Reaksi Berlebih Pada Kelakar Cak Imin, Tak Pernahkah Kita Berlaku Serupa?

Jurnalis: Pengki Djoha
Kabar Baru, OPINI- Berapa waktu lalu, jagat media sosial ramai dengan pernyataan–yang katanya kontroversial–dari pidato Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau akrab disapa Cak Imin yang disampaikan pada momen pelantikan Pengurus Besar Ikatan Alumni PMII (IKA PMII). Dalam suasana keakraban antar sesama kader, Cak Imin melontarkan guyonan “Kalau ada kader PMII yang tidak tumbuh dari bawah, itu bukan PMII, itu pasti HMI.”
Penggalan videonya pun beredar di media sosial dan menuai berbagai tanggapan dari kader-kader HMI. Sejak kemarin video itu viral, rasanya saya tidak punya hasrat sama sekali untuk ikut ‘nimbrung’ memberikan pendapat, sebab sebagai kader PMII yang akrab dengan guyon khas warga Nahdliyyin, saya meyakini Cak Imin punya pesan dengan makna tersirat saat menyampaikan guyonan tersebut. Pernyataan serupa pun bukan baru kali ini terjadi. Dulu, mendiang Gus Dur juga pernah menuai kritik ketika menjawab sebuah pertanyaan tentang perbedaan PMII dan HMI: kalau HMI, mampu menghalalkan segala cara, sedangkan PMII tidak tahu caranya. Kira-kira begitu jawaban Gus Dur saat itu.
Dalam tulisan ini, saya merasa tak perlu menambahkan analisa dan opini pribadi mengenai makna tersirat dari pesan Cak Imin karena hal tersebut sudah dilakukan oleh beberapa penulis di berbagai media. Hanya, pagi ini saya merasa agak tergelitik ketika membaca isi komentar pada laman Instagram sebuah akun yang mengunggah penggalan video Cak Imin. Lebih tergelitik lagi saya saat melihat beberapa kawan kader HMI terdeteksi agak tersulut perasaan dengan video Cak Imin, bahkan ada yang memberikan keterangan bahwa kekalahan pencalonan Capres-Cawapres kemarin akibat Cak Imin yang malas baca sejarah. Saya tersenyum tipis, tentu saja Cak Imin lebih memahami sejarah, bahkan lebih banyak mengetahui dibanding kita-kita yang hanya remahan biskuit Khong Guan ini. Pun tuduhan pernyataan ahistoris, simplistik, dan menyesatkan juga belum tentu baik jika dilayangkan oleh seseorang yang pernah dipecat karena pemalsuan tanda tangan. Kira-kira begitu.
Pelik sekali kalau membahas persoalan ini ketika saya menyadari betul bahwa sekalipun Cak Imin telah menjadi kontroversi, komunikasi politiknya dengan pihak-pihak bisa jadi justru tidak terganggu sama sekali, bahkan jika pihak-pihak itu adalah kader HMI sekalipun. Karena di ibu kota, mereka berkomunikasi membawa kepentingan politik masing-masing, dan tentu saja, guyonan sesepeleh itu tidak akan jadi bahan pertimbangan yang berarti bagi
kalangan elit politik kalau sudah menyangkut kepentingan yang lebih besar. Menariknya, justru kader-kader di daerah yang terlampau serius menanggapi persoalan ini. Memang benar, jika berkaca pada berbagai persoalan di negeri tercinta ini, kita warga Indonesia adalah orang yang paling senang meroasting negara sendiri, sekaligus akan jadi yang paling marah ketika warga negara lain meroasting negara kita. Kasus nya hampir mirip, love-hate relationship.
Di sisi lain, saya ingin mengajak kita ikut melakukan refleksi. Mari kita mulai mengingat kembali, apakah kita pernah melakukan hal yang serupa dengan Cak Imin. Sudah berorganisasi? Saya pikir pernah, ya. Sekalipun selama jadi rahasia umum, kegiatan roasting antar organisasi mahasiswa adalah hal yang sangat biasa terjadi di kampus saat masa-masa penerimaan mahasiswa baru. Jangan terjadi di kampus Cak Imin yang jelas-jelas audiensnya adalah kader senior, di kampus-kampus, tak terkecuali di Gorontalo, ada juga kok pernyataan roasting semacam itu keluar dari mulut Presiden Mahasiswa yang kebetulan kader HMI. Kasus itu jauh lebih parah karena audiensnya adalah remaja-remaja baru lulus SMA, yang tidak paham tentang PMII dan PMII, yang sedang dalam proses mencari jati diri, lalu disusupi dengan pernyataan-pernyataan tak berdasar. Contohnya:
“Kalau masuk HMI, kalian akan jadi Ketua BEM.” atau
“Kalau masuk HMI pasti nilai kuliahnya bagus-bagus.”
Pesan-pesan itu disampaikan tatap muka pada momen pengenalan organisasi ekstra kampus, juga pada percakapan Whatsapp melalui chat atau pesan suara. Itulah yang jadi pembeda, video Cak Imin viral se Indonesia, sedangkan punya kita viral di grup internal saja. Pada momen ini saya justru berpikir bahwa pesan-pesan seperti di atas lah yang mengindikasikan “tidak tumbuh dari bawah” yang sebenarnya. Hal yang tidak mungkin kalau masuk HMI akan langsung jadi Ketua BEM, kalau langsung, ya sudah pasti tidak tumbuh dari bawah, malah tumbuh menunggangi.
Fenomena semacam itu akan selalu terjadi setiap tahun. Kurang lebih 6 tahun sejak saya jadi mahasiswa baru hingga sekarang masih akrab dengan dinamika-dinamika seperti ini. Karena kebiasaan itu tak bisa hilang, maka itu sudah jadi hal yang sangat biasa bagi kami. Toh, baik HMI dan PMII punya prestasi dan perjuangan masing-masing pada proses menjalankannya. Tinggal calon kader yang menilai bisa masuk ke mana, karena ujung-ujungnya adalah bagaimana mereka ingin berperan dan berkembang dengan organisasi sebagai instrumentnya. Toh, meski hal ini terjadi berulang kali, kader PMII dan HMI tetap tegar saja saat bertemu, tetap saling mengunjungi saat ada acara, tetap bersama-sama kalau ada giat kolaborasi, ujung-ujungnya tetap duduk ngopi.
Kalau kata Lewis A. Coser (2017), pada teori konflik fungsionalnya, konflik memang biasa dilihat sebagai energi pengikat yang mempengaruhi mobilisasi anggota yang lebih aktif dan meningkatkan kohesi internal. Jadi, walau sering ‘saling menjejekkan’ karena konflik, tetapi konflik itu sendiri yang justru memperkuat solidaritas dan menjembatani kesalingan pengertian ketika bertemu.
Maka, tak perlu lah kita menanggapi hal ini secara berlebihan. Tetap santai, hisap rokok dan seruput kopi. Kita nikmati dengan kelebihan dan kekurangan pada organisasi masing-masing. Pada tempat kita lahir dan berkembang, memang kita cukup sensitif. Tapi sebaik-baiknya lahir dan berkembang adalah mampu bertahan dan tak punya musuh.