Napak Tilas Reformasi dari Ibu Megawati, Figur Tujuh Era

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini – Bulan Mei adalah bulan politik yang suasana tersebut lahir dari babak baru bangsa, dengan pecahnya ketuban Reformasi sebagai harapan baru demokrasi Indonesia. Masih terngiang saat Reformasi meledak pada 98, penulis hanyalah anak kecil yang kala itu baru mau masuk Taman Kanak-kanak. Suasana mencekam pada saat-saat itu masih begitu terasa di dalam sanubari bahwa suasana begitu tidak kondusif hingga ke pelosok daerah. Seminggu penuh, saya hanya bisa bermain di rumah. Karena khawatir situasi lingkungan yang membahayakan keamanan.
Memori itu masih melekat karena orang tua penulis menceritakan situasi nasional dari laayar televisi karena, berita Presiden Soeharto (yang hari ini digugat oleh berbagai pihak karena negara rencana akan memberi gelar pahlawan kepada dirinya) yang sudah puluhan tahun berkuasa harus tumbang juga karena desakan rakyat.
Dari peristiwa jatuhnya Presiden Soeharto itu, terdapat beberapa figur penting yang menjadi kunci dari terbukanya pintu keadilan di republik ini. Tumbuh semakin dewasa, penulis makin memahami salah satu sosok penting lahirnya Reformasi itu adalah Ibu Megawati Soekarno Putri.
Meskipun menyandang sebagai anak Presiden Soekarno, Ibu Mega menurut penulis bukan sekedar tokoh politik biasa. Karena perjuangan politik dan kebangsaan yang beliau lakukan benar-benar dari akar rumput. Tidak taken for granted atau tidak hanya mengandalkan privillage “trah Soekarno” semata. Dengan PDI yang coba diakusisi rezim Orde Baru, diteror, dan diganjal karir politik mudanya, jelas tak terbantahkan bahwa ibu Megawati adalah figur “Anak Zaman”.
Maka tak ayal memang Ibu Mega layak menyandang gelar sebagai Ibu Bangsa karena kegigihannya untuk bangsa ini khususnya dalam menegakan demokrasi yang kini menjadi barang mahal.
Megawati: Manusia Tujuh Era
Megawati lahir dan tumbuh sejak republik ini berdiri dan masih belajar merangkak. Megawati yang biasa disapa dengan panggilan “Ibu Mega”, lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947, adalah anak kedua Presiden Soekarno, Sang Proklamator RI. Ibu Megawati, Fatmawati adalah seorang gadis kelahiran Bengkulu di mana Soekarno dahulu pernah diasingkan pada masa penjajahan Belanda. Megawati dilahirkan pada masa Agresi Militer Belanda.
Meski masih berumur belia, beliau sudah merasakan “panasnya” dapur republik. Bahkan di saat remaja, tidak heran ibu Mega sering kali memasak nasi goreng kesukaan Proklamator bangsa, Soekarno, dalam rapat-rapat kenegaraan sebagai “asupan” berdiskusi tokoh-tokoh republik.
Maka tidak heran jika ibu Mega saat ini adalah satu-satunya tokoh (baik sebagai mantan presiden atau sebagai ketua umum partai politik) yang paling banyak memberikan sumbangsih, baik formal maupun non formal bagi berjalan dan stabilnya Indonesia.
Bagaimana tidak, ibu Mega hidup, berpikir dan bertindak untuk bangsa sejak Indonesia melewati berbagai era. Era yang penulis maksud bukan hanya era dari pergantian sistem politik saja. Tetapi juga termasuk dari gaya dan karakter pemerintahan. Adapun era yang dimaksud adalah era pasca kemerdekaan, parlementer, demokrasi terpimpin, orde baru, reformasi, konsolidasi demokrasi dan yang saat ini sedang dialami bangsa adalah kemunduran demokrasi.
Megawati: Dokter Bedah Reformasi dan Krisis Republik
Tubuh republik, kembali harus “dioperasi besar” karena krisis situasi ekonomi dan politik. Meskipun tidak memegang peran eksekutif utama, Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden (1999–2001), bersama Presiden Gus Dur, memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas politik, mendukung kebijakan desentralisasi, dan menjadi penyeimbang kekuatan politik di era awal reformasi. Masa jabatannya menjadi jembatan antara era transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Selanjutnya saat menjadi Presiden pada 2001-2004, ibu Mega berperan sangat penting dalam beberapa hal. Peran-peran tersebut telah penulis seleksi dengan situasi yang relevan dengan kondisi bangsa saaat ini.
Pertama membuat stabilitas politik dan mempersiapkan dengan matang konsolidasi demokrasi. Setelah era transisi yang penuh gejolak (1998–2001), Megawati berusaha menciptakan stabilitas politik. Ia menjaga hubungan dengan militer dan partai politik untuk menciptakan pemerintahan yang relatif stabil. Yaitu dengan Mendukung proses demokratisasi, termasuk pemilihan langsung presiden yang dimulai pada tahun 2004.
Hal ini menjadi relevan, pasalnya demokrasi Indonesia saat ini telah dihancurkan dengan adanya manipulasi Mahkamah Konsitusi dalam meloloskan umur salah satu calon pada pemilu 2024 sehingga dapat mencalonkan sebagai wakil presiden. Tentu hal itu sangat bertentangan dengan semangat reformasi yang telah ibu Mega pikirkan keringat bahkan darah.
Kedua soal pemilu langsung 2004. Dimana ibu Mega mendukung penuh sistem pemilu yang adil dan transparan. Tidak sebagaimana mantan salah satu presiden yang diisukan ingin memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode.
Ketiga mengenai pemulihan ekonomi pasca krisis 1998. Megawati berusaha memulihkan ekonomi Indonesia pasca krisis finansial Asia 1997–1998, meski pertumbuhan ekonomi masih lambat. Bahkan capaian pentingnya pada saat itu adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga sekitar 4-5%. Ini relevan dengan situasi ekonomi bangsa. Di mana saat Indonesia belum pulih betul keluar dari krisis ekonomi Covid-19, kembali harus beradaptasi pada perang ekonomi jilid dua antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Menjadi logis mengapa Presiden Prabowo menemui Megawati Soekarno Putri untuk membicarakan masalah global yang erat kelindan terhadap situasi nasional bangsa.
Keempat, yang tidak kalah penting adalah pemisahan TNI dan Polri. Reformasi TNI dan Polri yang dimulai sejak era reformasi terus berjalan di masa Megawati. Pada saat itu TNI difokuskan pada pertahanan, Polri pada keamanan dan penegakan hukum sipil. Berkaitan dengan itu, relevan juga isu adanya dwi fungsi TNI pasca pengesahan UU TNI yang baru, yang membuat public nasional bergejolak serentak dalam menolak itu. Dan menguatnya peran TNI dalam mengatasi “kendala hukum” agar peradilan berjalan lebih maksimal. Ditengah kendornya dan ketidakpercayaan public terhadap POLRI.
Maka dari itu dampak peran ibu Megawati dalam tata politik, pemerintahan dan ekonomi nasional masih terasa, di mana sistem demokrasi yang lebih matang, otonomi daerah yang lebih kuat, serta ketegasan terhadap supremasi konstitusi merupakan warisan langsung dari peranannya dalam membentuk arah reformasi nasional.