Boros Anggaran, Presiden Harus Berani Ubah KPU dan Bawaslu Jadi Lembaga Ad-Hoc

Editor: Khansa Nadira
Kabar Baru, Opini – Kasus dugaan korupsi yang menjerat sejumlah pejabat di lembaga penyelenggara pemilu semakin memperlihatkan persoalan serius dalam tata kelola kelembagaan demokrasi kita.
Setelah temuan dugaan korupsi dalam pembangunan Command Center Bawaslu senilai miliaran rupiah mengejutkan publik, sorotan kini tertuju pada gaya hidup mewah serta penggunaan jet pribadi oleh sejumlah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Fenomena ini menampar rasa keadilan publik dan memunculkan pertanyaan mendasar: apakah lembaga penyelenggara pemilu kita masih menjalankan fungsi secara efisien dan layak dipertahankan sebagai lembaga permanen?
Makan Gaji Buta, Masa Kerja Musiman
Sejak perubahan status KPU menjadi lembaga permanen pasca-reformasi, beban anggaran negara untuk mendanai operasionalnya terus meningkat drastis.
Setiap tahun, bahkan di luar masa pemilu, anggaran KPU tetap besar, mulai dari gaji pegawai tetap, fasilitas operasional, hingga proyek-proyek infrastruktur internal.
Padahal, inti tugas utama KPU sejatinya hanya intensif berlangsung setiap lima tahun sekali: menyelenggarakan pemilihan umum.
Logika efisiensi seharusnya berlaku di semua lembaga negara, apalagi di tengah situasi fiskal yang menantang.
Jika lembaga seperti KPU tidak menjalankan tugas berat sepanjang tahun. Maka menjadikannya badan ad-hoc seperti model Panitia Pemilihan sebelumnya adalah langkah rasional dan ekonomis.
Negara dapat menghemat triliunan rupiah yang selama ini terserap untuk pembiayaan struktural lembaga yang sesungguhnya bisa bersifat sementara.
Skandal sebagai Bukti Lemahnya Pengawasan
Kasus dugaan korupsi di Bawaslu dan gaya hidup mewah di KPU memperlihatkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu pun tidak luput dari praktik penyalahgunaan anggaran.
Pembangunan command center Bawaslu yang disebut menghabiskan dana besar, diduga penuh penyimpangan. Begitu juga dengan penggunaan jet pribadi oleh anggota KPU dalam perjalanan dinas, yang mencederai rasa keadilan sosial di tengah rakyat yang sedang menghadapi tekanan ekonomi.
Jika lembaga yang seharusnya menjadi simbol integritas justru terjebak dalam pola hidup elitis dan praktik tak transparan, maka sudah saatnya dilakukan koreksi struktural.
Pengawasan internal terbukti tidak berjalan efektif karena para pejabat di dalamnya merasa nyaman dengan status permanen dan fasilitas yang besar.
Presiden Harus Berani Lakukan Reformasi Lembaga Pemilu
Presiden perlu mengambil langkah berani dengan mendorong reformasi kelembagaan pemilu. Mengembalikan KPU menjadi badan ad-hoc seperti Panitia Pemilihan yang hanya aktif menjelang dan selama proses pemilu. Langkah ini bukan berarti mundur ke masa lalu, melainkan menyesuaikan dengan prinsip efisiensi birokrasi modern.
Selain efisiensi anggaran, sistem ad-hoc memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan evaluasi periodik terhadap anggota penyelenggara pemilu. Dengan demikian, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalkan, dan profesionalisme penyelenggara pemilu tetap terjaga.
Pemerintah juga bisa memusatkan pembiayaan pada peningkatan kualitas demokrasi. Seperti pendidikan pemilih, digitalisasi sistem pemilu, dan penguatan pengawasan publik. Bukan pada fasilitas mewah lembaga penyelenggara.
Pesta Demokrasi Tidak Harus Mahal
Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang mahal. Justru, demokrasi yang efisien dan akuntabel akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap proses politik.
Kasus-kasus seperti dugaan korupsi di Bawaslu dan penggunaan jet pribadi di KPU menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan menjadi kebutuhan mendesak, bukan pilihan.
Presiden harus memimpin langkah perubahan ini. Membuat KPU kembali menjadi badan ad-hoc bukanlah ancaman bagi demokrasi. Melainkan cara untuk menyelamatkan demokrasi dari pemborosan, ketidakefisienan, dan elitisme yang semakin jauh dari rakyat.
Berita Baru
Berita Utama
Serikat News
Suara Time
Daily Nusantara
Kabar Tren
Indonesia Vox
Portal Demokrasi
Lens IDN
Seedbacklink







