Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Politik Receh di Meja Dekan FISIP

Editor:

Kabarbaru, Jember – Ada satu hal yang sering membuat orang lupa diri di lingkungan akademik: kursi. Bukan kursi kuliah yang bolong dudukannya, tapi kursi kekuasaan. Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Jember (FISIP UIJ), aroma kursi itu tampaknya mulai merebak ke setiap lorong fakultas—lebih menyengat daripada bau kopi kantin yang sudah dingin lantaran dibikin dari jam pertama kuliah. Dan seperti yang sering terjadi di dunia politik praktis, rupanya para intelektual kampus pun tak luput dari godaan untuk memainkan permainan lama: politik kotor dengan bumbu nepotisme.

Beberapa bulan lagi akan dilangsungkan pergantian dekan, desas-desus mulai ramai berembus. Ada oknum dosen yang konon mulai memoles diri, membangun jaringan, bahkan katanya mengantongi “restu” dari sang dekan saat ini. Restu yang katanya diucapkan setengah bisik, tapi terdengar lantang di telinga banyak orang. Katanya, proses akademik harus dijaga. Tapi kalau politik sudah ikut campur, maka yang dijaga bukan lagi kualitas, melainkan gengsi dan kepentingan. Padahal, kalau mau jujur, mahasiswa FISIP—baik dari Ilmu Komunikasi maupun Administrasi Publik—tidak sebodoh itu untuk tak mencium gelagat. Mereka bukan generasi yang hanya bisa mencatat materi di kelas dan mengangguk ketika dosen bicara. Mereka ini mahasiswa yang nuraninya masih hidup, yang peka ketika fakultasnya mulai dipenuhi bisik-bisik politik receh. Tapi anehnya, saat mereka bersuara, justru muncul tudingan bahwa gerakan mahasiswa ini “ditunggangi”.

Jasa Penerbitan Buku

Beberapa waktu lalu, ketika pamflet-pamflet kritik mulai bermunculan di kalangan mahasiswa, suasana kampus mendadak jadi lebih tegang dari biasanya. Sang dekan pun langsung bereaksi cepat. Sebuah panggilan telepon gabungan di grup WhatsApp mahasiswa FISIP diadakan—lengkap dengan nada tegas dan retorika khas pejabat fakultas. Dalam obrolan yang semestinya bisa menjadi ruang dialog santai itu, malah muncul tuduhan bahwa ada pihak yang menunggangi gerakan mahasiswa. Bahwa mahasiswa mudah dihegemoni, mudah diarahkan oleh dosen-dosen yang tak sejalan dengan kebijakan si-dekan. Sebuah tudingan yang ironis, mengingat yang dituduh itu justru mahasiswa yang selama ini aktif dan berpikir kritis.

Yang lebih ironis lagi, dengan adanya tudingan semacam itu memperlihatkan bagaimana sikap para pejabat fakultas terhadap nalar politik mahasiswa yang dianggap tak sepadan dengan nalar pejabat kampus. Seolah mahasiswa hanyalah pion, bukan subjek yang mampu berpikir dan menilai secara mandiri. Padahal, bukankah kampus tempat melatih daya kritis dan logika berpikir? Bukankah dosen seharusnya bangga ketika mahasiswa kritis terhadap situasi di sekitarnya? Kalau tuduhan “mudah ditunggangi” jadi alat untuk membungkam kritik, maka yang sedang dijaga bukan lagi kehormatan fakultas, melainkan ego kekuasaan. Dan ego, sayangnya, tidak bisa dijadikan bahan ajar.

Dalam percakapan itu pula, sang dekan mencoba mengalihkan sorotan dengan dalih bahwa urusan pergantian dekan bukanlah kewenangannya. Katanya, semua itu wewenang yayasan. Dekan, dalam posisi ini, hanyalah pelaksana, bukan pemain utama. Sayangnya, mahasiswa FISIP sudah cukup lama mengenal gaya politik klasik semacam itu. Dalih “itu urusan yayasan” seringkali hanya menjadi tameng retoris untuk menyembunyikan permainan yang sebenarnya sedang berlangsung di belakang layar. Karena faktanya, orang yang dikabarkan akan menduduki kursi dekan bukanlah sosok asing bagi sebagian petinggi universitas. Ia dikenal pandai menyesuaikan diri—bukan dalam arti akademik, melainkan dalam hal “menyenangkan atasan”.

Konon, calon dekan ini bukan bagian dari keluarga besar FISIP. Bahkan, jika ditelusuri rekam jejak pendidikannya, antara gelar sarjana dan magisternya pun tidak linier. Memang, linieritas bukan segalanya. Tapi ketika seseorang ingin memimpin fakultas yang di dalamnya ada rumpun keilmuan sosiologi, antropologi, hingga patologi birokrasi, tentu yang pertama harus dilontarkan ialah pertanyaan soal kapasitas menjadi sangat relevan. Apalagi ketika karya akademiknya hanya segelintir—dan dari yang ada pun tak menunjukkan kedalaman berpikir yang layak untuk seorang ilmuwan. Namun di kampus, kemampuan menjilat kadang lebih bernilai daripada kemampuan menulis. Mungkin karena di lingkungan akademik kita, lidah bisa lebih tajam dari pena, dan sanjungan bisa lebih produktif daripada riset.

Dulu, FISIP dikenal sebagai fakultas yang paling hangat dan kekeluargaan di UIJ. Tak ada drama saling sikut antar dosen, tak ada pengucilan bagi mereka yang berbeda pandangan. Semua berjalan dengan semangat kolegialitas. Tapi kini, suasana itu mulai pudar. Ketika politik kotor mulai masuk melalui pintu oknum dosen, rasa kekeluargaan itu perlahan terkikis. Padahal, yang membuat FISIP berbeda dari fakultas lain justru karena semangat kebersamaannya. Sekarang, yang terasa malah aroma ambisi dan intrik politik yang bertebaran. Dan mahasiswa, yang seharusnya menjadi penerus tradisi intelektual, justru dijadikan kambing hitam. Mereka dituding provokatif, dituduh menjadi alat dosen tertentu, hanya karena berani menyuarakan kegelisahan.

Padahal, mahasiswa yang mengkritik bukanlah pembenci fakultas, apalagi pembenci dekan, tidak sama sekali. Mereka justru bagian dari keluarga besar FISIP yang ingin menjaga marwah fakultas agar tetap bersih dari permainan kekuasaan receh. Mereka bukan anti pada pimpinan, tapi anti pada kebusukan yang mulai disamarkan dengan senyum diplomatis dan kalimat “itu kewenangan yayasan”. Fakultas sosial seharusnya melahirkan ilmuwan yang tajam membaca fenomena sosial, bukan politisi kampus yang pandai membaca arah angin. Tapi entah kenapa, di lingkungan akademik kita, garis antara akademisi dan politisi semakin kabur.

Seorang dosen yang produktif menulis, aktif berdiskusi, dan dekat dengan mahasiswa kini malah diposisikan sebagai “lawan” jika pandangannya tak sejalan dengan kepentingan struktural. Sementara yang pandai berstrategi, menebar pujian, dan rajin membangun kedekatan dengan petinggi kampus, justru dilihat sebagai calon pemimpin ideal. Dan di sinilah letak kemalangan dunia pendidikan kita: kompetensi ilmiah kerap dikalahkan oleh kelihaian politik. Padahal, fakultas seharusnya bukan ladang kekuasaan, melainkan ladang ilmu. Tapi tampaknya, sebagian orang lebih nyaman menanam intrik ketimbang menanam gagasan.

Kritik di lingkungan akademik seharusnya dianggap vitamin, bukan racun. Tapi di FISIP, kritik tampaknya diperlakukan seperti dosa. Mahasiswa yang berani bersuara dianggap penghasut. Dosen yang memberi ruang diskusi kritis dianggap menentang pimpinan. Lucunya, mereka yang paling alergi kritik biasanya justru paling gemar bicara tentang “demokrasi kampus” dan “kebebasan akademik” dalam seminar-seminar formal. Ironi semacam ini membuat mahasiswa semakin yakin bahwa sebagian pejabat fakultas kita lebih pandai berbicara tentang etika daripada mempraktikkannya.

Tulisan ini bukan surat kebencian. Ia lahir dari rasa cinta pada fakultas yang sejak dulu dikenal humanis dan terbuka. Kami, mahasiswa FISIP, hanya ingin mengingatkan bahwa kekuasaan di kampus bukan untuk dijadikan arena politik, melainkan ruang pengabdian untuk mencerdaskan. Kalau benar dekan sekarang memberi restu pada sosok yang kapasitas akademiknya layak untuk disangsikan, maka restu itu sejatinya bukan bentuk kebijaksanaan, tapi bentuk kecacatan intelektual. Karena membiarkan orang yang tak paham karakter FISIP memimpinnya sama saja dengan menyerahkan kapal kepada orang yang tak tahu arah kompas.

Dan kalau benar fakultas ini akan dijalankan oleh tangan-tangan yang lebih sibuk merancang strategi politik daripada menulis karya ilmiah, maka masa depan FISIP hanya akan dipenuhi rapat-rapat tak produktif dan seminar-seminar pencitraan. FISIP harusnya jadi ruang tumbuhnya pemikiran sosial yang progresif. Tapi kalau ia malah jadi laboratorium kecil politik kekuasaan, maka fakultas ini sedang kehilangan rohnya. Kami, mahasiswa, tidak menuntut banyak. Kami hanya ingin menjaga agar rumah ini tetap hangat. Agar para dosen Ilmu Komunikasi tidak terus-menerus didiskreditkan. Mereka guru kami, panutan kami, dan bagian dari keluarga besar FISIP yang ikut mengharumkan nama fakultas. Kalau keberadaan kami (Keluarga besar Ilkom) dianggap beban, maka kami siap berjalan sendiri—bahkan jika itu berarti memekarkan diri dari Fakultas FISIP.

Tapi sebelum semua itu terjadi, kami masih berharap. Kami masih percaya bahwa FISIP bisa kembali ke jalan yang dulu: jalan kekeluargaan, jalan musyawarah, jalan keilmuan yang beradab. Dan kepada para pejabat fakultas yang mungkin sedang sibuk menghitung peluang dan dukungan, kami hanya ingin berpesan dengan halus: bertaubatlah dari politik receh ini, sebelum ilmu pengetahuan benar-benar kehilangan maknanya di kampus yang bernama universitas. Karena sejujurnya, tidak ada yang lebih memalukan bagi seorang intelektual selain menjadi politisi kacangan di ruang yang seharusnya suci dari intrik kekuasaan.

Mungkin tulisan ini akan dibaca dengan senyum sinis oleh sebagian pihak. Tapi biarlah. FISIP sudah cukup tua untuk membedakan mana kritik, mana kebencian. Yang kami lakukan hanyalah mengetuk pintu kesadaran—agar mereka yang masih sibuk bermain di balik meja kekuasaan, sesekali menatap cermin. Karena dari cermin itu, mungkin mereka akan sadar: yang mereka lihat bukan lagi akademisi, melainkan bayangan politisi kampus yang sedang kehilangan idealisme. Dan semoga, dari refleksi kecil itu, muncul niat tulus untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan yang dulu ditempuh para muassis kampus ini: jalan ilmu, jalan keikhlasan, dan jalan barokah.

Kalimat terakhir ini barangkali terasa sederhana, tapi di FISIP, kesederhanaan dan kekeluargaan itu sedang mahal harganya: bertaubatlah dari politik receh, sebelum fakultas ini benar-benar kehilangan marwahnya.

 

*Penulis adalah M. Toheruddin Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Jember

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store