Hari Tani Nasional: Petani Karawang Kian Terjepit, Lahan Sawah Terus Menyempit

Jurnalis: Deni Aping
Kabar Baru, Karawang – Peringatan Hari Tani Nasional ke-62 pada 24 September 2025 kembali menyoroti kondisi petani yang semakin terpinggirkan. Di Kabupaten Karawang, yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi nasional, lahan sawah terus menyusut akibat masifnya industrialisasi dan pembangunan perumahan.
Sejarah panjang Hari Tani Nasional berakar dari ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 oleh Presiden Soekarno. Undang-undang ini menjadi tonggak lahirnya cita-cita pemerataan struktur agraria. Namun, 65 tahun berlalu, kesejahteraan petani Indonesia, khususnya di Karawang, masih jauh dari cita-cita tersebut.
Data Dinas Pertanian Jawa Barat menunjukkan ribuan hektare sawah di Karawang telah beralih fungsi menjadi kawasan industri dan permukiman. Di lapangan, lahan yang dijual bervariasi dari 2.600 meter persegi hingga puluhan hektare, dengan spanduk penjualan yang justru mencantumkan agen properti dari luar daerah serta perusahaan besar pemilik lahan.
Kondisi ini jelas mengancam peran Karawang sebagai sentra produksi padi nasional. Padahal, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) seharusnya menjadi pelindung sawah dari alih fungsi. Faktanya, implementasi kebijakan tersebut lemah. Pemerintah daerah bahkan dinilai lebih berpihak pada kepentingan investasi industri ketimbang menjaga keberlangsungan pangan.
Tak hanya itu, keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 juga menuai kritik keras. Regulasi tersebut dinilai memberi karpet merah bagi investor, namun semakin meminggirkan hak-hak petani kecil.
Sekretaris DPC GMNI Karawang, Kelvin Brilian Manurung, menegaskan bahwa peringatan Hari Tani Nasional harus menjadi momentum menagih janji pelaksanaan reforma agraria sejati.
“Kaum tani masih terus mengalami penggusuran, kriminalisasi, hingga perampasan hak atas tanah. Alih fungsi lahan yang terus dibiarkan hanya akan semakin memiskinkan petani dan menghancurkan kedaulatan pangan,” tegas Kelvin, Jumat (26/9).
Dalam sikap resminya, GMNI Karawang menuntut tiga hal:
1. Pemerintah segera melaksanakan landreform dan reforma agraria sejati.
2. Menghentikan tindak kekerasan, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap petani.
3. Mengimplementasikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak asasi petani, khususnya hak atas lahan garapan.
Hari Tani Nasional yang seharusnya menjadi momentum penghormatan atas perjuangan kaum tani justru memperlihatkan paradoks. Petani, yang menjadi tulang punggung bangsa, kian tersisih oleh kebijakan negara yang lebih berpihak pada modal dan industrialisasi. (Vall)