Berita

 Network

 Partner

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store

Ketua PKC PMII Jatim Kecam Keras Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto: Negara Sedang Menghapus Ingatan Luka Kolektif Rakyatnya

Desain tanpa judul_20251111_025942_0000
Kabarbaru.co.

Jurnalis:

Kabarbaru, Surabaya — Ketua Umum Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur, Muhammad Ivan Akiedozawa, atau yang akrab disapa Sahabat Edo, melontarkan kritik keras terhadap keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.

Menurut Edo, keputusan itu bukan hanya tindakan yang tidak sensitif terhadap korban pelanggaran HAM, tetapi juga langkah yang secara moral mencederai nilai-nilai reformasi, demokrasi, dan keadilan sosial yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh rakyat Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru.

Jasa Penerbitan Buku

“Negara seolah sedang menghapus luka kolektif rakyatnya. Bagaimana mungkin seorang penguasa yang bertanggung jawab atas ribuan nyawa yang hilang, ratusan orang dipenjara tanpa pengadilan, dan kebebasan yang dibungkam selama puluhan tahun justru diberi gelar pahlawan nasional?” tegas Edo, di Surabaya, Senin (11/11).

Kritik terhadap Negara yang “Kehilangan Ingatan Sejarah

Edo menilai, keputusan ini memperlihatkan betapa negara hari ini kehilangan kepekaan historis terhadap penderitaan rakyat di masa lalu. Ia menyebut, pemberian gelar tersebut tidak sekadar penghargaan simbolik, tetapi juga bentuk legitimasi terhadap kekuasaan yang menindas rakyat.

“Kita seakan sedang menyaksikan negara yang tak lagi tahu membedakan mana korban dan mana pelaku. Pemerintah yang mestinya berpihak pada keadilan justru menormalisasi kekerasan masa lalu melalui penghargaan,” ujar Edo.

Menurutnya, gelar pahlawan nasional semestinya diberikan kepada sosok yang memiliki rekam jejak moral dan perjuangan kemanusiaan yang tak ternoda. Ia menilai, keputusan ini adalah bentuk amnesia politik yang disengaja, di mana negara berusaha membersihkan catatan kelam demi kepentingan politik masa kini.

“Kita sedang hidup di masa ketika pelanggaran HAM bukan lagi sesuatu yang ditangisi, tapi dinegosiasikan. Negara tampak lebih sibuk menebus citra tokoh lama daripada menegakkan keadilan bagi korban,” katanya.

Luka yang Belum Sembuh dan Reformasi yang Dikhianati

Muhammad Ivan Akiedozawa mengingatkan bahwa luka sejarah yang ditinggalkan oleh rezim Orde Baru belum pernah benar-benar disembuhkan. Korban penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dan kriminalisasi aktivis masih menanti pengakuan dan keadilan. Pemberian gelar kepada Soeharto, kata Edo, adalah bukti bahwa negara belum pernah sungguh-sungguh menatap wajah sejarahnya sendiri.

“Negara seharusnya menegakkan keadilan bagi korban, bukan memberi mahkota kepada pelaku. Dengan memberi gelar pahlawan pada Soeharto, pemerintah telah menampar wajah para korban yang hingga kini masih menunggu keadilan,” ujarnya dengan nada ketus.

Edo menegaskan bahwa langkah tersebut adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998, di mana mahasiswa dan rakyat berjuang menumbangkan rezim otoriter yang mengekang demokrasi. Ia menyebut keputusan pemerintah ini sebagai bentuk pelecehan terhadap semangat perjuangan mahasiswa dan rakyat yang mengorbankan nyawa demi kebebasan.

“Reformasi lahir dari perlawanan terhadap Soeharto dan kekuasaannya. Sekarang, dua puluh enam tahun setelahnya, negara justru menobatkannya sebagai pahlawan. Ironi macam apa ini?” katanya.

Bahaya Pemutihan Sejarah dan Krisis Moral Negara

Menurut Edo, pemberian gelar tersebut berpotensi menjadi pintu masuk bagi upaya pemutihan sejarah yang lebih luas. Ia khawatir langkah ini akan menjadi preseden buruk di mana pelaku pelanggaran HAM bisa dibersihkan citranya oleh negara tanpa proses akuntabilitas dan tanpa pengakuan terhadap korban.

“Kalau ini dibiarkan, kita sedang menulis ulang sejarah dengan tinta kebohongan. Negara sedang menukar kebenaran dengan legitimasi politik,” tegasnya.

Ia menilai, tindakan ini mencerminkan krisis moral negara dalam memaknai kepahlawanan. Kepahlawanan, menurut Edo, bukan soal pembangunan ekonomi atau stabilitas politik semata, tetapi tentang keberanian membela nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebebasan.

“Pahlawan nasional bukanlah mereka yang membangun gedung-gedung tinggi, tapi mereka yang menjaga martabat manusia tetap tegak. Kalau pelanggar HAM bisa disebut pahlawan, lalu apa arti kemanusiaan bagi bangsa ini?” ujarnya retoris.

Desak Pemerintah dan Dewan Gelar Tinjau Ulang

PKC PMII Jawa Timur, kata Edo, mendesak pemerintah dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk meninjau ulang keputusan tersebut. Ia menyerukan agar proses pemberian gelar pahlawan dilakukan secara terbuka, melibatkan keluarga korban, akademisi, dan lembaga independen yang memiliki rekam jejak memperjuangkan kebenaran sejarah.

“Negara tidak boleh menulis sejarah hanya dari sisi penguasa. Proses ini harus transparan dan melibatkan mereka yang selama ini menjadi korban. Kalau tidak, ini bukan penghormatan, tapi penghinaan terhadap nurani bangsa,” ujarnya.

Edo juga menyoroti bahwa pemerintah seolah menutup mata terhadap perjuangan panjang kelompok masyarakat sipil yang hingga kini menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dari 1965, Tanjung Priok, Talangsari, hingga Mei 1998.

“Mereka bukan sekadar korban, mereka adalah saksi sejarah. Dan dengan langkah ini, negara sedang berkata bahwa saksi itu tak lagi penting,” tegasnya.

Menjaga Ingatan, Menolak Lupa

Di akhir pernyataannya, Muhammad Ivan Akiedozawa menegaskan bahwa perjuangan menegakkan keadilan sejarah bukan sekadar perdebatan akademik, melainkan pertempuran moral bangsa. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama generasi muda, untuk tidak tinggal diam melihat bagaimana sejarah coba diputarbalikkan oleh kekuasaan.

“Kita harus terus menjaga ingatan sejarah agar bangsa ini tidak kehilangan arah moralnya. Pemberian gelar ini bukan hanya soal penghargaan, tapi soal siapa yang kita pilih sebagai panutan moral,” tuturnya.

“Kalau bangsa ini memberi gelar kepada pelanggar HAM, maka kita sedang mengubur nurani kita sendiri. Dan saat nurani dikubur, yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa kemanusiaan,” pungkas Edo.

Kabarbaru Network

https://beritabaru.co/

About Our Kabarbaru.co

Kabarbaru.co menyajikan berita aktual dan inspiratif dari sudut pandang berbaik sangka serta terverifikasi dari sumber yang tepat.

Follow Kabarbaru

Get it on Google play store
Download on the Apple app store