Enam Pengecer Pupuk Subsidi di Rohul Dituntut hingga 10 Tahun Penjara

Jurnalis: Moh Nasir
Kabarbaru, Rokan Hulu — Enam terdakwa kasus dugaan korupsi penyaluran pupuk bersubsidi di Kecamatan Rambah Samo, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul), Provinsi Riau, dituntut hukuman berbeda oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kerugian negara akibat perkara ini mencapai Rp24,5 miliar.
Tuntutan dibacakan oleh JPU Galih Aziz pada persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pekanbaru, Senin (22/9/2025). Keenam terdakwa merupakan pemilik kios atau koperasi pengecer resmi pupuk bersubsidi di wilayah Rambah Samo.
Mereka adalah Sanggam Manurung (pemilik UD Sei Kuning Jaya), Fitria Ningsih (UD Anugerah Tani), April Srianto (UD Cindi), Abdul Halim (UD Jaya Satu), Yohanes Avila Warsi (Koperasi Tani Sri Rejeki), dan Syaiful (UD Bina Tani).
JPU menyatakan para terdakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Tuntutan terberat dijatuhkan kepada terdakwa Syaiful, yang dituntut 10 tahun penjara dan dijalani, serta denda sebesar Rp600 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp6.089.398.014.
Jika tidak membayar dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang.
“Jika tidak memiliki harta yang mencukupi, maka ia harus menjalani pidana penjara tambahan selama 5 tahun,” ujar JPU di hadapan majelis hakim yang diketuai Jonson Parancis.
Sanggam Manurung dituntut hukuman penjara selama 7 tahun 6 bulan dan denda Rp300 juta atau subsider 3 bulan kurungan. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp287.249.245, dengan ancaman tambahan 4 tahun penjara jika tidak membayar.
Abdul Halim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp400 juta atau 3 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp2.546.842.950. Jika tidak dibayar, akan diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun.
Terdakwa Yohanes Avila Warsi dituntut 9 tahun penjara dengan denda Rp500 juta atau subsider 5 bulan kurungan. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp5.046.492.924 atau menjalani pidana tambahan selama 5 tahun jika tidak dibayar.
April Srianto dituntut 8 tahun 6 bulan penjara, denda Rp450 juta atau 4 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp3.599.592.304. Jika tidak dibayar, ia akan dijatuhi pidana tambahan 5 tahun penjara.
Sementara itu, Fitria Ningsih dituntut hukuman paling ringan, yakni 5 tahun 6 bulan penjara, denda Rp250 juta atau subsider 3 bulan kurungan, dan uang pengganti sebesar Rp872.765.551. Jika tidak dibayar, ia harus menjalani tambahan hukuman 3 tahun penjara.
Atas tuntutan tersebut, para terdakwa melalui tim penasihat hukumnya menyatakan akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan. Sidang ditunda dan akan dilanjutkan pada Rabu (24/9/2025).
Dalam uraian dakwaan JPU, disebutkan bahwa tindak pidana korupsi ini terjadi pada rentang waktu tahun 2019 hingga 2022. Para terdakwa yang merupakan pengecer resmi pupuk subsidi ditunjuk untuk menyalurkan pupuk kepada petani yang terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) di Kecamatan Rambah Samo.
Pupuk yang disalurkan adalah jenis Urea dan Non-Urea yang diproduksi oleh PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Petrokimia Gresik, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013. Distribusinya dilakukan melalui PT Andalas Tuah Mandiri dan CV Berkah Makmur, lalu disalurkan oleh para terdakwa.
“Namun, dalam praktiknya, para terdakwa tidak menyalurkan pupuk sesuai mekanisme yang berlaku. Mereka justru menjual pupuk kepada pihak-pihak yang tidak terdaftar dalam RDKK,” jelas JPU.
Selain itu, mereka juga membuat laporan fiktif seolah-olah pupuk telah disalurkan sesuai ketentuan. Dalam laporan bulanan, mereka memalsukan tanda tangan petani penerima. Bahkan, ada petani yang hanya diminta menandatangani formulir penebusan dan kwitansi kosong, yang kemudian diisi sendiri oleh para terdakwa sesuai kebutuhan laporan administrasi.
Perbuatan tersebut menyebabkan kerugian negara yang bervariasi antara Rp3 hingga Rp6 miliar per terdakwa. Total kerugian negara berdasarkan audit Inspektorat Provinsi Riau mencapai Rp24.536.304.782,61 (Rahmad)