Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Teologi Korupsi: Agama Gelap Kekuasaan

Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi, Miftahul Arifin.

Jurnalis:

Kabar Baru, Opini – Berita korupsi seolah tak pernah ada habisnya, mulai dari korupsi bansos, mafia tambang, pendidikan, infrastruktur, jual-beli kuota haji dan terbaru kasus pemerasan di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Pertanyaan sederhanya: mengapa korupsi begitu subur di negeri yang penuh doa ini? Padahal Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan, bahkan disebut negeri religius karena setiap hari kita selalu mendengar adzan, doa-doa dipanjatkan, bahkan khutbah tentang moralitas hampir terdengar setiap waktu.

Jasa Stiker Kaca

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel), dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) olek Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kasus pemerasan.

Tokoh yang pernah dikenal sebagai aktivis jalanan, kini harus mendekam dibalik dinginnya hotel prodeo karena terseret dalam transaksi uang gelap, tergoda oleh manisnya gula-gula pusaran kekuasaan.

Dalam kacamata filsuf Denmark Soren Kierkegaard perilaku koruptif disebutnya sebagai despair atau keputusasaan, sebuah kondisi dimana manusia kehilangan jati diri sejatinya di hadapan Tuhan.

Maraknya korupsi memperlihatkan dan semakin mempertegas bahwa kejahatan ini bukan lagi sekadar kejahatan individual, melainkan sudah menjadi ekosistem yang berkelindan erat antara politik, birokrasi, spiritual dan dunia usaha.

Hannah Arendt dalam konsep Banalitas Kejahatan (Banality of Evil), menyebut bahwa tindakan jahat kerap berlangsung bukan disebabkan oleh niat jahat, tetapi karena mengikuti sistem yang sudah dianggap normal.

Dalam konteks Indonesia, pejabat yang korup jarang merasa bersalah. Mereka seolah sedang menjalankan liturgi: membagi-bagi proyek, menyuap, gratifikasi, hingga mengamankan rente.

Dalam hal ini, korupsi seakan memiliki teologinya sendiri sebuah pseudo agama yang lahir dari kerakusan manusia, dengan memberi legitimasi atas penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi dan kelompok.

Bilamana ditarik dalam kontek Indonesia, korupsi sekan sudah menjelma agama baru. Ia punya imam (elit politik dan pejabat), ritual (suap, sogokan), bahkan altar (kursi kekuasaan). agama gelap kekuasaan yang menukar iman dengan uang.

Inilah yang disebut Teologi Korupsi dimana ritual kegelapan menjadi bahasa iman baru bagi para penyembah kekuasaan.

Sebuah sistem keyakinan yang tidak pernah diajarkan secara formal, namun diwariskan dan dijalankan dengan penuh kesetiaan dalam ruang-ruang gelap kekuasaan.

Dalam teologi ini, uang dan jabatan dipuja atau disembah layaknya berhala, sementara nilai keadilan, amanah, dan moralitas harus terpinggirkan. Dari sini dapat dipahami bahwa perilaku korupsi bukan ansih persoalan hukum, tetapi pertautan antara simbol religius, oligarki ekonomi, dan politik elektoral. Ia adalah iman tersembunyi yang menopang status quo.

Bila diteilisik lebih jauh lagi, korupsi di Indonesia juga sudah mengakar dan diwarisi dari feodalisme yang bercampur dengan patronase politik modern. Dalam relasi patron-klien, hadiah, sogokan, dan balas jasa dianggap wajar, bahkan sakral.

Orang kecil merasa bersyukur dapat jatah dari pejabat dan dianggapknya berkah jabatan. Sementara pejabat merasa dirinya berhak karena posisi dianggap titipan Tuhan.

Semua itu menyerupai upacara keagamaan yang memberi rasa aman, keterikatan, dan keberlanjutan bagi para penganutnya. Dan dibalik praktik busuk itu, selalu ada tafsir pembenaran yang seolah menormalkan: “Ini sudah lumrah, ini untuk kepentingan bersama, ini demi partai, demi jalannya birokrasi, atau apalah dengan berbagai macam cara pembenaran lainnya.” Layaknya doktrin agama. Dalam teori hegemoni, Antonio Gramsci menyebutnya praktik korupsi terlihat normal dan wajar.

Lebih parahnya lagi, maraknya korupsi menandakan bahwa demokrasi kita ikut dikorupsi. Pemilu yang seharusnya menjadi mekanisme akuntabilitas rakyat, berubah menjadi pasar gelap transaksional.

Politik uang merajalela dan dianggap wajar, sementara biaya politik yang mahal membuat pejabat merasa berhak balik modal lewat proyek dan rente. Dari sinilah lingkaran iblis itu terbentuk.

Dalam kajian teologi korupsi bahwa korupsi bukan sekadar pencurian uang negara, melainkan krisis spiritualitas: Pengkhianatan terhadap iman, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan itu sendiri.

Soren Kierkegaard menyebutnya sebagai keputusasaan. Koruptor sejatinya adalah sosok yang putus asa: mereka tahu kebenaran, namun memilih kebohongan; mereka tahu jabatan adalah amanah, tetapi memperlakukannya sebagai mesin uang.

Korupsi merupakan dosa publik yang merusak jiwa bangsa. Namun dibalik itu ada jalan untuk kembali. Pertobatan dari korupsi bukan sekadar menyesali perbuatan, melainkan transformasi radikal.

Bangsa ini tidak cukup dengan Jaksa, Polisi dan KPK, yang dibutuhkan melampaui itu semua: Revolusi batin, kesadaran moral kolektif, dan keberanian untuk beralih dari agama gelap menuju teologi terang. Hanya dengan itu, pertobatan dari korupsi akan menjadi nyata, bukan sekadar wacana.

*Penulis adalah Miftahul Arifin, Koordinator Nasional Kawal Pemilu dan Demokrasi.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store