Kalau Aku Aneh, Kalian Mau Apa?
Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Bulan depan usiaku 24. Dan hingga kini aku belum menemukan hal yang membuatku yakin sepenuhnya bahwa keputusan-keputusanku benar.
Setelah lebih banyak mengenal orang, keunikanku yang dianggap abnormal oleh keluarga dan teman-temanku sejak kecil, ternyata tidak berdasar. Aku selalu memiliki pendapat yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Aku, misalnya, agak risi melihat sikap lebay orang-orang ketika menghadapi kejadian-kejadian tertentu. Aku juga kerap bingung mengekspresikan sikapku karena dianggap janggal.
Hingga akhirnya aku sampai di titik di mana aku bodoamat atas anggapan orang lain. Yang penting aku nyaman.
Tapi, tentu saja kenyamanan itu butuh alasan. Dan 2020 akan menjadi titik awal aku memahami rasa nyaman tersebut.
Kenyamanan itu pertama-tama harus ditukar dengan kondisi sebaliknya: ketidaknyamanan. Tiba-tiba aku mengalami culture shock. Aku seperti dicabut dari zona nyamananku. Menjadi bagian dari aktivisme mahasiswa ternyata tidak seheroik kedengarannya.
Kamu seolah-olah sedang memikul beban dunia. Seperti yang sedang menimpaku ketika aku menjadi pengurus unit kegiatan teater kampus.
Bayangkan, anak manja, gadis Barbie tukang gerutu yang selalu menggantungkan hidup kepada orang banyak sepertiku, tanpa bekal apa pun mendadak tertatih-tatih menjalankan tugas-tugas yang tak kupahami.
Kegagapan telah menghukumku.
Dan hukuman tersebut menjadi kian berat ketika aku harus mendengarkan bacotan para aktivis kacangan di kafe.
Sejauh itu, aku belum menemukan motif mereka gemar nongkrong di kedai kopi yang konon dilakukan untuk membangun relasi. Yang terjadi justru kupingku disesaki obrolan tak bermutu yang bersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan sok filosofis.
Seperti ketika mereka memulai percakapan dengan melontarkan pertanyaan berlagak sokratik “Apa itu kopi?” yang akan ditanggapi dengan jawaban-jawaban yang mungkin bakal membuat Sokrates sendiri pusing tujuh keliling.
Tapi tentu saja warung kopi tidak semengerikan itu jika di antara seribu bandot suka bacot tersebut ada satu orang yang bisa diharapkan. Dan orang inilah yang menyeretku keluar dari kawanan aktivis absurd ke lingkaran pergaulan sehat dan bergizi.
(Aku tidak mau cerita sama kalian kalau orang ini sebenarnya adalah gebetanku.) Di sirkel baru ini, seluruh ‘keganjilanku’ mendapat ruang.
Bagiku, menjadi bagian dari lingkaran pergaulan bernama Tarekat Keong Racun—sungguh sebuah nama yang genit—ini menjadi kesempatanku untuk berbagi seluruh kejanggalanku tanpa tahu malu.
Tak ada penghakiman. Tak ada pertanyaan durjana ‘apa itu kopi’. Bahkan, aku tak pernah sungkan mengobral kisah kebucinanku yang konyol. Kala itu aku memang benar-benar dimakan cinta.
Cinta. Satu kata mujarab yang sanggup mengubah laut tenteram menjelma samudra bergelombang (lengkap dengan badai dan petirnya) dan mampu mengubah bahtera tenang menjadi kapal mabok.
Kuakui, sirkel ini memang sarat drama. Nobody perfect. Watak manusia memang begitu kan? Meskipun dipenuhi manusia-manusia drama queen, mereka bukan jenis spesies otak udang.
Lagian, banyak juga kan filsuf yang mengidap kepribadian ratu drama? Sebut saja Jean Jacques Rousseau atau Arthur Schopenhauer. Anak-anak Keong Racun, kalau kalian mau tahu, bisa cas-cis-cus ngomongin buku tanpa terjebak pada filfasat palsu ‘apa itu kopi’.
Ternyata, di lingkaran pergaulan ini aku bisa menyelam sambil minum air. Yang emosional dan yang rasional bisa kurengkuh dalam sekali dekap. Cinta dan logika ada di lingkaran pertemanan yang sama.
Dan salah satu sisi Keong Racun inilah yang memberiku kunci untuk memasuki dunia yang sama sekali belum pernah kukunjungi: jagat intelektual.
Serius, aku perlu mengimbangi obrolan mereka yang terkadang lumayan berat. Aku tidak mau ketinggalan kereta. Aku harus membaca banyak buku. Dan aku takjub menyaksikan kecepatanku melahap buku, padahal aku pembaca pemula.
Bagiku, ini seperti mukjizat yang sebenarnya kumiliki, tapi tak pernah kusadari. Lagi pula, mubazir jika aku tidak menghabisi koleksi buku menarik salah seorang di antara kami yang cuma dibaca satu orang.
Bagi pembaca newbie sepertiku, tekun membaca buku tidak kalah berat ketimbang kutukan Sisifus yang dihukum seumur hidup mendorong batu ke puncak gunung.
Namun, kupikir ini memang satu-satunya jalan yang sanggup membuatku move on dari lembah kejahiliaan. Menjadi pintar memang berat, tapi menjadi goblok benar-benar memalukan.
Itulah mengapa aku mesti menyingkirkan apa pun yang tak menunjang perkembanganku, misalnya perkara asmara berbisa.
Sejak itu, aku memperlebar jalanku dengan berpartisipasi di acara-acara kajian, bergabung dengan sejumlah komunitas (bahkan, aku dipercaya menjadi koordinator salah satu komunitas kebudayaan), membangun jejaring, dan merawat kepercayaan yang telah orang lain letakkan di pundakku.
Semua itu merupakan modus mutlak untuk membuka peluangku di kehidupan yang akan datang. Akhirnya, menjalani proses ini tak sekadar berguna untukku, tetapi memantik kesadaran bahwa apa yang telah kutanam juga harus dituai orang lain.
Di sini, menjadi perempuan independen tidak bisa dilalui di jalur lempang. Kamu bakal menghadapi banyak perlawanan frontal. Itulah mengapa kita perlu mempertimbangkan siasat bijaksana agar apa yang telah diupayakan tidak berakhir sia-sia.
Adaptasi adalah kunci. Yang penting aku tahu cara paling efektif dan efisien menangani segala penghalang dari orang-orang di sekitar tanpa mengorbankan idealismeku.
Masalah hidup takkan pernah usai. Berlapis-lapis dinding tebal harus diterabas. Meski tampak pasti, sebenarnya aku masih gamang. Apakah di usia yang nyaris seperempat abad ini aku sudah berada di jalan ninjaku?
Penulis adalah Hana Hanisah mahasiswi IAIN Madura