Menulis dengan Hati

Editor: Ahmad Arsyad
Kabar Baru, Opini- Merasa enjoy dan menikmati. Begitulah ciri seseorang yang mendalami ‘passion’-nya. Tidak ada keterpaksaan untuk melakukannya, alias secara sukarela. Bahkan, tanpa dibayar pun, bukan menjadi persoalan. Lebih dari sekadar hobi untuk mengisi waktu luang. Apalagi hanya iseng. Pasti tingkatannya lebih dari itu.
Uang dan popularitas mungkin menjadi salah satu penyemangat. Bukan tujuan utama. Jika dijadikan orientasi atau tujuan utama, maka bersiap-siaplah untuk kecewa. Sebab, sewaktu-waktu karya kita tidak dihargai dan tidak dikenal luas. Bisa juga menerima cemoohan dari orang lain. Sebab itu, seseorang yang mendalami bidang tertentu, semisal tulis menulis, mesti memiliki hati sekuat batu karang. Tetap kokoh menghadapi terjangan ombak. Artinya tetap tangguh walau dicela habis-habisan.
Selain itu, faktor ‘mood’ dalam berkarya menjadi tantangan. Sehingga penting kiranya mengelola ‘mood’ agar tetap stabil. Biasanya faktor jam terbang dan motivasi (internal dan eksternal) juga berpengaruh. Naik turunnya semangat memang menjadi hal lumrah. Hanya saja, tergantung bagaimana mengelolanya agar terus produktif.
Mengalami kebuntuan dalam menggaet ide juga bisa disiasati dengan menerapkan konsep Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM). Terutama bagi kita yang merasa sangat kesulitan untuk memulainya. Sebelum itu, memperbanyak sumber rujukan juga bisa membuat kita memiliki banyak pilihan untuk menghasilkan karya yang berkualitas.
Biasanya, yang tetap stagnan tak menghasilkan apa pun disebabkan stok pengetahuan dan informasi di otaknya minim. Solusinya perbanyak stok informasi dengan rajin membaca. Membaca buku, jurnal, fenomena alam, dan fenomena sosial, dan semacamnya. Bisa juga dengan aktif mengikuti kajian, diskusi, seminar, dan semacamnya. Setelah mendapat ide, bisa langsung dituangkan melalui aksara. Terus dilatih meskipun menurut kita, tulisan tersebut sangat jelek.
Sastrawan AS Laksana pernah mengatakan bahwa menulis jelek jauh lebih baik daripada menulis bagus dan sempurna tapi tak pernah ada. Senada dengan hal itu, penulis Tetralogi Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer, justru lebih tegas lagi menyatakan, “Sehebat apapun ide dan gagasan yang Anda miliki, jika Anda tak punya kemampuan menuangkannya dalam bentuk tulisan, ia akan mudah menguap dan menghilang hanya dalam batas-batas usia Anda.”
Jika menulis sudah menjadi panggilan jiwa, maka honor dan royalti pasti bukan yang utama. Sebab, ada idealisme yang diperjuangkan. Dorongan untuk berbagi ilmu, informasi, dan pengetahuan kepada publik menjadi bahan bakar untuk berkarya sepenuh hati. Untuk selalu berkarya tanpa henti. Biasanya, ada kenikmatan tersendiri bagi orang-orang yang sudah mencintai betul aktivitas menulis.
Menulis dengan hati akan jauh lebih menyenangkan. Alias tanpa beban. Bahkan bisa jadi terapi untuk menenangkan diri. Selain memang bisa juga untuk mengasah daya nalar dan memperluas cakrawala berpikir. Dan yang paling utama sebelum menulis, tanyakan dalam pikiran kita masing-masing: Kenapa harus menulis? Untuk apa menulis?
PP. Al-Ikhlas, Desa Klampar, Kec. Proppo, Pamekasan
Senin, 29 Agustus 2022
08.43 WIB
*) Penulis adalah Muhammad Aufal Fresky, Mahasiswa Prodi Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi kabarbaru.co.