Muktamar Ricuh, Fusi 1973 Bangkit Selamatkan PPP

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Jakarta – Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar Sabtu, 27 September 2025, berakhir dengan kisruh. Dua kandidat, Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum terpilih.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan luas di kalangan umat Islam, termasuk para pengurus Eksponen Fusi 1973 yang menyerukan langkah penyelamatan bagi partai berlambang Kabah tersebut.
Ketua Umum Parmusi sekaligus calon Ketua Umum PPP, Prof. Husnan Bey Fananie, menegaskan, konflik internal yang terjadi hanya dapat diselesaikan dengan mengembalikan PPP kepada akar sejarah pendiriannya, yakni fusi politik Islam pada tahun 1973 yang menggabungkan Parmusi, NU, Perti, dan SI.
“Harus kembali kepada stakeholders, yaitu empat fusi pendiri PPP,” tegas Husnan.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Perti, Anwar Sanusi, yang mengingatkan bahwa PPP lahir dari tekad besar menyatukan kekuatan politik umat Islam.
“Semangat penyatuan itu harus kembali menjadi pijakan, bukan justru terpecah karena ambisi individu atau kepentingan politik jangka pendek,” ujarnya.
Sementara itu, Imam Cokroaminoto dari Sarekat Islam menilai, jalan keluar atas kisruh partai hanya bisa ditempuh dengan mengembalikan PPP ke eksponen fusi.
“Itu berarti kita harus meneguhkan persatuan, integritas, dan khittah perjuangan partai,” ucap cucu tokoh pergerakan nasional HOS Cokroaminoto ini.
Dari unsur Perti, Irene Rusli Halil, putri pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah, menilai Muktamar X PPP telah merugikan banyak peserta.
“Kasihan para muktamirin, kedatangan mereka dengan niat baik justru berujung dizalimi,” ujar perempuan yang akrab disapa Mbak Iren.
Eksponen Fusi 1973 pun sepakat mengambil peran sebagai poros penengah dan jembatan bagi kedua kubu yang bertikai.
“Kami, empat fusi 1973, siap menjadi jembatan untuk mencari jalan tengah yang maslahat bagi semua pihak,” tegas Husnan Bey, mantan Wasekjen PPP.
Pandangan kritis juga datang dari Prof. TB Masa Djafar, cendekiawan Muslim. Menurutnya, penyelesaian konflik PPP tidak boleh didasarkan pada transaksi politik atau kompromi pragmatis semata.
“Kalau PPP ingin bangkit, kita harus kembali pada pesan Fusi 1973: umat Islam harus bersatu, tidak boleh terpecah. Jangan sampai PPP kehilangan ruh itu hanya karena kursi ketua umum,” ungkapnya.
Dengan sikap tersebut, Eksponen Fusi 1973 kini menempatkan diri sebagai poros penengah sekaligus penentu arah penyelesaian konflik. Kehadiran mereka diharapkan mampu mengembalikan PPP pada khittah perjuangan sebagai rumah besar umat Islam. (Red)