FMN NTB: Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran Tunjukkan Wajah Fasis dan Tunduk pada Modal Asing

Jurnalis: Zulfikar Rasyid
Kabar Baru, Mataram — Satu tahun sejak dilantik, pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dinilai semakin menunjukkan wajah otoriter dan tunduk pada kepentingan modal asing. Penilaian itu disampaikan oleh Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram dalam refleksi politik bertajuk “Satu Tahun Kekuasaan Prabowo–Gibran: Fasisme dan Penindasan Rakyat.”
“Prabowo–Gibran bukan pemimpin rakyat, mereka hanyalah abdi setia imperialisme Amerika Serikat,” tegas Ahmad Badawi Alwi, Ketua FMN Cabang Mataram.
Menurut Ahmad Badawi, kebijakan luar negeri Indonesia semakin berpihak pada strategi geopolitik Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Ia menilai, latihan militer gabungan Super Garuda Shield menjadi simbol dari arah militer Indonesia yang kini melayani kepentingan keamanan Washington.
“AS tidak datang membawa perdamaian, tapi membawa militerisasi dan ekspansi pasar. Prabowo membuka pintu selebar-lebarnya untuk itu,” ujarnya tajam.
Kemudian, Ia juga menyoroti sikap diam pemerintah terhadap agresi Israel di Gaza.
“Ketika rakyat Palestina dibantai, pemerintah kita justru bungkam. Ini bukti bahwa politik luar negeri Indonesia tak lagi bebas aktif, tapi tunduk pada tekanan global,” sambungnya.
Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Mataram menilai kebijakan Prabowo–Gibran memperdalam ketimpangan sosial, memperluas militerisasi, dan menyerahkan kedaulatan ekonomi kepada kapital asing.
Pada sektor ekonomi, FMN menilai kebijakan pemerintah semakin menekan rakyat kecil. Kenaikan PPN menjadi 12%, pemangkasan anggaran publik sebesar Rp306 triliun dan pembentukan Danantara Indonesia disebut sebagai bentuk baru penyerahan kedaulatan ekonomi ke tangan modal besar.
“Pembangunan hari ini bukan untuk rakyat, tapi untuk pemodal. Semua dikemas dengan jargon efisiensi dan investasi, padahal yang tumbuh hanyalah penderitaan,” kata Ahmad Badawi.
Badawi juga mengkritik Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai gagal total.
“Program itu justru menyebabkan banyak kasus keracunan di berbagai daerah, termasuk 153 siswa di NTB. Ini bukan hanya salah urus, tapi juga bentuk pengabaian terhadap hak dasar rakyat,” ucapnya.
Ahmad Badawi menyebut NTB sebagai cermin nyata dampak kebijakan pemerintah yang pro-investor.
Di Kuta Mandalika, katanya, ratusan pedagang kecil dan warga kehilangan tanah karena proyek pariwisata.
“Pemerintah mengerahkan 700 aparat gabungan untuk menggusur rakyat. Mereka bilang demi pembangunan, tapi faktanya rakyat justru kehilangan ruang hidup,” katanya.
Kemudian, Ia juga menyinggung dampak pembangunan Bendungan Meninting yang membuat warga kehilangan sumber air dan lahan pertanian.
“Perempuan tani kini dipaksa jadi PMI karena tanahnya disita. Beginilah wajah pembangunan kapitalistik,” tambahnya.
FMN Mataram juga menyoroti meningkatnya penindasan terhadap gerakan rakyat.
“Lima kawan kami di NTB ditangkap tanpa alasan jelas. Secara nasional, hampir seribu orang dijadikan tersangka hanya karena menyuarakan kebenaran,” ungkap Ahmad Badawi.
Lebih lanjut, ia menilai pola represi ini merupakan tanda konsolidasi kekuasaan fasis.
“Rezim ini takut pada rakyat. Mereka gunakan UU TNI untuk memperluas kontrol militer terhadap sipil. Ini bukan keamanan, tapi pengendalian penuh,” tegasnya.
Sementara itu, dalam bidang pendidikan, FMN menilai kebijakan liberalisasi terus merugikan mahasiswa. Lebih lanjut, Badawi menyoroti bahwa Universitas Mataram dan UIN Mataram kini menyandang status PTN-BH, yang menurutnya justru membuka jalan menuju privatisasi kampus.
“Mahasiswa kehilangan suara. UKT naik, kampus berubah jadi korporasi. Pendidikan bukan lagi hak rakyat, tapi bisnis elit kampus dengan restu negara,” ujarnya.
Seruan Perlawanan Nasional
Di akhir wawancara, Ahmad Badawi menyerukan agar pemuda dan mahasiswa bersatu melawan kekuasaan yang menindas.
“Kita tidak butuh gerakan yang sekadar viral di medsos. Kita butuh gerakan terorganisir yang disiplin, cerdas, dan berani melawan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa FMN akan menggelar Pekan Perlawanan Nasional (Week of Resistance) pada 20–28 Oktober 2025 dengan lima tuntutan utama:
-
Tolak kedatangan Trump di KTT Asean
-
Hentikan Militerisasi Pimpinan Imperialisme As
-
Prabowo-Gibran harus bertanggung jawab atas seluruh pelanggaran HAM serta korban luka dan jiwa yang terjadi selama gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus!
-
Hentikan seluruh bentuk kekerasan, intimidasi, provokasi, dan pembungkaman oleh aparat terhadap rakyat yang memperjuangkan hak demokratisnya! Segera bebaskan seluruh massa aksi! Dan akhirnya, hentikan kriminalisasi rakyat yang memperjuangkan hak demokratisnya!
-
Copot Kapolri Listyo Sigit! Jalankan reformasi Polri!
-
Potong anggaran TNI, Polri, dan Kementrian Pertahanan! Alihkan anggaran tersebut kepada pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial!
-
Hentikan bisnis militer dan keterlibatan militer dalam ruang publik!
-
Libatkan mahasiswa, tenaga pendidikan, dan rakyat dalam penyusunan RUU Sisdiknas!
-
Hentikan dan evaluasi MBG! Kembalikan 255 milyar rupiah untuk anggaran pendidikan!
-
Jalankan kebijakan alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN yang substansial, merata, dan tidak diskriminatif!
-
Berikan upah layak bagi guru dan dosen serta jamin tunjangan profesi tenaga pendidikan!
-
Gratiskan pendidikan dasar dan menengah baik swasta maupun negeri!
-
Berikan akses pendidikan tinggi seluas-luasnya bagi anak buruh dan kaum tani!
-
Cabut UU Ciptaker!
-
Hentikan seluruh skema perampasan dan monopoli tanah yang merampas ruang hidup kaum tani, suku bangsa minoritas, dan kaum miskin perkotaan serta merusak lingkungan hidup!