DLH Beberkan Penyebab Minimnya Amdal di Kota Gorontalo

Jurnalis: Febrianti A. Husain
Kabar Baru, Gorontalo- Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) di Kota Gorontalo terbilang minim. Mayoritas pelaku usaha di daerah ini hanya menggunakan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) sebagai dokumen perizinan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Gorontalo, Santi Mo’o. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena Kota Gorontalo berfungsi lebih sebagai pusat perdagangan dan jasa, bukan kawasan industri.
“Di Kota Gorontalo cuma sekitar 4–5 kegiatan yang wajib Amdal, termasuk RSUD Aloe Saboe,” jelas Santi, Selasa (9/9/2025).
Proyek yang Wajib Amdal
Santi menuturkan, proses penilaian Amdal terakhir dilakukan pada 2023/2024 untuk pembangunan Indogrosir Gorontalo. Beberapa proyek lain yang pernah menyusun dokumen Amdal adalah Islamic Center dan Hotel Swiss-Bell, meski keduanya tidak terealisasi. Sementara itu, proyek besar seperti RSUD Aloe Saboe dan Citimall Gorontalo sempat mengajukan revisi Amdal.
Proses penilaian Amdal, lanjut Santi, dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal Kota Gorontalo yang beranggotakan unsur lintas sektor, termasuk akademisi dan LSM.
“Keterlibatan berbagai pihak penting agar dokumen Amdal dikaji menyeluruh dan kualitasnya terjaga,” ujarnya.
SPPL Mendominasi
DLH mencatat, sekitar 80 persen dokumen lingkungan di Kota Gorontalo berbentuk SPPL. Hal ini karena sebagian besar usaha yang ada hanya berskala kecil.
“Sebagai pusat perdagangan dan jasa, dokumen Amdal hanya menyasar perusahaan besar yang berorientasi industri dan bisnis,” tambahnya.
Masalah Lingkungan Utama
Meski jumlah Amdal terbatas, Santi menegaskan pentingnya dokumen ini untuk mencegah dampak negatif pembangunan. Ia menyebut masalah lingkungan utama di Kota Gorontalo lebih banyak dipengaruhi oleh limbah dan sampah, bukan polusi industri.
“Dampak lingkungan yang paling signifikan adalah air limbah dan sampah,” jelasnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh letak kota yang berada di hilir Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo, ditambah tingginya aktivitas perdagangan.
Adapun polusi udara di Kota Gorontalo paling besar disumbang oleh kendaraan bermotor. Sementara industri dengan cerobong asap hanya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang kini jarang beroperasi.
“Karena kita tidak punya industri di sini, yang punya cerobong industri itu hanya PLTD,” pungkas Santi.