Dampak dan Situasi Politik-Pemerintahan Masa Kini Akibat Pecahnya Konflik Linguistik di Belgia

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Pada skala dunia internasional, banyak kemungkinan yang dapat terjadi pada suatu negara, baik konflik maupun kerjasama. Konflik ini terjadi di salah satu Kawasan di Uni Eropa tepatnya di negara federal yaitu Belgia. Konflik yang telah terjadi sejak berabad-abad lalu ini memicu krisis politik dibeberapa kesempatan bahkan berdampak pada pecahnya negara Belgia. Dalam artikel ini, penulis akan sedikit menguraikan adanya dampak yang sangat kompleks terhadap hingga situasi politik dan pemerintahan Belgia masa kini akibat pecahnya konflik linguistik yang terjadi.
Bahasa sendiri dapat dipahami sebagai suatu bentuk ideologi atau identitas bangsa dan digunakan sepanjang waktu sebagai cara dasar manusia untuk saling berkomunikasi. Tidak memungkiri di suatu negara terdapat berbagai penggunaan Bahasa, baik masyarakat tersebut menggunakan bahasa nasional maupun maupun bahasa internasional. Namun hal tersebut bisa saja memunculkan adanya toleransi atau bahkan konflik. Salah satunya perbedaan budaya dan bahasa komunitas linguistik Belgia justru menimbulkan ketegangan antar komunitas.
Sekilas Melalui Teori Frederich Ratzel
Pandangan Frederich Ratzel mengenai geopolitik sebagai ilmu politik, merupakan suatu struktur yang didasarkan pada landasan suprastruktur yang bertujuan untuk memperkuat kekuatan suatu negara untuk mengakomodasi pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut Frederich Ratzel, perkembangan suatu bangsa diibaratkan dengan kemajuan suatu organisme, yaitu perkembangan dan kemajuannya memerlukan suatu ruang yang mampu menampung kapasitasnya agar berkembang dengan baik hingga mencapai usia dewasa. Seperti halnya penguasaan penuh yang dimiliki suatu negara, negara tersebut harus mampu beradaptasi dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Agar mampu beradaptasi, dalam bernegara memang dipaksa untuk bisa menjaga negaranya. Namun jangan lupakan hukum rimba yang berlaku, dimana negara yang mempunyai nilai survive yang tinggi dan cukup beranian untuk hidup yang bisa mempertahankan eksistensinya lebih lama.
Dalam konflik bahasa di Belgia, menurut perspektif teoritis Frederich Ratzel, hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan politik yang pada gilirannya akan mempengaruhi perekonomian, politik, dan hubungan internasional negara tersebut. Melalui berbagai upaya untuk memperluas wilayahnya, dapat menimbulkan perpecahan wilayah dan pemerintah di Negara tersebut. Kondisi ini dijelaskan oleh fakta bahwa bahasa merupakan identitas dasar yang memungkinkan suatu negara beradaptasi dengan perkembangannya. Pecahnya konflik bahasa di Belgia memberikan ancaman yang signifikan terhadap negara dan penduduknya. Salah satu ancaman utamanya adalah perluasan wilayah berdasarkan proporsi penggunaan bahasa di kawasan tersebut. Bahasa menjadi faktor pembeda antara komunitas Flemish dan Walloon, sehingga memperkuat identitas mereka masing-masing.
Pemisahan tanpa kompensasi/fasilitas bagi kelompok minoritas bisa menjadi tahap terakhir sebelum negara Belgia terpecah dua. Maka dari itu, Ratzel menekankan bahwa dalam perjuangan mempertahankan kelangsungan hidup suatu bangsa, hukum alam pun tetap berlaku. Akan ada perdebatan, perebutan, dan perluasan wilayah pada setiap upaya sebagai bentuk pembuktiaan siapa yang lebih unggul diatas yang lain.
Sejarah dan Pecahnya Konflik Bahasa di Belgia
Konflik di Belgia terjadi antara komunitas Belgia yang berbahasa Belanda, yang biasa disebut Flemish, dengan komunitas Belgia yang berbahasa Prancis, yang dikenal sebagai Walloons. Konflik ini dimulai pada abad ke-18 dan mencapai puncaknya pada Perang Dunia ke-II. Selama ini, konflik tersebut menimbulkan perpecahan hingga pemisahan wilayah berdasarkan linguistik yaitu Belanda, Perancis, dan Jerman.
Sejak tahun 1840, sebagian masyarakat Flemish mengajukan tuntutan di beberapa bidang, yaitu politik, pendidikan, administrasi dan peradilan di Flanders. Alasannya, dikarenakan sastrawan kelas menengah ke bawah tidak diperbolehkan terjun ke dunia politik. Dalam sensus tahun 1848, masyarakat kelas bawah Flemish meminta penggunaan bahasa Belanda dalam urusan administratif. Gerakan Flemish semakin meyakini bahwa masyarakat Flemish harus sepenuhnya menggunakan Belanda di Belgia (asas teritorial). Sejak saat itu, patriotisme dan perlawanan terus-menerus dari kaum borjuis Walloons terhadap tuntutan Flemish semakin kuat.
Hingga abad ke-19, gerakan Flemish menjadi semakin radikal. Akhirnya, hukum bilingual pun ditetapkan di Belgia. Kemudian di tahun 1921, pemerintah Belgia memutuskan untuk membagi wilayah tersebut menjadi empat wilayah linguistik, yaitu: (1) Penduduk berbahasa Jerman (German speaking community) di sebelah timur, (2) enduduk berbahasa Perancis (Francophone community) di sebelah selatan, (3) Penduduk berbahasa Belanda (Dutch speaking community) di sebelah utara, dan (4) Ibukota Brussels dijadikan sebagai kawasan bilingual. Pemberlakuan Undang-Undang Kesetaraan Belanda-Prancis (1898) memberikan perlindungan formal terhadap perpecahan di Belgia.
Skeptisisme nasional mengenai bilingualisme masih signifikan. Setelah dekolonisasi Kongo di tahun 1960, hubungan antar blok administratif di Belgia terus memburuk. Pada tahun yang sama, Belgia mengeluarkan regulasi yang mengubah sistem kepartaian nasional sehingga partai regional akan melayani partai Flemish dan Walloons secara terpisah. Saat ini, hanya sistem dua partai di Brussel yang bisa tumpang tindih. Dengan demikian, perkembangan terakhir pada akhir tahun 2020 adalah Belgia merupakan negara monarki konstitusional, memiliki tiga bahasa dan komunitas resmi: berbahasa Flemish/Belanda (64%), Walloon/berbahasa Prancis (35%); Penutur bahasa Belgia Timur/Jerman (1%).
Dampak Pecahnya Konflik Bahasa di Belgia
Pecahnya konflik linguistik di Belgia telah berdampak signifikan pada negara dan masyarakatnya. Salah satu dampak utamanya adalah pemisahan dan polarisasi masyarakat. Bahasa telah menjadi faktor yang membedakan antara komunitas Flemish dan Walloon, yang pada gilirannya memperkuat identitas mereka masing-masing. Hal ini menyebabkan ketidakharmonisan dalam masyarakat Belgia dan memperburuk situasi politik. Secara politik, konflik ini telah menyebabkan ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, bahkan memicu krisis politik di beberapa kesempatan akibat ketidaksepakatan antara komunitas berbahasa Belanda dan berbahasa Perancis. Konflik ini juga mempengaruhi kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah, karena kebijakan publik harus mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan dari kedua komunitas berbahasa, sehingga seringkali memakan waktu dan sulit untuk mencapai kesepakatan.
Selain itu, konflik ini juga memicu pemisahan wilayah berdasarkan bahasa yang digunakan, dengan pembentukan tiga wilayah federal: Flanders region sebagai kawasan pemerintahan berbahasa Belanda, Walloonia region sebagai kawasan pemerintahan berbahasa Perancis, dan Brussels sebagai ibukota negara dengan mayoritas penduduknya berbahasa Perancis tetapi secara wilayah berada di kawasan Flanders. Dampak lainnya adalah terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi, terutama di kawasan Brussels yang merupakan wilayah bilingual dan mengalami kesenjangan ekonomi yang signifikan.
Selain dampak-dampak yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat salah satu dampak yang secara nyata dan signifikan juga yaitu terjadinya perpecahan di antara masyarakat Belgia, yang memicu gerakan separatis di beberapa wilayah. Gerakan separatis ini terutama terjadi di wilayah Flanders yang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka dari Belgia. Dengan demikian, konflik linguistik di Belgia memiliki dampak yang kompleks dan memerlukan upaya yang besar dari semua pihak untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua komunitas bahasa.
Pemerintahan dan Sistem Politik di Belgia Masa Kini
Konflik antar penggunaan bahasa di Belgia terus meningkat saat ini dan fokusnya tidak hanya pada isu-isu yang timbul dari ketidakadilan dalam konstitusi dan sistem pemerintahan tetapi juga berkaitan pada hak untuk penggunaan bahasa tersebut. Akibat konflik antara komunitas Walloon dan Flemish mempengaruhi situasi politik di Belgia. Pemerintah Belgia sendiri telah berupaya melakukan banyak perubahan konstitusi untuk meminimalisir konflik bahasa yang muncul. Secara umum pemerintahan Belgia merupakan pemerintahan federal yang menganut sistem bikameral atau dua kamar, yang terdiri atas Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Satu hal yang membedakan konstitusi Belgia dengan konstitusi negara lain adalah perbedaan penempatan antara anggota yang berbahasa Perancis dan anggota konstitusi yang berbahasa Belanda. Setiap anggota konstitusi mempunyai kedudukan tersendiri dalam pemerintahan. Dengan demikian, pemerintahan Belgia didirikan berdasarkan bahasa dan territorial. Kebudayaan dan bahasa merupakan landasan utama terbentuknya setiap kelompok kelas dan juga berperan dalam setiap proses pengambilan keputusan konstitusi. Perbedaan bahasa juga mempengaruhi proses pendokumentasian setiap penduduk, dimana setiap mereka melengkapi suatu dokumen, mereka menerima dokumen dalam dua bahasa yang harus mereka lengkapi, satu bahasa Belanda dan satu lagi sebuah dokumen dalam bahasa Perancis.
Untuk saat ini, partai-partai politik berbahasa Perancis menganggap perubahan ini sudah cukup, sementara beberapa partai politik berbahasa Belanda menginginkan lebih banyak reformasi konstitusi dan menuntut penghapusan fasilitas bahasa yang diberikan kepada kota-kota yang berbatasan dengan wilayah linguistik sebagai bagian dalam kerangka hukum bahasa. Sistem politik yang sebelumnya bersatu terbagi menjadi tiga segmen linguistik, di mana tidak ada persaingan pemilu maupun perebutan kekuasaan. Yang terjadi hanyalah adanya perebutan kekuasaan antara politisi yang mewakili komunitas berbahasa Belanda dan politisi yang mewakili komunitas berbahasa Perancis. Oleh karena itu, sistem politik tidak memiliki insentif untuk memenuhi tuntutan kedua komunitas lainnya.
*) Penulis adalah Naulah Mafazah, Mahasiswi Universitas Teknologi Yogyakarta.