Nasib Pedih Pemulung di Pancoran, Bertahan Hidup di Tengah Kerasnya Ibu Kota

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Jakarta – Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sejumlah pemulung di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, memilih bertahan hidup dari barang-barang bekas yang dikumpulkan setiap hari.
Dari pagi hingga sore, mereka mendorong gerobak, memungut botol dan kardus bekas demi menyambung hidup.
Arifin (69), seorang pria lanjut usia tanpa identitas KTP, kini tinggal sendirian di kontrakan sempit milik Ibu Ning, pengepul barang rongsokan di kawasan tersebut.
Sejak kehilangan istrinya pada 2020 akibat stroke, Arifin memilih tetap bertahan di Jakarta meski hidup dalam keterbatasan.
“Saya enggak mau pulang, Neng. Kalau pulang malah disuruh jagain cucu, dimarahin terus. Makan pun kadang enggak bisa karena dibentak-bentak sama menantu,” ujar Arifin, saat dijumpai di tempatnya, Senin (6/10) lalu.
Setiap hari, ia mendorong gerobak kecil untuk mencari barang bekas yang bisa dijual. Meski lututnya sering sakit karena usia, Arifin tetap berkeliling tanpa mengenal lelah.
Dari hasil memulung, ia hanya memperoleh Rp15 ribu hingga Rp100 ribu per hari.
“Yang penting bisa makan, enggak minta sama siapa-siapa,” katanya pelan.
Meski hidup pas-pasan, Arifin tetap menjunjung tinggi kejujuran. Ia percaya, rezeki yang halal akan membawa ketenangan.
“Kalau curang, enggak berkah. Saya udah tua, yang penting jujur. Tuhan pasti kasih jalan,” ucapnya tegas.
Kisah serupa juga dialami Hendrik (19), pemuda asal Tangerang yang kini menggantungkan hidup dari memulung.
Ia hanya lulusan sekolah dasar dan sempat menjalani hukuman penjara selama lima tahun karena kasus narkoba.
“Dulu saya ditangkap polisi gara-gara narkoba. Lima tahun di penjara. Setelah keluar, saya hidup di jalan beberapa bulan, baru ke sini,” tutur Hendrik saat ditemui di sela memilah botol plastik.
Setiap hari, Hendrik mulai beraktivitas sejak pukul enam pagi hingga pukul tiga sore.
Dengan tangan hitam dan pakaian berdebu, ia memunguti botol plastik dari tong-tong sampah di sekitar Pancoran.
“Yang penting bisa makan, bisa hidup. Kerja lain enggak ada,” katanya singkat.
Namun perjuangannya di jalanan tidak selalu mudah. Ia kerap menerima hinaan dari orang-orang yang memandang rendah pekerjaannya.
“Sering diejek, dibilang orang miskin, pemulung. Tapi saya diam aja. Yang penting saya enggak nyolong,” ujarnya tegas.
Reporter: Seven Prielis (Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, kini magang di kabarbaru.co)