Integritas Yusril Ihza Mahendra Diuji Dalam Menyikapi Dualisme PPP

Jurnalis: Hanum Aprilia
Kabar Baru, Jakarta – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Ancol menelurkan dualisme baru. Kubu Mardiono mengklaim didukung 30 DPW secara aklamasi, sementara kubu Agus Suparmanto memperoleh dukungan aklamasi pada pukul 01.00 dini hari.
Kedua kubu bergegas menyerahkan berkas kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, pada 29 September 2025 menegaskan pemerintah tak akan serta-merta mengesahkan kepengurusan baru PPP.
Ia meminta kedua belah pihak mencari kesepakatan internal lebih dulu. Menurut Yusril, pemerintah harus netral dan tidak intervensi, sebagaimana diatur Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Namun situasi berubah cepat. Kubu Mardiono menyerahkan berkas kepengurusan pada 30 September, sedangkan kubu Agus baru menyerahkan dokumen 1 Oktober.
Yusril berulangkali mengingatkan, pemerintah sebaiknya menunggu keputusan mahkamah partai atau putusan pengadilan agar demokrasi partai tidak dicampuri eksekutif.
Hanya dua hari berselang, pada 2 Oktober 2025, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menandatangani SK pengesahan kepengurusan Mardiono. Alasannya sederhana: Mardiono mendaftar lebih dulu, dan itu sesuai AD/ART Muktamar IX Makassar.
Supratman bahkan mengatakan belum mengetahui secara detail langkah kubu Agus.
Kontradiksi mencuat: karena Yusril menekankan prinsip netralitas, sementara Supratman langsung mengambil jalan prosedural namun tidak disertai pertimbangan yang matang sehingga kesan yang muncul ke publik memperuncing kisruh internal politik PPP
Ketua Umum Jaringan Santri Nusantara (JSN), Mochammad Thoha menilai langkah pemerintah memperuncing konflik.
“PPP adalah partai yang banyak berkontribusi terhadap umat Islam khususnya, tapi dualisme ini merusak citra dan marwah PPP sebagai partai Islam. Pemerintah seharusnya memfasilitasi musyawarah, bukan berpihak apalagi memilih kubu favorit,” kata Thoha.
Ia mendesak Kemenkumham membuka dokumen pendaftaran secara transparan.
“Jangan biarkan hukum jadi tameng kekuasaan,” ujarnya.
Konstelasi politik membuat isu ini makin sensitif. Pasalnya, Mardiono dikenal dekat dengan Presiden Prabowo, sementara Agus Suparmanto dianggap lebih dekat dengan lingkaran politik Jokowi. Dengan 58 kursi DPRD nasional, posisi PPP cukup strategis bagi peta koalisi pemerintahan baru.
Sementara Yusril, yang notabene punya pengalaman menjadi pengacara dalam kasus dualisme kepemimpinan di partai politik paham betul bahwa dalam kapasitasnya sebagai Menko saat ini harus betul-betul menjaga kredibilitas Kemenko.
Berbeda dengan Supratman yang merupakan wajah baru di kabinet, sehingga terlihat tak berdaya ketika menghadapi tekanan politik baik dari internal Istana maupun pun dari eksternal kekuasaan.
Thoha kembali menegaskan, musyawarah seharusnya menjadi pijakan utama dan jalan keluar mengakhiri serta menyudahi konflik dualisme partai.
“Kader PPP ini banyak santri. Tentu paham betul musyawarah mufakat adalah jalan terbaik. Tetapi yang menyedihkan justru pak Menko Yusril dengan pak Supratman Andi Agtas kontradiksi sikapnya. Ini contoh buruk bagi generasi muda,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa SK langsung terbit tanpa mendengar penjelasan kubu Agus.
Langkah kubu Agus tidak berhenti begitu saja. Mereka telah menyiapkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Meski SK Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas memiliki kekuatan hukum, namun legitimasi politik tetap dipertanyakan.
Publik menganggap keputusan terburu-buru itu merusak kepercayaan. Dalam jangka panjang, dualisme berisiko melemahkan oposisi dan menggerus kualitas demokrasi.
Thoha mengingatkan dampak serius jika pemerintah tidak netral alias berpihak.
“Kalau menteri tidak netral pasti kehilangan kepercayaan. Karena itu, pemerintah harus memediasi, bukan mempercepat pengesahan,” katanya.
Ia menilai konflik ini bisa memecah suara umat Islam dalam pemilu mendatang.
Publik melihat sungguh ironi: Yusril menyerukan netralitas, sementara Supratman justru menutup perdebatan dengan SK mengesahkan kepengurusan kubu Mardiono.
Realitas ini memperkuat praduga bahwa hukum menjadi tameng kekuasaan dengan memberi legitimasi terhadap salah satu kubu pavoritnya, sementara kekuasaan politik menjadi pedang untuk memotong lawan.
“Oleh karena itu, Jaringan Santri Nusantara mendukung PPP bersatu. Tapi kalau pemerintah berpihak pada salah satu kubu, ini bukan saja pengkhianatan tapi merusak tatanan hukum dan demokrasi,”ujar Thoha.
Ia mengusulkan mediasi netral lewat Mahkamah Konstitusi agar rakyat melihat keadilan yang sesungguhnya.
Kini, PPP menghadapi pilihan: musyawarah atau perpecahan. Kubu Agus menempuh jalur hukum, kubu Mardiono berpegang pada SK. Namun tanpa rekonsiliasi, partai terancam hancur dan kehilangan pemilihnya yang melitan.
“Konflik ini segera diakhiri mari bersatu untuk masa depan PPP, tapi kalau pemerintah tidak netral tentu elit PPP yang notabene Santri tak boleh diam saat hukum dibengkokkan,” ucap Thoha.
“PPP harus bersatu demi umat. Pemerintah wajib jadi fasilitator, bukan hakim sepihak,” pungkasnya.