun loyalitas merek yang kuat, karena konsumen merasa menjadi bagian dari komunitas yang menghargai nilai budaya sama; kedua, menciptakan diferensiasi produk yang tidak tergantikan, sebuah tenun dengan cerita filosofi dan hubungan personal dengan pengrajinnya tidak bisa digantikan produk serupa di marketplace; dan ketiga, menjadi fondasi ketahanan bisnis, sebagaimana dilaporkan data BPS (2023) yang menunjukkan subsektor ekonomi kreatif berbasis budaya memiliki pertumbuhan konsisten dan ketahanan yang baik. Digitalisasi yang bermakna melalui ASCI, pada akhirnya bermuara pada keunggulan kompetitif berkelanjutan.
Dari Teori ke Aksi: Langkah Konkret Menerapkan ACSI
Kunci sukses digitalisasi UMKM kerajinan terangkum dalam dua kata: komunitas dan narasi. Model ASCI memberikan kerangka yang jelas bahwa membangun interaksi sosial erat dan menguatkan narasi budaya autentik melalui platform digital sebagai fondasi sudah terbukti signifikan. Intinya adalah transformasi dari paradigma jualan satu arah, dapat menciptakan pengalaman dan nilai bersama dengan pelanggan.
Dengan memahami kekuatan konvergensi sosial-budaya ini, langkah logis berikutnya melakukan refleksi kritis: Sudahkah strategi digital kita berhenti pada rutinitas posting dan menunggu pesanan, atau telah bergerak ke arah membangun komunitas interaktif serta menghidupkan cerita budaya di balik setiap produk? Seperti dikatakan perajin tenun sutra khas Makassar, “Kunci daya tarik kami ada di setiap percakapan. Ketika calon pembeli bertanya makna simbol pada motif, itu kesempatan kami berbagi cerita dan mengajak mereka menjadi bagian dari pelestarian warisan ini.”
Pergeseran paradigma juga diperlukan dalam program pendampingan. Data Bank Indonesia (2022) mengungkap bahwa 76% program pelatihan digital UMKM masih berfokus pada materi teknis seperti penggunaan marketplace dan pembuatan website, sedangkan pelatihan strategi (pemasaran digital, pengelolaan konten, dan community building) masih sangat
kurang. Oleh karena itu, lembaga pemerintah, inkubator, dan lembaga pemberi dana perlu beralih ke pendampingan strategis berbasis ASCI yang mengintegrasikan pelatihan teknis dengan penguatan narasi budaya dan manajemen komunitas digital untuk dampak berkelanjutan.
Dengan mengadopsi Model ASCI, UMKM kerajinan tradisional tidak hanya bertahan, tetapi berpotensi menjadi duta budaya digital Indonesia yang unggul, serta mampu bersaing dengan fondasi tidak ternilai dalam hal: keaslian narasi dan kekuatan komunitas. Pendekatan ini sejalan dengan visi pemerintah dalam upaya memajukan ekonomi kreatif
sebagai pilar nation branding, seperti tercermin dalam Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan. Digitalisasi yang menghidupkan “jiwa” budaya, seperti ditekankan ASCI, bukan hanya strategi bisnis, melainkan kontribusi nyata bagi penguatan identitas bangsa di pasar global untuk masa depan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan praktisi branding,
Hermawan Kartajaya, “Di era digital, authenticity is the new currency dan keunikan budaya adalah bentuk keaslian tertinggi yang membedakan sebuah merek.”
Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar.
Insight NTB
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
IDN Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







