Catatan dari Musda KNPI Sulsel: Musda, Konflik, dan Demokrasi

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini – Musyawarah Daerah (Musda) kerap dipahami sebagai ruang finalisasi, tempat perbedaan disudahi dan keputusan dipastikan. Namun pengalaman Musda XVI KNPI Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa demokrasi organisasi justru bergerak ke arah sebaliknya. Musda tidak mengakhiri konflik, ia memperlihatkan bagaimana konflik bekerja di dalam demokrasi.
Kegaduhan yang menyertai Musda sering dibaca sebagai kemunduran etika kepemudaan atau kegagalan prosedural. Pembacaan semacam ini cenderung menyederhanakan persoalan. Konflik dalam Musda bukan semata akibat ketidaktertiban forum, melainkan ekspresi dari pertarungan legitimasi yang lazim dalam setiap organisasi politik. Di titik ini, konflik menjadi pintu masuk untuk memahami demokrasi, bukan alasan untuk menolaknya.
Konflik sebagai Kondisi Politik
Pemikiran Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe membantu menempatkan konflik Musda dalam kerangka yang lebih luas. Dalam Hegemony and Socialist Strategy (1985), keduanya menolak anggapan bahwa demokrasi dapat berdiri di atas konsensus total. Setiap tatanan politik, menurut mereka, selalu dibangun melalui praktik hegemonik: yakni proses penetapan makna dan representasi di tengah keberagaman kepentingan.
Dalam Musda KNPI, istilah “forum yang sah”, “peserta yang legitimate”, dan “keputusan organisasi” bukan kategori netral. Ia menjadi objek perebutan makna. Siapa yang berhak mendefinisikannya, dan melalui mekanisme apa, merupakan inti dari konflik yang terjadi. Dengan demikian, Musda bukan sekadar agenda organisatoris, melainkan arena politik dalam arti yang paling konkret.
Antara Ketertiban dan Politik
Chantal Mouffe, dalam The Democratic Paradox (2000) dan On the Political (2005), mengingatkan bahwa demokrasi modern sering tergoda untuk mengorbankan politik demi ketertiban. Konflik di perlakukan sebagai gangguan yang harus di singkirkan, bukan sebagai unsur konstitutif demokrasi.
Dalam konteks Musda KNPI, kecenderungan ini tampak ketika konflik di jadikan dasar untuk meninggalkan forum dan memindahkan arena musyawarah. Dalih kondusivitas dan stabilitas, meskipun terdengar rasional, justru menggeser demokrasi dari ruang politik ke ruang administratif. Perbedaan tidak lagi diperdebatkan, melainkan dihindari.
Sebaliknya, mempertahankan Musda dalam satu forum yang sama, dengan segala ketegangannya, menunjukkan keberanian untuk mengelola konflik secara institusional. Demokrasi, dalam pengertian Mouffe, bekerja ketika konflik diubah dari antagonisme menjadi agonisme—dari musuh yang harus disingkirkan menjadi lawan yang diakui keberadaannya.
Demokrasi yang Tidak Pernah Nyaman
Pengalaman Musda KNPI mengingatkan bahwa demokrasi organisasi bukanlah proses yang steril dan nyaman. Ia kerap berjalan dalam suasana penuh gesekan, suara meninggi, dan klaim yang saling bertabrakan. Namun justru di situlah demokrasi di uji.
Upaya meniadakan konflik demi ketertiban semu berisiko mengosongkan makna demokrasi itu sendiri. Sebagaimana di tegaskan Mouffe, demokrasi runtuh bukan karena terlalu banyak konflik, melainkan karena ketidakmampuan mengakui perbedaan sebagai bagian sah dari kehidupan politik.
KNPI sebagai Ruang Belajar Demokrasi
Sebagai organisasi kepemudaan, KNPI sering di posisikan sebagai ruang belajar demokrasi. Musda Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pelajaran tersebut tidak selalu datang dalam bentuk yang ideal. Demokrasi di hadirkan bukan sebagai prosedur yang rapi, melainkan sebagai proses yang harus di negosiasikan terus-menerus.
Dalam kacamata Laclau, legitimasi tidak pernah bersifat final. Ia selalu bersifat sementara, lahir dari konfigurasi kekuatan dan makna yang berlaku pada satu waktu. Karena itu, keputusan Musda tidak seharusnya di pahami sebagai akhir dari politik, melainkan sebagai momen artikulasi yang akan selalu terbuka untuk di perdebatkan kembali.
Musda KNPI Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa demokrasi organisasi tidak pernah sepenuhnya selesai. Ia hidup dari konflik yang di kelola, bukan dari ketenangan yang di paksakan. Dalam kegaduhan Musda, justru tampak bahwa politik belum sepenuhnya di tinggalkan.
Dan selama konflik masih di pertarungkan dalam satu arena bersama, demokrasi, dengan segala keterbatasannya, masih bekerja.
Insight NTB
Daily Nusantara
Suara Time
Kabar Tren
Portal Demokrasi
IDN Vox
Lens IDN
Seedbacklink







